Selasa, 05 Mei 2009

Role of Fiscal Policy in Controlling Inflation in Islamic Framework (Peran Kebijakan Fiskal dalam Mengontrol Inflasi Perspektif Islam)


By
Muhammad Nejatullah Siddiqi
Critical Riview By: Dahnil Anzar Simanjuntak

Dalam artikelnya, Siddiqi yang seorang Profesor ekonomi Islam di King Abdulazis University, berusaha keras mengelaborasi bagaimana pandangan Islam dalam memecahkan permasalahan inflasi melalui kebijakan fiskal. Dibanyak Negara berkembang, Inflasi berkepanjangan sering terjadi, berdampak pada menurunnya kesejahteraan masyarakat.
Siddiqi dengan berani menyebutkan cara lain yang lebih cepat untuk mengendalikan inflasi, berdasarkan data historis bagaimana pemerintah Islam mengendalikan inflasi dalam jangka waktu yang relatif singkat. Mengutip Parkins[1], Siddiqi mendefenisikan inflasi “ a sustained upward trend in the level of prices, it’s most common measure being the percentage rate of change in a country’s Consumer Prices Index”. Inflasi dibanyak Negara berkembang sering terjadi dalam angka double digit dan tanpa ada tanda-tanda akan mengalami penurunan. Inflasi menyakitkan bagi banyak orang, karena income mereka tergerus, sehingga mereka harus mengurangi konsumsi dan tabungan. Sulit membuat rencana masa depan karena tidak adanya kepastian ekonomi, terutama ketidakpastian harga. Inflasi memberikan efek penghapusan tabungan dan investasi, Inflasi mendistorsi distribusi pendapatan dan kesejahteraan, menyebabkan kemiskinan.

Kebijakan Fiskal

Pertama, Muhammad Nejatullah Siddiqi berusaha menjelaskan bagaimana instrumen kebijakan fiskal seperti pengeluaran pemerintah, pajak, hutang dan pencetakan uang dapat mengendalikan inflasi. Kebijakan fiskal yang anti inflasi harus fokus, dengan mengendalikan kekuatan pembelian dari publik. Pemerintah dapat memungut pajak lebih banyak, dan menggunakannya lebih sedikit. Artinya, government expenditure harus dapat dikendalikan agar tidak terlalu besar. Government expenditure yang terlalu besar terhadap sumber pendapatan produktif. Kebijakan fiskal merupakan “manipulasi perundingan hubungan antara government expenditure dan revenue dengan harapan dapat mengendalikan agregat demand”. Mengendalikan pengeluaran publik diyakini dapat mengendalikan inflasi. Namun, Siddiqi tidak begitu meyakini hal tersebut. Dalam hal ini terlihat inkonsitensi analisis Siddiqi pada paragraph awal tulisannya. Tetapi, pada bagian terakhir tulisannya, ia menjelaskan secara komprehensif.


