Sabtu, 30 Agustus 2008

Distribusi Dalam Ekonomi Islam (Sebuah Kritik Terhadap Ekonomi Kapitalis)

oleh : Muhammad Sofyan KS. SE
MSI-UII.Net - 4/3/2008
Penulis adalah Mahasiswa MSI UII Konsentrasi Ekonomi Islam

A. Pendahuluan

Islam sebagai system hidup (way of life) dan merupakan agama yang universal sebab memuat segala aspek kehidupan baik yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya. Seiring dengan maju pesatnya kajian tentang ekonomi islam dengan menggunakan pendekatan filsafat dan sebagainya mendorong kepada terbentuknya suatu ilmu ekonomi berbasis keislaman yang terfokus untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam.

Adapun bidang kajian yang terpenting dalam perekonomian adalah bidang distribusi. Distribusi menjadi posisi penting dari teori ekonomi mikro baik dalam system ekonomi Islam maupun kapitalis sebab pembahasan dalam bidang distribusi ini tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek social dan politik sehingga menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini.[1]

Pada saat ini realita yang nampak adalah telah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan baik di negara maju maupun di negara-negara berkembang yang memepergunakan system kapitalis sebagai system ekonomi negaranya, sehingga menciptakan kemiskinan dimana-mana. Menanggapi kenyataan tersebut islam sebagai agama yang universal diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan sekaligus menjadi sistem perekonomian suatu negara. Dalam makalah ini memfokuskan pembahasan pada bagaimana gambaran singkat dari system ekonomi kapitalis dan islam serta konsep dari masing-masing tentang distribusi (distribusi Pendapatan dan kekayaan)? Dengan mempergunakan pendekatan filsafat ekonomi islam agar mendapat gambaran yang jelas tentang keunggulan system ekonomi islam.

B. Pembahasan
Kapitalisme tumbuh dan berkembang dari Inggris pada abad ke-18, kemudian menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara sebagai akibat dari perlawanan terhadap ajaran gereja yang pada akhirnya aliran ini merambah ke segala bidang termasuk bidang ekonomi. Dasar filosofis pemikiran ekonomi Kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith pada tahun 1776 dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Pada dasarnya isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi dan pada akhirnya mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life).[2]

Landasan atau system nilai (value based) yang membentuk kapitalisme adalah sekulerisme dan materialisme, yang mana sekulerisme berusaha untuk memisakan ilmu pengetahuan dari agama dan bahkan mengabaikan dimensi normatif atau moral yang berdampak kepada hilangnya kesakralan koektif (yang diperankan oleh agama) yang dapat digunakan untuk menjamin penerimaan keputusan ekonomi social. Sedangkan paham materialisme cendrung mendorong orang untuk memiliki pemahaman yang parsial tentang kehidupan dengan menganggap materi adalah segalahnya baginya.[3]

System ekonomi yang berkembang dikalangan kaum kapitalis adalah implementasi dari nilai-nilai sekularisme yang mendasari ideology mereka. Sekularisme merupakan asas ideologi ini, sekaligus menjadi kaidah berpikir dan kepemimpinan berpikir. Demi keutuhan dan kelanjutan sekularisme, maka dalam ideologi kapitalisme harus menjamin dan mempertahankan kebebasan individu, yaitu kebebasan beraqidah, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan perilaku. Di bawah nilai-nilai kebebasan kepemilikan inilah, dibangun pemikiran cabang sistem ekonomi kapitalis, artinya kapitalisme telah memandang bahwasanya manusia hidup di dunia ini bebas untuk mengatur kehidupannya dan tidak boleh dicampuri oleh agama. Agama hanya boleh hidup di gereja atau di masjid-masjid saja[4]

Dengan demikian, segala aturan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang ekonomi, tidaklah diambil dari agama tetapi sepenuhnya diserahkan kepada manusia, apa yang dipandang memberikan manfaat. Dengan azas manfaat (naf’iyyah) ini, yang baik adalah yang memberikan kemanfaatan material sebesar-besarnya kepada manusia dan yang buruk adalah yang sebaliknya. Sehingga kebahagiaan di dunia ini tidak lain adalah terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat materi, baik itu materi yang dapat diindera dan dirasakan (barang) maupun yang tidak dapat diindera tetapi dapat dirasakan (jasa).

Berkaitan dengan masalah distribusi, system kapitalisme menggunakan asas bahwa penyelesaian kemiskinan dan kekurangan dalam suatu negara dengan cara meningkatkan produksi dalam negeri dan memberikan kebebasan bagi penduduk untuk mengambil hasil produksi (kekayaan) sebanyak yang mereka produksi untuk negara. Dengan terpecahkannya kemiskinan dalam negeri, maka terpecah pula masalah kemiskinan individu sebab perhatian mereka pada produksi yang dapat memecah masalah kemiskinan pada mereka. Maka solusi yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat adalah dengan meningkatkan produksi.[5]

Dengan demikian ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat yang memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income), sebab dengan banyaknya pendapatan nasional maka seketika itu terjadilah pendistribusian pendapatan dengan cara membertikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat sehingga setiap individu dibiarkan bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang dia mampu sesuai dengan faktor-faktor produksi yang dimilikinya dan memberikan kekayaannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal dunia.

Asas distribusi yang diterapkan oleh sistem kapitalis ini pada akhirnya berdampak pada realita bahwa yang menjadi penguasa sebenarnya adalah para kapitalis (pemilik modal dan konglomerat), oleh karena itu hal yang wajar kalau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal atau konglomerat dan selalu mengorbankan kepentingan rakyat sehingga terjadilah ketimpangan (ketidakadilan) pendistribusian pendapatan dan kakayaan.

Berbeda dengan ilmu ekonomi kapitalis, ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Dr. Muhammad bin Abdullah al-Arabi mendefinisikan ekonomi islam sebagai kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari al-qur’an, sunnah dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu.[6]Jadi sangat jelas bahwa ekonomi islam terkait dan mempunya hubungan yang erat dengan agama yang membedakannya dari sistem ekonomi kapitalis.

Ilmu ekonomi islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisipliner yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, sosiolog dan politikus, diantaranya Abu Yusuf, Yahya bin Umar, Ibnu Khaldun dan lainnya. Konsep ekonomi para cendikiawan muslim tersebutberakar pada hukum islam yang bersumber dari al-qur’an dan hadits sehingga ia sebagai hasil interpretasi dari berbagai ajaran islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah serta mendorong umatnya untuk mempergunakan kekuatan akal pikirannya.[7]

Islam memandang pemahaman bahwa materi adalah segalahnya bagi kehidupan sebagaimana menurut kaum kapitalisme adalah merupakan pemahaman yang salah, sebab manusia selain memiliki dimensi material juga memiliki dimensi non material (spiritual). Dalam realitanya tampak sekali bahwa paham materialisme membawa kehidupan manusia kepada kekayaan, kesenangan dan kenikmatan fisik belaka dengan mengabaikan dimensi non materi.

Dalam ekonomi yang berbasis islam kedua dimensi tersebut (material dan non material) terkaper didalamnya sebagaimana tercermin dari nilai dasar (value based) yang dimilikinya, yaitu ketuhidan, keseimbangan, kebebasan kehendak dan betanggung jawab (menurut syed Nawab Heidar Naqvy).[8] Ketauhidan berfungsi untuk membedakan sang khaliq dan makhluknya yang diikuti dengan penyerahan tanpa syarat oleh setiap makhluk terhadap kehendak-Nya serta memberikan suatu perspektif yang pasti yang menjamin proses pencarian kebenaran oleh manusia yang pasti tercapai sepanjang menggunakan petunjuk Allah. Keseimbangan merupakan dimensi horisontal dari islam yang dalam perspektif yang lebih praktis meliputi keseimbangan jasmani-ruhani, material-non material, individu dan social. Sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan kehendak disini adalah kebebasan yang dibingkai dengan tauhid, artinya manusia bebas tidak sebebas-bebasnya tetapi terikat dengan batasan-batasan yang diberikan oleh Allah. Dan tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya kebebasan yang tidak hanya mencakup seluruh perbuatan di dunia dan akhirat saja tetapi juga terhadap lingkungan di sekitarnya.[9]

Berkenaan dengan teori distribusi, dalam ekonomi kapitalis dilakukan dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat, sehingga setiap individu masyarakat bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang ia mampu dan sesuai dengan factor produksi yang dimilikinya dengan tidak memperhatikan apakah pendistribusian tersebut merata dirasakan oleh semua individu masyarakat atau hanya bagi sebagian saja.[10] Teori yang diterapkan oleh system kapitalis ini adalah salah dan dalam pandangan ekonomi islam adalah dzalim sebab apabila teori tersebut diterapkan maka berimplikasi pada penumpukan kekayaan pada sebagian pihak dan ketidakmampuan di pihak yang lain.

System ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan.[11] Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam al-qur’an agar supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan (59:7).[12]

Dalam system ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income) adalah teori yang tidak dapat dibenarkan dan bahkan kemiskinan menjadi salah satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil Fakta empirik menunjukkan, bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan buruknya distribusi makanan (Ismail Yusanto). Mustafa E Nasution pun menjelaskan bahwa berbagai krisis yang melanda perekonomian dunia yang menyangkut sistem ekonomi kapitalis dewasa ini telah memperburuk tingkat kemiskinan serta pola pembagian pendapatan di dalam perekonomian negara-negara yang ada, lebih-lebih lagi keadaan perekonomian di negara-negara Islam.[13]

Ketidakadilan tersebut juga tergambar dalam pemanfaatan kemajuan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari sedangkan mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari terpaksa harus tetap menderita kemiskinan abadi, karena hanya dengan mengurangi konsumsi hari ini ia dapat menyediakan hasil yang kian bertambah bagi hari esok, dan kita tidak bisa berbuat demikian kecuali bila pendapatan kita sekarang ini bersisa sedikit di atas keperluan hidup sehari-hari.

Sistem ekonomi islam sangat melindungi kepentingan setiap warganya baik yang kaya maupun yang miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang dikutuk. Al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat, baik dengan jalan zakat, sadaqaah, hibah, wasiat dan sebagainya, sebab kekayaan harus tersebar dengan baik.


C. Kesimpulan
System pendistribusian dalam system ekonomi kapitalis mendorong ketidakadilan dan ketimpangan pendapatan dalam masyarakat menimbulkan konflik dan menciptakan kemiskinan yang permanen bagi warga masyarakat. Dengan kebobrokan tersebut maka sudah seharusnya untuk ditinggalkan dan diganti dengan system ekonomi islam yang mengedepankan nilai kebebasan dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran agama serta nilai keadilan dalam kepemilikan.

BAHAN BACAAN
Azwar Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2004
Ahmad, Zainuddin, Al-Qur’an: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998
Anto, M.B. Hendrie, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta : Ekonisia UII, 2003.
Azwar Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2004
Eldine, Achyar, ”Prinsip-prinsip Ekonomi Islam”, dikutip dari http://www.uika-bogor.ac.id/jur07.htm
Indrakusumah, Iman, “Zakat dan Sistem Ekonomi Islam” dikutip dari www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=179342&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=291 26 Nopember 2004
Al-Maliki, Abdurrahman, Politik Ekonomi Islam, alih bahasa: Ibnu Sholah, Bangil : Al-Izzah, 2001
Nawab Haider Naqvi, Syed, Ethics and Economics An Islamic Synthesis, London: The Islamic Foundation, 1981
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa: Zainal Arifin, Lc dan Dra. Dahlia Husin, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Sudarsono, Heri, Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Ekonisia UII, 2004
Saputro, Rizki S., “Sekelumit tentang Kapitalisme Global, Permasalahan dan Solusi”, dikutip dari http://72.14.235.104:gemapembebasan.or.id/%3Fpilih%3Dlihat%26id%3D241+sistem+distribusi+kekayaan+dalam+kapitalis&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=10 28 Juli 2006
At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain, Ekonomi Islam (Prinsif, Dasar dan Tujuan), alih bahasa: M. Irfan Syofwani, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004
--------------------------------------------------------------------------------

[1] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Ekonisia UII, 2004), hlm. 234

[2] Achyar Eldine, ”Prinsip-prinsip Ekonomi Islam”, dikutip dari http://www.uika-bogor.ac.id/jur07.htm

[3] M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta : Ekonisia UII, 2003), hlm. 34

[4] Rizki S. Saputro, “Sekelumit tentang Kapitalisme Global, Permasalahan dan Solusi”, dikutip dari http://72.14.235.104:gemapembebasan.or.id/%3Fpilih%3Dlihat%26id%3D241+sistem

distribusi+kekayaan+dalam+kapitalis&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=10 28 Juli 2006

[5] Abdurrahman Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, alih bahasa: Ibnu Sholah, (Bangil : Al-Izzah, 2001), hlm. 12

[6] Abdullah Abdul Husain At-Tariqi, Ekonomi Islam (Prinsif, Dasar dan Tujuan), alih bahasa: M. Irfan Syofwani, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hlm. 14

[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm. VI

[8] Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics An Islamic Synthesis, (London: The Islamic Foundation, 1981), hlm. 21

[9] M.B. Hendrie Anto, Op. Cit, hlm. 34

[10] Abdurrahman Al-Maliki, Op. Cit, hlm. 14

[11] Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa: Zainal Arifin, Lc dan Dra. Dahlia Husin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)

[12] Zainuddin Ahmad, Al-Qur’an: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 7

[13] M Iman Indrakusumah, “Zakat dan Sistem Ekonomi Islam” dikutip dari www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=179342&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=291 26 Nopember 2004

Rabu, 27 Agustus 2008

Ir. Adiwarman Azwar Karim, SE, MBA,MSc


Adiwarman Azwar Karim, konsultan bisnis & finansial ,mantan wakil direktur BMI.
Lahir di Jakarta, 29 Juni l963. Ayahnya berasal dari
Padang, daerah yang banyak menghasilkan ulama-ulama
terkenal. Semula ayahnya seorang jaksa, tapi kemudian
mengundurkan diri dan lebih memilih menjadi pengacara.
Adi lahir empat bersaudara, semuanya laki-laki dan
sarjana hukum, kecuali Adi sendiri yang `menyimpang'
menjadi sarjana ekonomi.

Sejak kecil ia sudah dikenalkan dengan pendidikan
agama. Tetapi ketika remaja, Adi sempat terseret
pergaulan anak-anak ibukota. Ia lebih senang hura-hura
dan disko ketimbang belajar atau ngaji. "Koleksi kaset
dan piringan hitamnya masih saya simpan sampai
sekarang," katanya. Beruntung otaknya encer, sehingga
bisa melewati jenjang sekolah menengah dengan cukup
baik.

Tetapi sikap suka hura-huranya tetap melekat hingga ia
kuliah di IPB Bogor jurusan Ekonomi Pertanian.
Akibatnya, nilainya jeblok. Sadar dengan itu, ia
berusaha melepaskan diri dari pergaulan teman-temannya
yang tak terkontrol. Caranya, ia mengambil kuliah lagi
di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI).
"Dengan begitu saya punya alasan untuk menolak kalau
diajak kawan-kawan pesta," tuturnya.

Apalagi ayahnya kemudian jatuh sakit terserang kanker
hingga meninggal dunia tahun 1985. Peristiwa itu
mengingatkan Adi untuk lebih dekat lagi kepada yang
Kuasa. Dan memang Adi akhirnya lebih intens mengkaji
Islam. Ia nyantri di pesantren tasawuf Al Ihya' di
Bogor. "Dulu ke mana-mana pakai jubah," katanya
menggambarkan keberagamaannya saat itu.

Lulus dari IPB tahun l986, kemudian melanjutkan ke
European University, Belgia, untuk mengambil gelar
MBA. Uniknya, kuliahnya di UI diselesaikan setelah
setahun ia meraih MBA. Belum puas dengan ilmu yang
telah diraih, tahun l992 Adi mengambil master di
Boston University, Amerika Serikat atas beasiswa
USAID. Thesis masternya tentang Bank Islam di Iran.

Laki-laki yang hobi membaca buku dan memelihara ayam
ini mengaku, dulu ketika berniat mendalami ekonomi
Islam ia tak pernah mempertimbangkkan bahwa ilmu yang
ditekuni itu bisa memberinya masa depan yang baik.
Apalagi rezim Soeharto saat itu lagi gencar-gencarnya
memberangus Islam. "Jaman itu kita (ummat Islam) lagi
dioyak-oyak," kata Adi menggambarkan situsi saat itu.

Tapi jaman berubah. "Kalau sekarang sih
hitung-hitungannya, kalau saya tidak menggeluti
ekonomi Islam, saya tidak sengetop ini he.. he.. benar
nggak? Namun satu hal yang diyakini pria yang tidak
merokok ini, sesuatu kalau ditekuni secara serius kita
akan jadi jagoan. "Begitu sunnatullahnya," tegasnya.

Dr. Mustafa Edwin Nasution


Mustafa Edwin Nasution: “Saya Ingin Seluruh Lembaga Pendidikan Mengajarkan Ekonomi Syariah”
Selasa, 15 Juli 2008
Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia tak akan maju bila tak didukung oleh peran dari lembaga pendidikan sebagai motor inovasi pengembangan ekonomi syariah. Sebab, dalam pendidikan ekonomi syariah melahirkan banyak penelitian yang bermanfaat bagi industri keuangan syariah.

Hal ini yang membuat, berbagai negara yang telah mengembangkan lembaga keuangan syariah seperti Malaysia terus mensinergikan antara akademisi dengan praktisi.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Untuk Indonesia hingga kini belum terbentuk dan masih berjalan sendiri-sendiri. Tapi bagi Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Dr. Mustafa Edwin Nasution, menyakini suatu saat nanti sinergi tersebut akan terwujud. Terlebih dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia saat ini telah banyak melahirkan penelitian-penelitian yang bermanfaat bagi industri keuangan syariah.

Untuk menyakinkan hasil penelitian tersebut, IAEI di bulan Agustus akan menggelar acara Seminar Internasional di Universitas Airlangga – Surabaya, dan mempublikasikan bagaimana perkembangan penelitian ekonomi syariah di Indonesia.

Lalu perkembangan ekonomi syariah seperti apakah yang diinginkan oleh Ketua Umum IAEI, ini? Agus Yuliawan dari pkesinteraktif.com, berbincang-bincang dengan Dr. Mustafa Edwin Nasution, di kampus PSTTI – UI Salemba Jakarta. Berikut pembicaraanya:

Kabarnya IAEI di bulan Agustus nanti akan mengadakan Seminar Internasional di Surabaya, apa benar?
Insyaallah di bulan Agustus itu kami akan mengadakan acara seminar ekonomi syariah bertaraf internasional.

Apa keinginan IAEI diacara tersebut?
Kami ingin mengembangkan ilmu ekonomi syariah menjadi sebuah sistem altenatif ditengah krisis dunia saat ini yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme yang terus melakukan eksploitasi.