Perspektif Islam

Pandangan Islam terhadap peran kebijakan fiskal untuk mengontrol inflasi. Didefenisikan. Pertama, berdasarkan tujuan dari ekonomi Islam itu sendiri. Dalam ekonomi Islam menurut Siddiqi harus memenuhi syarat keadilan dan kewajaran. Peran pemerintah harus lebih fokus pada penanganan kegagalan sektor swasta. Pada konteks ini, perspektif ekonomi Islam yang dijelaskan Siddiqi selaras dengan konsepsi ekonomi yang dijelaskan oleh kaum klasik , maupun neoliberal. Kebijakan untuk pengelolaan keuangan dalam pandangan Islam lebih fokus pada pelarangan bunga (interest), perjudian dan manipulasi (maysir dan gharar), minimalisasi dari moral hazard dan ketidakpastian (uncertainty) dan membatasi intervensi pemerintah di pasar[2].
Pengendalian inflasi juga dapat dilakukan dengan melakukan moderasi (penghematan) dalam konsumsi dan membenahi keberadaan uang publik, dimana uang publik harus memiliki nilai yang stabil. Moderasi dalam konsumsi dianggap sangat penting dan efektif mengendalikan inflasi, pada tataran ini terlihat Siddiqi meyakini kebijakan pada sisi demand merupakan hal penting untuk mengendalikan inflasi. Moderasi konsumsi akan memberikan dampak jangka panjang yang mapan bagi pembangunan ekonomi. Pada tataran ini ekonomi Islam yang dijelaskan Siddiqi memiliki perbedaan terbuka dengan pandangan ekonom-ekonom liberal, yang meyakini bahwa konsumsi yang tinggi akan menstimulus perekonomian melalui peningkatan output. Kebijakan fiskal yang mengarahkan terjadinya moderasi konsumsi dapat dilakukan melalui pengenaan pajak yang tinggi pada barang-barang dan jasa tertentu[3].
Siddiqi menyatakan dalam papernya bahwa kebijakan fiskal yang dirancang tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah[4], yang diyakini oleh Siddiqi akan mampu menuntaskan permasalahan inflasi. Artinya, dibutuhkan pelaksanaan penuh dari ajaran Islam disebuah Negara, yang dalam konteks ini Siddiqi sadar betul dibutuhkan diskusi dan perdebatan panjang mengenai hal tersebut. Keyakinan Siddiqi didasari oleh empat argument. Pertama, dalam sistem ekonomi Islam hutang keuangan, yang menjadi sumber utama dari inflasi dan ketidakstabilan dilakasanakan berdasarkan bagi hasil (lose and profit sharing) yang mengintegrasikan tabungan dan investasi sehingga mencegah terjadinya inflasi. Kedua, Membayar zakat, kewajiban membayar zakat sangat melekat dalam hukum Islam untuk melakukan redistribusi sumber daya. Zakat merupakan jawaban terhadap ketidakadilan dalam distribusi pandapatan dan kesejahteraan sehingga akan memberikan dampak perubahan pada komposisi agregat demand dan mengurangi fluktuasi agregat demand. Ketiga, Islam mengajarkan umatnya untuk melakukan konsumsi secara proporsional (moderation consumtion), hal ini akan mengurangi fluktuasi agregat demand. Keempat, pemerintah Islam berusaha memperbaiki uang publik sebagai kepercayaan – nilainya stabil – sehingga gejolak kurs dapat dikurangi., pinjaman publik harus dikurangi sehingga terhindar dari defisit anggaran. Pencetakan uang baru hanya akan memunculkan inefisiensi. Namun, Siddiqi tidak menafikkan bahwa dalam sejarah perekonomian Islam tetap terjadi inflasi. Namun, inflasi tersebut cepat dapat dikendalikan. Sayangnya, konsepsi kebijakan fiskal perspektif Islam yang dijelaskan Siddiqi dalam papernya hanya menggunakan data historis, yang tidak memiliki data empirik lebih lanjut. Hal tersebut diakui oleh Siddiqi pada akhir papernya. Namun, perlu kiranya konsepsi tersebut mendapat ruang untuk diimplementasikan dalam bentuk kebijakan dalam perekonomian, sebagai bentuk dari alternatif kajian kebijakan ekonomi khusus kebijakan fiskal.

Pencegahan dan Pengendalian
Siddiqi membagi dua kebijakan fiskal. Pertama, untuk mencegah terjadinya inflasi. Kedua, mengendalikan inflasi. Kebijakan fiskal untuk mencegah terjadinya inflasi dimulai dari melakukan perubahan pada ukuran kebutuhan yang relevan. Government expenditure (GE) yang tidak terlalu besar dan digunakan hanya untuk membiayai kegagalan pasar akan dapat mencegah terjadinya inflasi, dengan berkurangnya agregat demand (Moderation Consumtion). Untuk mengurangi government expenditure, Siddiqi menyarankan pengurangan pengeluaran pemerintah untuk membiaya aparatur Negara. (operasional kantor, legislative, gaji PNS) , karena biaya aparatur Negara inilah yang banyak mendorong terjadinya Inflasi. Sedang pajak digunakan sebagai kebijakan untuk mengendalikan pajak. Pandangan Siddiqi tentang pengeluaran pemerintah, lebih pada analisis pengurangan GE untuk aparatur Negara, dengan begitu Siddiqi mencoba mengalihkan pengeluaran pemerintah untuk menstimulus ekonomi sektor swasta yang memberikan dampak lebih baik bagi pertumbuhan ekonomi yang meminimalisir inflasi.