Untuk pengembangan di Indonesia, apa saja yang sudah dilakukan oleh IAEI?
Selama ini IAEI masih bersifat pada pendidikan dan pengembangan ilmu ekonomi syariah, kita berharap diseluruh lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia mengajarkan tentang pengetahuan ekonomi syariah.

Untuk mempersiapkan itu, strategi apa yang telah dilakukan oleh IAEI?
Untuk mengembangkan itu, kami telah menyiapkan kurikulum, tenaga pengajarnya dan materi-materi pengajaran ekonomi syariah. Dengan ini semua kami berharap gelombang pendidikan ekonomi syariah di Indonesia lebih berkembang pesat.

Bicara kurikulum pendidikan ekonomi syariah di Indonesia, adakah spesifikasi kurikulumnya pengajarannya?
Dalam kurikulum ekonomi syariah di Indonesia ini lebih spesifik pada lembaga keuangan Islam (Islamic Finance) baik itu perbankan, pasar modal dan asuransi syariah.

Menurut Anda sejauh ini berapa besar kebutuhan SDM untuk mengoperasikan lembaga keuangan syariah?
Jika di Indonesia itu dibutuhkan sekitar 14 ribu SDM dan jika diseluruh dunia dibutuhkan 70 ribu SDM dengan asumsi perkembangan dari lembaga keuangan syariah di Indonesia atau di dunia.

Regulasi tentang pengembangan ekonomi syariah telah diterbitkan, apa komentar Anda?
Kami sangat bahagia sekali melihat itu semua, apalagi tahun ini merupakan awal tahun yang baik bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, dimana lembaga keuangan syariah merespon baik terhadap peran lembaga pendidikan syariah di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari beberapa rekomendasi yang terlahir dalam ranah akademika bisa diimplementasikan di lembaga keuangan syariah.

Bagaimana Anda melihat sikap dari Departemen Pendidikan Nasional?
Saya rasa semuanya pada mendukung adanya perkembangan ekonomi syariah, terlebih dengan hadirnya UU Perbankan Syariah merupakan amanah dari negara yang harus dilakukan oleh semua pihak. Bukan hanya Diknas saja tapi pemerintah, DPR dan masyarakat.

Drs. Agustianto, MA


Drs. Agustianto, MA, lahir di Medan, 17 Agustus 1967. Menamatkan pendidikan S1 tahun 1992, di Falkultas Syari’ah IAIN (Skripsinya tentang Ushul Fiqh Muamalah) dengan predikat summa cum laude dan meraih prestasi sebagai wisudawan terbaik di tahun 1992. Pendidikan S2 Konsentrasi Syariah (Thesis : Ushul Fiqh Asy-Syatibi) IAIN ditammatkannya tahun 1997. Di Program ini beliau juga meraih WISUDAWAN terbaik dengan predikat Cum Laude.

Saat ini (2004) beliau sedang menempuh pendidikan S3 Ekonomi Islam UIN Jakarta. Sejak lama (tahun 1993) beliau telah menjadi dosen perbankan dan lembaga keuangan Islam dalam mata kuliah fiqh muamalah III di IAIN-SU.

Pada tahun 2005 beliau dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia. (IAEI)

Kini, Agustianto banyak mengajar di berbagai program Pascasarjana Ekonomi Islam di Jakarta : seperti di Pascasarjana PSTTI UI, Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti, Pascasarjana Manajemen Perbankan dan Keuangan Islam Universitas Paramadina, Pascasarjana Perbankan dan Keuangan Islam Universitas Az-Zahro, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Prof.Dr.HAMKA, dsb.

Mata kuliah yang beliau ajarkan al; 1. Fiqh Muamalah Perbankan dan Keuangan, 2. Ushul Fiqh Ekonomi, 3. Ayat dan Hadits Ekonomi Keuangan , 4. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 5. Politik Perbankan Syariah, 6. Ekonomi Mikro-Makro Islami. 7. Manajemen Zakat dan Waqaf

Selain aktif memberikan seminar, training dan workshop, beliau juga sebagai Advisor Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan hampir setiap jumat mengkhutbahkan ekonomi Islam dan bank syariah kepada jama’ah-jamaah masjid.

Prof. Dr. Sofyan Safri Harahap


S2 dan S3 Ekonomi Syariah Trisakti adalah Satu-Satunya di Dunia yang Berbasis Tauhid
Rabu, 28 Mei 2008
Seiring dengan makin banyaknya lembaga keuangan syariah, maka dibutuhkan pula peningkatan jumlah sumber daya insani (SDI) yang professional. Untuk memenuhi kebutuhan akan SDI yang professional dan kompeten maka dibutuhkan peranan dari lembaga pendidikan. Salah satu Universitas yang membuka program Ekonomi Islam adalah Universitas Trisakti (USAKTI). Bagaimana suka duka Prof. Dr. Sofyan Safri Harahap meyakinkan pihak universitas Trisakti untuk membuka jurusan ekonomi syariah dan faktor-faktor apa saja yang memberanikan Sofyan Safri untuk membuka jurusan ekonomi syariah sementara disisi lain Universitas Indonesai (UI) belum berani untuk membuka jurusan tersebut? serta bagaimana peranan Usakti dalam mengembankan produk perbankan syariah?, berikut petikan wawancara Nadia Lufti dari Kantor Berita Ekonomi Syariah, www.pkesinteraktif.com dengan Prof. Dr. Sofyan Safri Harahap selaku Program Director IEF (Islamic Economic and Finance/Pusat Studi Ekonomi Islam Trisakti.
Bagaimana suka duka yang Bapak alami ketika meyakinkan pihak Universitas TRISAKTI hingga terciptanya jurusan ekonomi syariah?

Awalnya saya mulai dari mata kuliah saya, yaitu teori akuntansi. Jadi dalam teori akuntansi itu ada yang namanya bab mengenai trend atau kecenderungan kedepan. Salah satu kecenderungan kedepan adalah adanya perkembangan keuangan maupun lembaga bisnis syariah. Kalau memang sekarang belum perlu, tapi nanti suatu saat akan diperlukan. Setelah itu masuk dalam silabus, atau outline kurikulum. maka mulai dikenallah ekonomi syariah walaupun ada juga yang menganggapnya omong kosong. Tapi lama-lama menjadi relevan setelah lahirnya Bank Muamalat. Jadi semakin terasa ekonomi syariah dan praktek-prakteknya. Lalu muncul buku saya khusus satu bab yang membahas teori akuntansi syariah, kemudian dilanjutkan buku kedua, buku Akuntansi Manajemen dan Pengelolaan dalam Perspektif Islam. Akhirnya lama kelamaan menjadi mata kuliah akuntansi Islam untuk S-1. Pada awalnya hanya beberapa orang yang berminat, tetapi lama-kelamaan banyak hingga mencapai lima sampai tujuh kelas. Lalu setelah itu keluar PSAK 59, dan dibutuhkan lagi teori akuntansi perbankan syariah khusus. Jadi mata kuliah yang ada menjadi dua, yaitu akuntansi Islam dan teori akuntansi perbankan syariah khusus, lama kelamaan muncullah mata kuliah ekonomi syariah, sejarah doktrin ekonomi Islam, dan sebagainya. Yang tadinya hanya beberapa mata kuliah pilihan berikutnya menjadi konsentrasi akhirnya sekarang menjadi jadi kuliah lintas jurusan. Artinya jurusan akuntansi, jurusan manajemen atau akuntansi dia boleh mengambil konsentrasi jurusan ekonomi dan keuangan Islam.

Setelah itu, semuanya lancar-lancar saja dan rektor kami juga sangat antusias dan mendukung perkembangan ekonomi syariah. Bahkan saya diperintahkan rektor untuk membuat program S-2 dan S-3 setelah melihat keberhasilan dan peminat ekonomi syariah di S-1.

Faktor-faktor pendukung apa yang membuat TRISAKTI bisa membuka S2 dan S3 jurusan syariah, sementara di sisi lain sampai saat ini UI saja belum berani?

Karena kita sudah melihat trennya, saya kebetulan kenal beberapa ahli dari dunia Internasional, waktu itu saya kenalan dengan Choudry dan kerjasama dengan BI untuk mendatangkan beliau ke Indonesia guna melakukan seminar di beberapa tempat termasuk di TRISAKTI, karena dia seorang pakar, saya pertemukanlah dengan rektor. Dari proses pertemuan tersebut muncullah jurusan S2 dan S3 syariah tahun 2001, jadi saya diperintahkan rektor untuk membuat program dan bekerjasama dengan Mas’udul Choudry. Akhirnya pada akhir tahun 2004 kita luncurkan program ini dan mulai beroperasi awal tahun 2005. Pilihan ini kita ambil karena kita melihat dan kita sadari kebutuhan itu, kita tahu pasar, kita lihat bank-bank syariah mulai bermunculan, maka kita siapkan SDI dari S1, lalu siapa yang mencetak para S-1 tersebut dan meneliti perkembangan ekonomi syariah untuk S-2 dan S-3nya.

Kita dirikan S-2 dan S-3 ini adalah satu-satunya di dunia yang memiliki struktur kurikulum ekonomi keuangan Islam yang sengaja didesain khusus dengan berbasis tauhid. Jadi kita perkenalkan pendekatan tauhid, pengesaan pada Tuhan, dengan itu kita menyentuh landasan filosofinya. Terbentuknya kurikulum ini tidak lepas dari dukungan dan dorongan dari rektor karena beliau sangat antusias juga dengan pengembangan ekonomi Islam, perintahnya ke saya jadikan Trisakti menjadi pusat studi ekonomi syariah, maka lahirlah ini.

Ekonomi syariah diperlukan riset untuk pengembangan ilmunya, bagaimana menurut Bapak agar TRISAKTI bisa mengembangkan ekonomi syariah dengan risetnya?

Dalam melakukan penelitian, TRISAKTI tak bisa melakukannya tanpa bantuan pemerintah atau perusahaan. Tapi selama ini pemerintah kurang perhatian terhadap syariah, BI masih lumayan tapi masih pada dirinya sendiri. Bisnis masih bergulat pada promosi jadi belum memperhatikan aspek pengembangan dan itu yang kita sayangkan. Kita survive seadanya, dengan spp mahasiswa, peluang-peluang yang kita dapat untuk kerjasama, CSR, kita jalan tapi sedikit-sedikit, lalu kita arahkan mahasiswa untuk meneliti.

Apa peranan TRISAKTI dalam mengembangkan produk dalam perbankan syariah?

Umumnya mereka menyerahkan pada lembaga yang mereka miliki sendiri atau unit pengembangan produk dan belum di outsourch, kita tidak ada pesanan bagaimana harus bekerja. Jadi kita lihat ini sebagai kelemahan negara kita sendiri, semua lembaga membuat studinya sendiri yang seharusnya dilakukan universitas. kalau di luar negeri pelaku peneliti kan universitas, kalau di Indonesia Balitbang adalah tempat pembuangan orang-orang yang tidak disukai. Kita harus terus menerus disadarkan, dan kita juga berusaha unjuk gigi melalui majalah penelitian yang kita punya, majalah ekonomi syariah, PKES, dan lainnya.

Usaha-usaha apa yang dilakukan agar ada sinergi antara para akademisi dan praktisi ekonomi syariah?

Pertama, kalau ada proyek kita sampaikan kepada mereka, apakah mereka mau ikut masuk kedalamnya, ikut membantu, ikut mendanai, dan kita undang juga di acara seminar-seminar yang kita adakan supaya ada pendekatan antara akademisi dan praktisi. Selain itu kita juga dapat sumbangan dari BSM untuk mengadakan laboratorium perbankan syariah.

Harapan Bapak terhadap lembaga-lembaga sosialisasi ekonomi syariah sepeprti MES, PKES, dll?

Saya kira sekarang sudah bagus, tinggal penyingkapannya saja. Semakin banyak orang masuk syariah maka sosialisasinya juga harus ditingkatkan dengan cara yang lebih efektif dan ’mengena’. Efektifitasnya sosialisasi tergantung pada tingkat pertumbuhan financing, pertumbuhannya sekarang saja sudah mencapai 20-30%. Tidak terlihat secara langsung tapi ada pengaruhnya.

Dari hal-hal yang sudah dibangun oleh lembaga sosialisasi diatas (MES, PKES, dll) apa yang Bapak lihat yang menjadi kekurangan atau kelemahan dalam perkembangan ekonomi syariah?

Ada, profesionalisme manajemennya, komitmen yang kurang, sinergi belum terbentuk dan masih jalan sendiri-sendiri, masih terdapat egoisme lembaga, dan lebih mendahulukan kepentingan masing-masing. Kalau egoisme terjadi maka tidak ada tim lagi, itulah penyakit bangsa ini. Kita harus terus menerus mengusahakan. kita minta elit-elilt membuang egoisme dan mementingkan kebersamaan. Kita membutuhkan orang-orang yang ikhlas hanya karena Allah, itu yang kita butuhkan. Harus diberantas kalau mau maju, secara individu kita punya bibit unggul, tiba pada implementasi kita berjalan-jalan sendiri, harus ada koordinasi, sinergi, kalau tidak, kita akan kalah.

Menurut Bapak apakah alumni dari S2 dan S3 telah memenuhi kebutuhan dari industri perbankan syariah?

Kualitas yes, jumlahnya masih kurang. Karena kebutuhannya masih banyak. Mulya E, Siregar pernah berkata pada akhir 2008 kita membutuhkan 14 ribu tenaga kerja.

Apa yang menjadi prioritas Bapak untuk mengembangkan industri syariah?

Memperbanyak output SDM, karena saya berada di post gaduate maka menjadi tanggung jawab saya untuk memicu terus ketersediaan SDM dengan mendidik calon-calon SDM tersebut, maka selain di TRISAKTI, saya juga mengajar di Airlangga, dan IAIN. Selain itu juga mengajar ke Malaysia dan kerjasama dengan Bangladesh untuk seminar-seminar. Sedangkan target jangka panjang saya, minimal ada lembaga atau institusi khusus ekonomi dan keuangan perbankan syariah.

Saran dan pesan Bapak untuk generasi muda dalam mengembangkan ekonomi syariah?

Kita mengharapkan generasi muda ini jangan memiliki egosentris, ikhlas saja, dunia ini kata Tuhan akan digerakkan oleh orang-orang ikhlas, mukhlisin. Mari kita ikhlas, kalau ikhlas otomatis Tuhan akan bantu, jadi itu harus dipercaya. “Kalau kamu baik itu untuk kamu, kalau kamu jelek itu juga untuk kamu”, jadi generasi muda harus memiliki persepsi komitmen seperti itu. Memang menjaga keikhlasan itu di tengah kondisi kapitalisme yang semuanya diukur dengan uang sulit, tapi itulah keagungan seseorang dimata Allah. (Nadia, www.pkesinteraktif.com)

Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah?