Pengurangan Pengeluaran Publik

Fokus pengeluaran publik yang dikurangi, saran Siddiqi, tetap pada pengurangan pengeluaran pemerintah yang menyebabkan inflasi terutama barang-barang yang memiliki sumber produktif, yang sering mendorong terjadinya inflasi. Biaya aparatur Negara yang ditekan, artinya pengurangan pengeluaran pemerintah akan mampu meminimalisir korupsi yang menjadi masalah pokok dibanyak Negara berkembang. Berkurangnya biaya suap, akan mengurangi biaya operasional bisnis di sektor swasta. Perluasan usaha dan investasi, pada akhirnya akan mendorong peningkatan produksi dan mengurangi biaya publik atau pengeluaran pemerintah. Pada bagian ini terlihat pandangan Siddiqi, yang meanstream pengurangan GE dan menggiatkan sektor swasta sebagai penompang pembangunan ekonomi dan menghindarkan diri dari inflasi. Ketika muncul gelagat inflasi, Siddiqi menyarankan pemerintah mengambil kebijakan untuk mengontrolnya, melalui kebijakan fiskal.

Meningkatkan Pendapatan Pajak
Satuhal yang juga dipertimbangkan di Negara Islam adalah mengurangi jumlah wajib pajak yang menghindar dari kewajiban membayar pajak, bahkan menyarankan wajib pajak untuk “bersedekah” lebih besar dari pajak yang dibayarkan. Siddiqi yakin, dengan adanya kesadaran tinggi masyarakat untuk memberikan sedekah akan berdampak pada pengurangan jumlah kemiskinan dan gesekan horizontal antara si kaya dan si miskin. Secara global kebijakan seperti ini, akan berimplikasi pada pengurangan pengeluaran pemerintah, dan meningkatnya peran masyarakat dalam mengendalikan inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Menghindarkan Negara Islam dari pinjaman yang didasari skim bunga menjadi hal pokok untuk dihilangkan, Siddiqi yakin pinjaman yang bebas bunga akan lebih baik sebagai salah satu syarat politik. Namun, sekali lagi Siddiqi menyampaikan bahwa tidak ada data empirik yang memperkuat argumennya, Negara yang mampu mengadopsi kebijakan seperti ini.

Meningkatkan Penawaran Barang dan Jasa

Peningkatan penawaran barang dan jasa diyakini Siddiqi akan mampu mencegah dan mengendalikan inflasi. Meningkatnya penawaran barang dan jasa akan medorong peningkatan output dalam perekonomian, yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang lebih besar, dengan syarat pajak tidak terlalu tinggi, sehingga ada insentif untuk bekerja, menabung dan investasi sebagai kontribusi meningkatkan penawaran barang dan jasa. Siddiqi seolah menapik pendapat ekonom yang menjelaskan hubungan tingkat pengangguran dengan inflasi yang dijelaskan oleh Philips.


Penghematan, Penghapusan Bunga dan Zakat
Inti dari pandangan Siddiqi untuk mencegah munculnya Inflasi dan mengendalikannya melalui kebijakan fiskal adalah, penghematan, penghapusan bunga dan membayar zakat.
Inflasi terjadi karena naiknya barang-barang konsumsi, akhirnya setiap orang harus mengeluar lebih besar uang untuk konsumsi dalam jumlah yang lebih sedikit, sering kali harus mengeluarkan lebih uang lebih besar dari pendapatannya (boros), yang akhirnya berdampak pada turunnya standar hidup. Namun, ironinya selalu ada orang-orang tertentu dalam perekonomian yang diuntungkan karena inflasi., diuntungkan oleh harga yang tinggi. Disisi lain pajak yang tinggi akan mengarahkan munculnya pasar gelap, dan hal ini membahayakan perekonomian.
Penghapusan bunga merupakan hal yang paling penting dalam konsep ekonomi Islam yang disampaikan oleh Siddiqi. Model baru pengelolaan keuangan, atau kegiatan intermediasi keuangan yang didasari oleh profit sharing akan menjamin stabilitas keuangan. Tabungan akan mengalir dari rumah tangga pada perusahaan sehingga kehidupan investasi ekonomi bergeliat, ada hubungan jelas antara pasar keuangan dengan sektor riil. Sistem keuangan yang stabil, tidak cukup untuk menstabilkan harga. Perubahan selera dan teknologi juga mempengaruhi secara dominan stabilisasi harga. Disinilah letak pentingnya peran zakat.
Peran zakat untuk mengurangi ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan. Kontribusi terhadap perubahan komposisi dari agregat demand akan membuat stabilisasi dan penurunan harga. Kontribusi pajak memberikan kontribusi pada penurunan harga ketika terjadi kenaikan pajak. Hal ini mensugesti agregat supply dari manipulasi oleh pengumpul dan distribusi pajak.