Oleh : Abbas Ghozali, Ph.D.2
Abstrak
Bunga telah menentukan setiap kegiatan ekonomi, seperti konsumsi, tabungan,
investasi, kesempatan kerja, ekspor-impor, dan lain-lain. Bunga juga merupakan
instrumen utama kebijakan moneter. Makalah ini akan membahas apakah peranan
bunga yang sentral ini intrinsik atau artifisial, apakah ada alternatif selain bunga
dalam mobilisasi dana untuk investasi, bagaimana peranan lembaga-lembaga
keuangan yang bertanggung jawab atas mobilisasi dana untuk investasi dan sistem
moneter. Dalam pembahasan, tampak bahwa teori-teori yang mendukung
pentingnya bunga seperti Time-Preference Theory, Liquidity Preference Theory,
Interest and Deposit Mobilization, Bunga sebagai Harga Kelangkaan dari Modal,
Opportunity Cost of Capital, Bunga untuk Mengimbangi Penurunan Nilai Uang
karena Inflasi, dan Bunga sebagai Keuntungan tidak mempunyai dasar yang kuat.
Karenanya peranan sentral suku bunga dalam perekonomian selama ini hanya
mitos dan artifisial yang dikembangkan oleh kaum kapitalis. Equity financing
dalam berbagai bentuk merupakan alternatif yang paling tepat untuk
menggantikan peranan bunga dalam mobilisasi dana untuk investasi. Dalam
makalah ini juga dibahas peranan bank-bank komersial sebagai financial
intermediary dalam mobilisasi dana tanpa perangkat bunga dan kebijakan moneter
bank sentral tanpa instrumen suku bunga.
Kata kunci: Bunga, Equity Financing, Tabungan, Investasi, Bank Komersial,
Bank Sentral, Kebijakan Moneter
1 Makalah disajikan dalam International Seminar and Symposium on Implementations of Islamic
Economics to Positive Economics in the World yang diselenggarakan oleh DPP Ikatan Ahli
Ekonomi Islam Indonesia bekerjasama dengan Program Doktor Studi Ekonomi Islam Fakultas
Ekonomi Universitas Airlangga di Surabaya pada tanggal 1 s.d. 3 Agustus 2008. 2 Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 1ഊ1. Pendahuluan
Seakan ekonomi di manapun dan kapanpun tidak lepas dari bunga. Bunga
merupakan variabel yang menentukan dalam setiap kegiatan ekonomi. Konsumsi,
tabungan, investasi, kesempatan kerja, expor-impor, dan lain-lain, dipengaruhi
oleh suku bunga. Suku bunga merupakan instrumen utama dalam kebijakan
moneter untuk mencapai tujuan ekonomi.
Apakah peranan suku bunga yang demikian sentral dalam perekonomian
ini bersifat intrinsik atau artifisial yang dikembangkan oleh pihak tertentu yang
memiliki kepentingan? Apakah ada alternatif selain bunga atau riba dalam
memobilisasi dana dari pemilik dana ke pihak yang membutuhkan dana untuk
investasi? Bila digunakan alternatif selain bunga, bagaimana peranan lembaga-lembaga
keuangan yang bertanggung jawab atas mobilisasi dana untuk investasi
dan sistem moneter?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan coba dijawab dalam makalah ini.
Makalah ini dimulai dengan pembahasam tentang riba termasuk pengertian riba,
teori-teori riba, dan pelarangan riba. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan
alternatif riba, kelembagaan moneter Islam, dan kebijakan moneter yang tanpa
instrumen bunga. Makalah ditutup dengan kesimpulan dan saran.
2. Riba
Dalam bagian ini akan disampaikan tentang pengertian riba, teori-teori
pendukung riba, dan pelarangan riba.
2.1 Pengertian Riba
Secara harfiah, riba berarti peningkatan, tambahan, perluasan, atau
pertumbuhan. Dalam syariah, secara teknis riba merujuk pada premi yang harus
dibayar oleh orang yang meminjam kepada orang yang meminjamkan bersama
dengan pokok pinjaman sebagai syarat bagi pinjaman atau perpanjangan jatuh
temponya. Dalam hal ini riba sama dengan bunga. (Muslehuddin, 1992).
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 2ഊ2.2 Teori Bunga yang Lemah
Berbagai teori tentang pentingnya bunga telah dikembangkan oleh para
ekonom kapitalis. Teori-teori ini telah diterapkan secara intensif oleh para
kapitalis dan pengikutnya sejak berabad-abad yang lalu hingga sekarang,
meskipun sesungguhnya teori-teori itu lemah. Teori-teori tentang bunga tersebut
antara lain adalah Time-Preference Theory, Liquidity Preference Theory, Interest
and Deposit Mobilization, Bunga sebagai Harga Kelangkaan dari Modal, Biaya
Kesempatan Modal (Opportunity Cost of Capital), Bunga untuk Mengimbangi
Penurunan Nilai Uang Karena Inflasi, dan Bunga sebagai Keuntungan. Berbagai
teori ini secara singkat akan diulas dan diberikan argumen kontra sebagai berikut.
2.2.1 Time-Preference Theory
Konsep dasar time-preference theory adalah pernyataan Bohm Bawerk
bahwa barang sekarang adalah lebih bernilai dari pada barang yang akan datang.
Barang yang akan datang hanya mempunyai kemungkinan untuk dapat digunakan
di masa yang akan datang; sedangkan, barang sekarang mempunyai kemungkinan
yang sama untuk digunakan sekarang atau digunakan di masa yang akan datang.
Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa agar orang bersedia meminjamkan
barang atau uangnya sekarang untuk dia terima kembali di masa yang akan datang
maka nilai uang yang akan dia terima di masa yang akan datang tersebut harus
ditambah agar nilai uang yang akan datang tersebut tidak lebih rendah dari pada
nilai uang sekarang. Tambahan nilai uang tersebut kemudian
diinstitusionalisasikan dalam bentuk bunga
Pernyataan Bohm Bawerk ini bisa benar bisa juga tidak, tergantung pada
kondisi perbandingan antara pendapatan dan konsumsi seseorang di masa
sekarang dan di masa yang akan datang. Bagi orang yang memiliki pendapatan
maksimal hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sekarang, pernyataan
itu sesuai yaitu bahwa uang sekarang lebih berguna dari pada uang yang akan
datang. Akan tetapi bagi orang yang memiliki pendapatan sekarang yang lebih
besar dari pada kebutuhan hidupnya sekarang, kelebihan pendapatan sekarang dari
konsumsi sekarang tersebut akan lebih berguna bila digunakan di masa yang akan
datang atau dengan kata lain uang yang akan datang yang merupakan kelebihan
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 3ഊpendapatan sekarang di atas konsumsi sekarang lebih berguna dari pada uang
sekarang. Orang dalam kelompok pertama tadi tentu bukan kelompok yang
melakukan tabungan karena pendapatan sekarang habis untuk dikonsumsi
sekarang. Orang dalam kelompok kedualah yang melakukan tabungan. Dengan
melakukan tabungan maka orang dalam kelompok kedua tersebut akan
memperoleh nilai uang yang akan datang yang lebih berguna daripada nilai uang
sekarang. Kesimpulannya, uang sekarang lebih berguna dari pada uang yang akan
datang seperti yang dinyatakan time-preference theory adalah tidak benar dan
implikasinya perlunya konpensasi bunga bagi tabungan adalah tidak berdasar.
2.2.2 Liquidity Preference Theory
Liquidity Preference Theory dikemukan oleh Keynes yang mengatakan
bahwa orang lebih suka memegang aset yang likuid karena hanya aset yang likuid
yang dapat segera digunakan untuk transaksi, berjaga-jaga, dan spekulasi.
Implikasinya bahwa orang hanya bersedia merubah asetnya dalam bentuk
tabungan yang dipinjamkan kepada pihak lain kalau orang tersebut diberi
konpensasi yang berupa bunga karena dengan mendapatkan bunga maka aset
orang tersebut bertambah.
Bahwasanya orang lebih suka memegang aset dalam bentuk likuid dari
pada aset piutang karena aset likuid dapat digunakan untuk transaksi dan berjaga-jaga
adalah masuk akal. Akan tetapi konpensasi berupa bunga bagi orang yang
bersedia merubah aset likuidnya yang dibutuhkan untuk transaksi dan berjaga-jaga
menjadi aset piutang dengan alasan bunga itu mendatangkan penghasilan adalah
tidak masuk akal. Bila uang sebagai aset likuid itu dibutuhkan untuk transaksi
dan berjaga-jaga dan karena transaksi pembelian barang dan jasa dan berjaga-jaga
diperlukan untuk hidup maka orang tersebut tidak akan dapat mengalihkan aset
likuid tersebut ke aset piutang meskipun akan mendatangkan tambahan
penghasilan sebab dengan tindakan pengalihan itu dia tidak lagi memiliki aset
likuid yang dibutuhkan untuk transaksi dan berjaga-jaga yang dibutuhkan untuk
hidup.
Setelah memenuhi kebutuhan untuk transasksi dan berjaga-jaga, orang
menggunakan uang untuk spekulasi bisa dipahami, tetapi implikasinya bahwa
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 4ഊorang bersedia menyerahkan uang untuk dipinjamkan dan kemudian mendapatkan
penghasilan berupa bunga karena motif spekulasi perlu dipertanyakan. Motif
spekulasi di sini mestinya diartikan bahwa orang bersedia menyerahkan uang
untuk digunakan oleh pihak lain dan kemudian dikembalikan lagi dengan nilai
yang dapat lebih besar atau lebih kecil dari pada nilai awalnya. Bentuk yang
paling tepat untuk motif spekulasi ini adalah penyertaan uang ini dalam kegiatan
investasi yang hasil baliknya (return) berupa bagi untung-rugi (profit-loss
sharing) bukan bunga. Uang memang diperlukan untuk kegiatan investasi.
Kegiatan investasi bisa menghasilkan keuntungan, dapat juga menderita kerugian
karena adanya faktor ketidakpastian (uncertainty) dalam kegiatan investasi atau
usaha. Karenanya, hasil balik yang adil bagi uang yang digunakan untuk investasi
tadi adalah berupa perolehan bagian keuntungan bila investasi itu untung dan turut
menanggung kerugian bila investasi itu rugi, seperti halnya hasil balik bagi pihak
yang menjalankan investasi yang mendapatkan keuntungan bila investasinya
untung dan menanggung kerugian berupa pengorbanan waktu, keahlian, dan
tenaga yang tidak dibayar bila investasinya rugi. Hasil balik berupa bunga dalam
pengguaan uang untuk investasi tersebut tidak adil dan karenanya tidak
dibenarkan karena pendekatan bunga yang memberikan hasil balik positif yang
pasti bagi pemilik uang tanpa mempedulikan untung atau ruginya kegiatan
investasi hanya menguntungkan pemilik uang dan belum tentu menguntungkan
bahkan bisa merugikan pelaku investasi bila investasi tersebut rugi. Kerugian
bagi pelaku investasi itu juga bisa berlipat ganda karena dia bukan hanya
menanggung kerugian yang merupakan bagiannya saja tetapi juga menanggung
bagian kerugian yang mestinya ditanggung pemilik uang yang justru mendapat
keuntungan berupa bunga.
2.2.3 Interest and Deposit Mobilization
Ekonom kapitalis berpendapat bahwa pendapatan setelah pajak dan
konsumsi mesti didepositokan atau ditabung dengan diberi insentif finansial
berupa suku bunga. Imbalan suku bunga tersebut merupakan penghasilan bagi
penabung. Dana tabungan in dibutuhkan untuk investasi. Investasi sangat
diperlukan untuk menghasilkan barang dan jasa dan pendapatan. (Mankiw, 2003).
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 5ഊPentingnya investasi dalam ekonomi adalah sangat jelas, demikian juga
pentingnga dana tabungan untuk membiayai investasi. Namun, bahwa imbalan
berupa suku bunga merupakan cara yang paling tepat untuk mobilisasi tabungan
perlu dipertanyakan. Dana tabungan apabila disimpan untuk keperluan konsumsi
yang akan datang yang tidak beresiko atau dapat diperoleh kembali secara pasti di
masa yang akan datang tidak berhak untuk memperoleh hasil balik (return). Bila
tabungan itu dimaksudkan untuk memperoleh hasil balik, sedangkan hasil balik
itu dapat diperoleh melalui kegiatan investasi dan kegiatan investasi itu
mengandung resiko untung atau rugi maka dana tabungan yang digunakan untuk
investasi tersebut juga mesti menanggung resiko. Bila investasi untuk maka dana
tabungan memperoleh hasil balik postifi, dan bila investasi rugi dana tabungan
turut menanggung kerugian.
Bila insentif bagi dana tabungan tersebut berupa suku bunga yang
merupakan hasil balik positif yang pasti bagi penabung, hal ini hanya
menguntungkan pihak penabung, tetapi merugikan pihak yang melakukan
investasi. Pihak penabung dengan pasti selalu memperoleh hasil balik yang
positif terlepas dari kegiatan investasi tersebut menghasilkan keuntungan atau
menderita kerugian, sedangkan pihak yang melakukan investasi akan memperoleh
keuntungan bila investasi menghasilkan keuntungan tetapi akan menderita
kerugian ganda bila investasi mengalami kerugian, yaitu porsi kerugian yang dia
harus tanggung dan porsi kerugian yang seharusnya ditanggung oleh pemilik dana
atau penabung. Dengan demikian, pengenaan bunga ini merupakan disinsentif
bagi pelaku investasi. Selain itu, suku bunga yang merupakan insentif bagi
penabung akan dibebankan dalam investasi sebagai biaya. Biaya suku bunga ini
merupakan disinsentif bagi kegiatan investasi.
Bila suku bunga merupakan insentif bagi penabung tetapi dapat
merupakan disinsetif bagi pelaku investasi, akan terjadi kelebihan dana tabungan
yang tidak dimanfaatkan untuk investasi. Dana tabungan itu mestinya dapat
digunakan untuk investasi kalau imbalan terhadap dana tabungan itu berupa bagi
untung-rugi (profit-loss sharing).
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 6ഊ2.2.4 Bunga sebagai Harga Kelangkaan dari Modal
Ekonom kapitalis berargumen bahwa karena modal merupakan komoditas
langka dan setiap komoditas langka memiliki harga, maka modal juga memiliki
harga yang berupa bunga. (Keynes, 1936).
Argumen ini sesungguhnya tidak berdasar. Tidak ada alasan intrinsik dari
kelangkaan modal sebab modal dalam bentuk dana ini bukan komoditas atau
faktor produksi melainkan alat tukar (medium of exchange) yang dapat disediakan
oleh bank sentral sesuai dengan kebutuhan ekonomi riil. Kelangkaan modal ini
hanya merupakan kelangkaan artifisial sebagai upaya pemilik modal (kapitalis)
melalui manipulasi sistem perbankan untuk memperoleh hasil balik yang selalu
positif dan untuk menghindari resiko hasil balik negatif. Jika tidak ada alasan
intrinsik dari kelangkaan modal maka jika tidak ada alasan instrinsik untuk
mengenakan harga berupa bunga bagi penggunaan modal.
2.2.5 Biaya Kesempatan Modal (Opportunity Cost of Capital)
Ekonom kapitalis berargumen bahwa penggunaan modal mengandung
biaya oportunitas. Biaya kesempatan modal adalah penghasilan yang tidak jadi
diterima dari modal yang digunakan untuk suatu kegiatan investasi yang kalau
tidak digunakan untuk investasi tersebut modal itu bisa digunakan untuk investasi
di tempat yang lain. Misalnya, apabila modal itu didepositokan di bank maka
pemilik modal akan menerima penghasilan berupa bunga. Akan tetapi, bila modal
itu dipinjamkan dan digunakan untuk suatu kegiatan investasi dan tidak jadi
didepositokan maka penghasilan bunga itu tidak jadi diterima. (Pindyck dan
Rubinfeld, 2001).
Argumen ini juga tidak berdasar. Seperti sudah dibahas sebelumnya,
pemberian insentif kepada modal berupa bunga yang merupakan hasil balik positif
yang pasti tanpa resiko tidak dibenarkan. Selain itu, meskipun memang benar
kalau modal yang berupa dana itu digunakan untuk suatu kegiatan investasi maka
dana tersebut tidak dapat digunakan untuk investasi yang lain, tetapi karena
investasi diapapun selalu mengandung resiko untung atau rugi, maka penggunaan
dana untuk digunakan untuk inestasi diapapun tetap harus menanggung resiko
untung-rugi tersebut. Jadi, kalaupun ada biaya kesempatan bagi modal maka biaya
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 7ഊkesempatan itu berupa kemungkinan mendapat bagian keuntungan atau
menanggung bagian kerugian, bukan berupa bunga.
2.2.6 Bunga untuk Mengimbangi Penurunan Nilai Uang Karena Inflasi
Wicksell berargumen bahwa kompensasi berupa bunga harus diberikan
kepada pemilik modal atas penggunaan modal karena nilai modal yang akan
diterima kembali setelah periode peminjaman selesai akan berkurang nilainya
secara riil karena adanya inflasi. Lebih dari itu, suku bunga nominal harus lebih
tinggi dari pada inflasi agar suku bunga riil (yaitu suku bunga nominal dikurangi
inflasi) tetap positif.
Argumen inipun dapat dipatahkan. Masalah utamanya terletak pada tidak
dibenarkannya pemberian imbalan terhadap modal dalam bentuk bunga yang
merupakan hasil balik yang positif tanpa turut menanggung resiko. Yang
dibenarkan imbalan itu adalah berupa bagi untung-rugi. Kalaupun terjadi inflasi
dan kalau investasi itu menghasilkan keuntungan maka bagian keuntungan yang
diterima oleh pemilik modal sudah mengakomodasi adanya inflasi berupa nilai
nominal keuntungan yang lebih besar karena harga komoditas hasil investasi itu
juga turut naik.
Selain itu, bisa jadi inflasi itu disebabkan oleh adanya bunga. Bunga bagi
pelaku investasi merupakan biaya. Biaya tersebut akan mendorong kenaikan harga
output, sehingga secara agregat akan terjadi inflasi. Jadi bunga bisa menyebabkan
inflasi. Apabila bunga juga dikenakan dengan alasan adanya inflasi dan bahkan
suku bunga harus lebih tinggi dari pada inflasi, maka terjadi lingkaran setan yang
saling menguatkan: inflasi terjadi karena adanya bunga dan bunga ada karena
adanya inflasi. Bahkan lingkaran setan tersebut akan semakin membesar karena
suku bunga harus lebih tinggi dari pada inflasi. Suku bunga yang lebih tinggi ini
akan mengakibatkan kenaikan inflasi, dan kenaikan inflasi mengakibatkan suku
bunga yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya.
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 8ഊ2.2.7 Bunga sebagai Keuntungan
Samuelson dan ekonom kapitalis yang lain lebih jauh lagi menganggap
bunga itu sebagai keuntungan. Seperti halnya penjualan komoditas yang boleh
untung, penjualan modal juga boleh untung.
Argumen ini sesungguhnya adalah suatu kerancuan. Modal dalam bentuk
dana tidak sama dengan komoditas barang dan jasa. Jual-beli komoditas
diperbolehkan dan keuntungan dari jual-beli komoditas juga dibolehkan. Akan
tetapi, dana sebagai alat tukar atau kekayaan tidak bisa dijual-belikan dan
karenanya tidak dibenarkan adanya keuntungan berupa bunga dari jual-beli dana.
Yang dibolehkan adalah penyertaan dana dari pemilik dana dalam kegiatan
investasi pihak lain, dan pemilik dana tersebut mendapatkan imbalan berupa bagi
untung-rugi.
2.3 Pelarangan Bunga
Pelarangan bunga pada dasarnya berimplikasi bahwa penetapan di muka
atas hasil balik positif dari pinjaman sebagai penghargaan untuk menunggu tidak
diperkenankan oleh Syariah. Jika hasil balik atas pokok tersebut dapat positif atau
negatif tergantung pada hasil akhir usaha, yang tidak diketahui di muka, dan
nisbahnya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yg ditetapkan oleh Syariah,
maka hal itu dibolehkan.
Pelarangan bunga muncul dlm al-Qur’an di empat wahyu:
(1) QS 30: 39 di Mekkah, yang menekankan bahwa bunga menghilangkan berkah
Allah pada kekayaan, sedangkan derma melipatgandakan harta.
(2) QS 4: 161 di awal periode Madinah, yang sangat mengutuk riba dengan
menempatkan orang-orang yang mengambil riba sejajar dengan orang-orang
yang secara salah mengambil harta orang lain dan mengancamnya dengan
hukuman yang keras dari Allah.
(3) QS 3: 130-2 sekitar tahun ke-2 atau ke-3 hijrah, yang melarang muslim untuk
mengambil riba bila ingin mendapatkan kesejahteraan.