Kombinasi Kebijakan yang Tepat

Peran kebijakan fiskal dalam mengendalikan inflasi disadari oleh Siddiqi tidak dapat dilakukan secara parsial. Namun, harus menggunakan kombinasi kebijakan yang tepat. Siddiqi menyarankan agar kebijakan pemerintah mengkombinasi seluruh item solusi yang ia jelaskan pada paragraph-paragraf awal. Penerapan prinsip syariah dalam kebijakan fiskal untuk mengendalikan inflasi menjadi absolute menurut Siddiqi.
Dalam studi Siddiqi ini, ia fokus pada penerapan prinsip syariah. Hanya saja dia tidak memiliki date empirik yang kuat, Siddiqi hanya mengambil referensi data historis keberhasilan pemerintahan Islam pada beberapa abad silam, dan tidak ada satu Negara pun yang pernah mencoba kebijakan yang disarankan Siddiqi. Oleh sebab itu diperlukan keberanian untuk memulai dan membuktikan studi Siddiqi yang lebih banyak membahas dimensi nilai-nilai normatif Islam, yang reviewer yakini juga dimiliki oleh agama lain, hanya saja tidak ada satupun yang serius untuk mengaplikasikan ajaran tersebut dalam kehidupan ekonomi yang penuh dengan moral hazard. Karena konsepsi ekonomi yang didasari oleh nilai-nilai spiritual selalu berusaha untuk mereduksrir hazard.

Catatan:
1. Michael Parkins in The New Pargrave Dictionary of Money and Finance, Edited by Peter Newman, Muray Milgate and John Eatwell, London, The Macmillan Press Ltd, 1992, Vol. II, p. 394.

2. sekali lagi terlihat jelas pandangan ekonomi Islam yang selaras dengan pandangan kaum klasik dan neoliberal. “invisible hand” yang dimaksud Adam Smith dalam pandangan Islam berangkat dari bunyi salah satu hadist, dimana Nabi Muhammad pernah diminta oleh Sahabat untuk mengendalikan dan mengintervensi harga barang dan jasa di pasar. Namun, beliau menolak dan menyatakan bahwa harga telah di atur oleh Allah.

3. Menurut reviewer apabila kebijakan pajak ini tidak hati-hati justru akan menyebabkan distorsi yang besar, yang justru mendorong (boosting) terjadinya infalsi. Dikalangan cendikia dan ulama Islam sendiri masih menjadi perdebatan yang menarik seputar isu-isu ekonomi Islam, seperti bunga, keberadaan uang kertas dan sebagainya.

1 komentar:

cerita kak olich mengatakan...

hmph.... kayanya pola pikirnya prof. siddiqi mirip,.... bedanya menurutku zakat bukanlah sebagai moderasi, tetapi sebagai katalis. terutama zakat kas (zakat yang lain mengikuti dan terintegrasi). sebab pasarlah yang menjadi moderasi (asal pasar itu sehat, tidak ada riba, tidak ada transaksi seperti hedging dll.), zakat hanyalh pemercepat pemulihan ekonomi dan menghindari pasar yang tidak efisien. coba mampir blog yang masih mentah di muhammadsholich.blogspot.com

Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis

  110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm,   ISBN 978-623-6121-22-1.  Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...