(4) QS 2: 275-281, menjelang misi akhir Rasulullah, yang mengecam orang-orang
yang mengambil riba, menetapkan perbedaan yang jelas antara perdagangan
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 9ഊdan riba, dan mengharuskan muslim untuk membatalkan riba yang sedang
terjadi dan hanya mengambil pokok piutangnya.
Nabi Muhammad SAW mengecam bukan hanya penerima riba tetapi juga
pembayar riba dan orang-orang yag mencatat transaksi atau saksi. (Hadist)
3. Alternatif Bunga
Meskipun dana bukan faktor produksi tetapi karena dana (modal)
diperlukan untuk memperoleh faktor produksi, Islam mengakui peranan dana
dalam investasi. Namun karena hasil balik modal hanya dapat ditentukan setelah
semua penghasilan dan biaya dihitung, dan mungkin positif atau negatif, Islam
melarang tingkat hasil balik yang positif yang ditentukan sebelumnya dalam
bentuk bunga.
Islam menawarkan tiga alternatif dari pinjaman yg didasarkan bunga,
yaitu: qard hasan, jual beli, dan pendanaan yg berkeadilan (equity financing).
(Ahmad, 1989). Qard hasan adalah pinjaman yang dikembalikan pada akhir
periode waktu yang disetujui tanpa adanya bunga atau bagi hasil dari suatu usaha.
Pendanaan ini bersifat altruistik, biasanya untuk jangka waktu pendek, dan untuk
mendanai usaha kecil atau meringankan kesulitan pribadi.
Dalam jual beli, pihak yang mendanai membeli barang yang dibutuhkan
oleh pihak yang didanai lalu menjualnya kepada pihak yang didanai tersebut.
Apabila uang secara jelas dan khusus digunakan untuk pengadaan input habis
pakai maka penghargaan terhadap uang dapat berupa keuntungan dari jual beli
input habis pakai tersebut (salaf). Apabila uang secara jelas dan khusus
digunakan untuk membeli barang modal maka penghargaan terhadap uang dapat
berupa keuntungan dari jual beli barang modal tersebut (murabaha, leasing).
Dalam pendanaan yang berkeadilan, pihak yang mendanai berbagi
keuntungan dan kerugian dari hasil usaha dengan pihak yang didanai. Pendanaan
ini dapat dilakukan untuk periode waktu tidak terbatas seperti dalam kasus
kepemilikan saham atau periode waktu terbatas (pendek, menengah, atau panjang)
seperti dalam kasus pinjaman. Ada tiga saluran pendanaan yang berkeadilan,
yaitu: mudharabah, syirkah, dan kepemilikan saham. Mudharabah adalah bentuk
organisasi usaha dimana pengusaha menyediakan manajemen tapi mengandalkan
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 10ഊsumber keuangan dari pihak lain, dengan berbagi keuntungan dan kerugian.
Keuntungan dibagi antara kedua belah pihak dengan proporsi yang disepakati.
Bila terjadi kerugian, pemberi dana menanggung kerugian tersebut sebesar nilai
kerugian dan pengusaha menanggung kerugian tersebut dengan tidak menerima
kompensasi atas waktu dan keahlian yang disumbangkan.
Syirkah adalah bentuk organisasi usaha dimana dua atau lebih orang
berkontribusi dalam pendanaan dan manajemen usaha dalam proporsi yang sama
atau tidak sama. Keuntungan dibagi dengan proporsi yang disepakati yang sesuai
dengan kontribusinya. Kerugian ditanggung secara proporsional terhadap dana
masing-masing dan masing-masing pihak tidak menerima kompensasi atas
kontribusi manajemen.
Dalam kepemilikan saham, pihak pemberi dana hanya menyediakan dana
tetapi tidak melakukan usaha atau mengevaluasi kegiatan usaha. Pemilik saham
menerima keuntungan berupa dividen sesuai dengan proporsi kepemilikan
sahamnya bila usaha untung dan menangung kerugian sesuai dengan proporsi
kepemilikan sahamnya bila usaha rugi.
4. Kelembagaan
Untuk mengembangkan dan melaksanakan sistem moneter Islam perlu
dibangun kelembagaan moneter Islam. Meskipun lembaga-lembaga moneter
Islam tidak begitu berbeda dengan yang di ekonomi kapitalis, namun berbeda
dalam tujuan, mekanisme, kekuatan, lingkup, dan tanggungjawab masing-masing
lembaga.
Kelembagaan moneter dalam ekonomi Islam terdiri dari bank sentral,
bank-bank komersial, lembaga-lembaga keuangan bukan bank, perusahaan
asuransi, dan perusahaan audit investasi. Masing-masing lembaga ini merupakan
bagian integral dari sistem dan tidak mungkin dikeluarkan kalau ingin mencapai
tujuan moneter Islam. (Chapra, 1985).
4.1 Bank Sentral
Bank sentral merupakan poros perbankan Islam karena hanya dengan
kehati-hatian dan usaha kreatifnya sistem uang dan perbankan mencapai
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 11ഊaktualisasi dirinya. Ia harus merupakan lembaga otonomi yang bertanggungjawab
merealisasikan tujuan sosial-ekonomi dari ekonomi Islam melalui bidang
keuangan dan perbankan. Fungsi bank sentral mencakup: mengambil kebijakan
moneter; mencetak uang; menjaga stabilitas internal dan eksternal bersama
pemerintah; menjaga stabilitas nilai riil uang; menjadi bank bagi pemerintah dan
bank-bank komersial, menjadi tempat pemberi pinjaman terakhir; menetapkan izin
dan penyelesaian cek dan transfer; dan memberi pedoman, mengawasi, dan
mengatur bank-bank komersial, lembaga-lembaga keuangan bukan bank,
perusahaan asuransi, dan lembaga audit investasi tanpa merusak otonomi masing-masing
lembaga ini. Bank sentral juga mencegah konsentrasi kekayaan di tangan
pihak-pihak yang berkepentingan melalui lembaga-lembaga keuangan.
4.2 Bank-bank Komersial
Dalam bagian bank-bank komersial ini akan dibahas perbedaan pokok
bank Islam dan bank kapitalis, sumber dana, dan pemanfaatan dana.
4.2.1 Perbedaan Pokok Bank Islam dan Bank Kapitalis
Ada enam perbedaan pokok antara bank komersial Islam dan bank
komersial kapitalis, yaitu sebagai berikut. (Ahmad, 1989).
(1) Bank komersial kapitalis menggunakan pendanaan yang didasarkan pada
bunga (interest based financing), sedangkan bank komersial Islam
menggunakan pendanaan yang berkeadilan (equity financing).
(2) Dalam operasi bank komersial kapitalis ada kecenderungan lebih melayani
kepentingan perorangan dan kelompok kepentingan, sedangkan bank
komersial Islam lebih melayani kepentingan masyarakat karena bank
komersial menggunakan dana masyarakat.
(3) Bank komersial kapitalis merupakan bank komersial murni yang bermotivasi
keuntungan maksimum, sedangkan bank komersial Islam merupakan bank
universal dan bertujuan jamak dan bukan bank komersial murni.
(4) Bank komersial Islam harus lebih berhati-hati mengevaluasi permintaan
pinjaman dari pada bank komersial kapitalis karena sistem pendanaan yang
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 12ഊberkeadilan yang lebih beresiko menanggung kerugian dari pada sistem
pendanaan yang didasarkan bunga yang diterapkan bank komersial kapitalis.
(5) Praktek bagi keuntungan dan kerugian bank komersial Islam mengharuskan
hubungan yang lebih dekat antara bank komersial Islam dengan pengusaha
dari pada antara bank komersial kapitalis dengan pengusaha.
(6) Dalam mengatasi kekurangan likuiditas, bank komersial kapitalis meminjam
uang dari pasar uang atau bank sentral dengan dasar bunga; sedangkan, bank
komersial Islam menggunakan fasilitas kredit sesama bank berdasarkan bagi
keuntungan-kerugian, melakukan kerjasama antar bank untuk saling
meminjam dan meminjamkan, dan atau memiliki dana bersama yang disimpan
di bank sentral.
4.2.2 Sumber Dana
Sumber dana bank Islam harus datang dari dana berkeadilan yang bisa
berupa simpanan biasa (demand deposit), tabungan mudharabah dan deposito
mudharabah, serta saham. (Ahmad, 1989). Simpanan biasa dapat ditarik setiap
saat atas permintaan, dijamin penuh, dan tidak ada hasil balik. Alasan simpanan
tidak menerima bagian keuntungan adalah bahwa simpanan dijamin penuh dan,
menurut Syariah, bagi keuntungan tidak dibolehkan tanpa bagi resiko. Motivasi
orang untuk menyimpan dananya di bank adalah untuk keamanan.
Tabungan mudharabah dan deposito mudharabah berbagi keuntungan dan
kerugian. Bagian keuntungan atau kerugian nasabah didasarkan pada saldo rata-rata
selama periode distribusi keuntungan atau kerugian (kuartalan, setengah
tahunan, atau tahunan). Karena deposito mudharabah bersifat sementara dan
jangka pendek, dana ini harus dikembalikan apabila jatuh tempo. Nilainya,
meskipun dapat naik atau turun sebagai akibat dari untung atau rugi perusahaan,
tapi tidak mengalami apresiasi atau depresiasi seperti saham.
Saham juga berbagi keuntungan dan kerugian. Bagian keuntungan atau
kerugian pemegang saham didasarkan pada proporsi kepemilikan sahamnya.
Saham bersifat permanen dan jangka panjang. Nilainya, disamping dapat naik
atau turun sebagai akibat dari untung atau rugi perusahaan, juga mengalami
apresiasi atau depresiasi sebagai respon terhadap kekuatan pasar.
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 13ഊ4.2.3 Pemanfaatan Dana
Seluruh dana yang ada dapat digunakan untuk: menyediakan uang tunai,
sebagai cadangan wajib, proyek pemerintah, dan investasi. Ahmad, 1989). Uang
tunai dapat disediakan sekitar 10 persen dari dana simpanan, tabungan, dan
deposito. Besaran uang tunai sesungguhnya tergantung pada kebiasaan bank,
penggunaan uang tunai, dan waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian cek.
Cadangan wajib yang besarnya sekitar 10 sampai 20 persen dari simpanan
nasabah disimpan di bank sentral yang akan digunakan oleh bank sentral untuk
memberikan pinjaman kepada bank komersial yang mengalami kekurangan
likuiditas. Alasan bahwa cadangan wajib ini hanya dari simpanan nasabah adala
karena tabungan dan deposito mudharabah diperlakukan dalam bank komersial
Islam sebagai saham yang tidak terkena cadangan wajib.
Sebesar maksimum 25 persen dari simpanan biasa dipinjamkan kepada
pemerintah untuk mendanai proyek yang bermanfaat secara sosial yang bagi
keuntungan-kerugian tidak layak atau diminati. Dana pinjaman ini dapat berupa
qard hasan bagi pemerintah yang akan mengeluarkan surat berharga tanpa bunga.
Alasannya adalah karena sumber dana simpanan biasa tersebut berasal dari
masyarakat dan bank tidak memberikan hasil balik karena dana ini dijamin dan
tidak beresiko. Cara terbaik menggunakan dana ini adalah dengan menggunakan
sebagian dana ini untuk membiayai proyek-proyek yang dilakukan pemerintah
yang bermanfaat bagi masyarakat.
Saldo dana sebesar sekitar 45 sampai 60 persen dari keseluruhan dana
dimanfaatkan dengan berbagai cara dalam investasi untuk menghasilkan
keuntungan. Bank berperan sebagai penyedia dana bagi para pengusaha yang
mempunyai kemampuan manajemen tapi kekurangan dana dalam memproduksi
dan menjual barang dan jasa. Bentuk investasi tersebut antara lain: mudharabah,
syirkah, saham, leasing, dan murabahah.
Dalam kasus mudharabah, bank tidak berpartisipasi dalam manajemen
usaha yang didanai, tetapi melakukan pengawasan yang memadai untuk
memastikan bahwa dana digunakan sesuai dengan kesepakatan mudharabah.
Dalam kasus syirkah, bank berpartisipasi dalam manajemen usaha yang didanai.
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 14ഊBank dan pengusaha bersama-sama memadukan bakat dan keahlian mereka untuk
mengembangkan usaha.
Dalam kasus saham, peranan bank tergantung pada relatif besarnya
kepemilikan saham bank tersebut dibandingkan dengan kepemilikan pihak lain
dalam usaha yang didanai. Semakin besar kepemilikan saham bank relatif
terhadap pihak lain semakin besar kekuatan kontrol terhadap usaha tersebut.
Lease ada dua macam, yaitu financial lease dan operating lease. Financial
lease adalah kesepakatan yang tidak bisa dibatalkan antara bank dengan nasabah
untuk pembelian oleh bank atas aset tertentu dan disewakan kepada nasabah untuk
jangka menengah atau panjang. Operating lease adalah kesepakatan yang bisa
dibatalkan antara bank dengan nasabah untuk pendanaan operasi usaha nasabah
dan bersifat jangka pendek.
Murabahah adalah kesepakatan dimana bank membeli barang atau jasa
yang diinginkan oleh nasabah, yang membutuhkan pendanaan untuk barang atau
jasa tersebut, dan kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang
disepakati yang memberikan keuntungan tertentu bagi bank, dengan pembayaran
oleh nasabah dalam waktu yang disepakati dengan cara pembayaran satu kali atau
cicilan.
4.3 Lembaga-lembaga Keuangan Bukan Bank
Lembaga-lembaga keuangan bukan bank yang mencakup credit unions,
koperasi, modal ventura, dan lembaga-lembaga manajemen investasi lain dalam
Islam adalah lembaga-lembaga yang menghimpun dana dari pemilik saham, bank-bank
komersial, deposito mudharabah, dan dana khusus yang ditempatkan dalam
lembaga ini untuk jangka waktu pendek, menengah, dan panjang dan
menggunakan dana tersebut untuk memperoleh saham di usaha lain (tanpa
memiliki kontrol) dan memberikan pendanaan mudharabah jangka pendek dan
menengah. Keuntungan yang diperoleh lembaga-lembaga keuangan bukan bank
dialokasikan di antara pemegang saham dan deposito sesuai dengan formula yang
disepakati, setelah diambil untuk cadangan kerugian yang kemungkinan terjadi di
masa yang akan datang.
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 15ഊ4.4 Lembaga Penjamin Simpanan
Sementara deposito mudharabah diharapkan dapat menarik, simpanan
biasa yang tidak mendapatkan bagian keuntungan tetapi ada kemungkinan
mengalami kerugian kalau bank mudharabah mengalami kerugian mungkin
membuat pemilik dana enggan menyimpan uang dalam bentuk simpanan biasa.
Karena hal ini dalam jangka panjang tidak diinginkan oleh masyarakat Islam,
perlu diberikan jaminan bagi simpanan biasa. Jaminan ini akan menghilangkan
kekhawatiran kerugian dan membangun keyakinan bank Islam. Karenanya
lembaga penjamin simpanan merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem bank
Islam.
4.5 Lembaga Audit Investasi
Lembaga audit investasi memeriksa keuangan perusahaan atau nasabah
yang memperoleh dana dari lembaga keuangan bank atau bukan bank Islam
apakah dalam bentuk saham atau mudharabah. Tujuannya adalah untuk
melindungi kepentingan lembaga-lembaga keuangan, pihak yang menyimpan
dana di lembaga keuangan, dan pemegang saham. Pemeriksaan tersebut akan
membuat pengguna dana-dana saham atau mudharabah terjaga dan menciptakan
pencegahan terhadap kemungkinan pembuatan laporan keuangan yang curang.
5. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter memegang peranan penting dalam merealisasikan
tujuan Islam. Tapi dengan dihapusnya bunga dan ketiadaan instrumen suku bunga
diskonto dan operasi pasar terbuka dalam obligasi pemerintah yang didasarkan
pada bunga, muncul pertanyaan-pertanyaan: (1) mekanisme apa yang digunakan
untuk menyamakan penawaran dan permintaan uang dengan tiadanya bunga
sebagai mekanisme pasar uang? (2) Bagaimana kebijakan moneter dibuat untuk
memainkan peranan yang efektif dalam mencapai tujuan ekonomi Islam? (3) Apa
alternatif dari surat berharga pemerintah yang didasarkan pada bunga untuk
mendanai defisit anggaran pemerintah dalam kerangka ekonomi yang tidak
mengenal inflasi?
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 16ഊ5.1 Strategi Kebijakan Moneter
Dalam ekonomi Islam, permintaan uang pada dasarnya muncul dari
kebutuhan untuk transaksi dan berjaga-jaga yang ditentukan oleh tingkat
penghasilan dan distribusinya. Permintaan uang untuk spekulasi esensinya dipicu
oleh fluktuasi suku bunga dalam ekonomi kapitalis. Penghapusan suku bunga dan
pengenaan zakat sebesar 2,5 persen per tahun bukan hanya cenderung
meminimalkan permintaan uang spekulatif dan mengurangi efek “terkunci dari
dalam” dari suku bunga melainkan juga meningkatkan stabilitas permintaan uang.
Karenanya, variabel yang perlu dimasukkan dalam perumusan kebijakan moneter
ekonomi Islam adalah persediaan uang dan bukan suku bunga. Bank sentral Islam
harus memfokuskan kebijakan moneternya pada penciptaan pertumbuhan
penawaran uang yang cukup untuk mendanai pertumbuhan output selama jangka
menengah dan panjang dalam kerangka harga yang stabil dan tujuan sosial
ekonomi Islam yang lain.
5.2 Instrumen Kebijakan Moneter
Ada enam unsur instrumen kebijakan moneter ekonomi Islam, yaitu: target
pertumbuhan penawaran uang, andil untuk masyarakat dari simpanan biasa,
cadangan wajib, batas tertinggi kredit, alokasi kredit yang berorientasi pada nilai,
dan persuasi secara moral (moral suasion). (Chapra, 1985).
Bank sentral harus menentukan pertumbuhan penawaran uang (M) setiap
tahun yang sejalan dengan tujuan ekonomi nasional, termasuk tingkat
pertumbuhan ekonomi yang diinginkan dan stabil serta stabilitas dalam nilai uang.
Karena pertumbuhan M sangat berkaitan dengan pertumbuhan uang transaksi
(M0) atau uang dalam peredaran ditambah simpanan di bank sentral, bank sentral
harus mengatur ketersediaan dan pertumbuhan M0.
Sebesar maksimum 25 persen dari simpanan biasa di bank komersial
disisihkan untuk mendanai proyek pemerintah yang memberi manfaat kepada
masyarakat tetapi yang tidak dapat dilakukan dengan pendanaan bagi keuntunga-kerugian.
Dana pinjaman ini dapat berupa qard hasan bagi pemerintah yang akan
mengeluarkan surat berharga tanpa bunga. Alasannya adalah karena sumber dana
simpanan biasa tersebut berasal dari masyarakat dan bank tidak memberikan hasil
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 17ഊbalik karena dana ini dijamin dan tidak beresiko. Cara terbaik menggunakan dana
ini adalah dengan menggunakan sebagian dana ini untuk membiayai proyek-proyek
yang dilakukan pemerintah yang bermanfaat bagi masyarakat.
Bank komersial diwajibkan untuk menyimpan sekitar 10 sampai 20 persen
dari simpanan biasa nasabah di bank sentral sebagai cadangan wajib yang akan
digunakan oleh bank sentral untuk memberikan pinjaman kepada bank komersial
yang mengalami kekurangan likuiditas. Alasan bahwa cadangan wajib ini hanya
dari simpanan nasabah adalah karena tabungan dan deposito mudharabah
diperlakukan dalam bank komersial Islam sebagai saham yang tidak terkena
cadangan wajib.
Bank sentral menetapkan batas tertinggi kredit yang dapat diberikan oleh
bank komersial untuk memastikan penciptaan kredit total konsisten dengan target
moneter. Bank sentral menetapkan kriteria alokasi kredit, yaitu untuk produksi
dan distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh mayoritas masyarakat yang
optimum dan manfaat kredit diperoleh oleh jumlah yang optimum usaha di
masyarakat.
Bank sentral melakukan persuasi moral melalui kontak pribadi, konsultasi,
dan pertemuan dengan memahami kekuatan dan masalah bank-bank komersial
dan memberi saran kepada bank-bank komersial untuk mengatasi kesulitan dan
mencapai tujuan yang diinginkan.
6. Kesimpulan dan Saran
Bahwasanya suku bunga mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kegiatan ekonomi terutama dalam mobilisasi dana tabungan untuk investasi dan
sebagai instrumen utama kebijakan moneter hanyalah mitos dan artifisial yang
dikembangkan oleh kaum kapitalis untuk mempertahankan dominasinya dalam
perekonomian. Pentingnya peranan suku bunga dibangun oleh teori-teori seperti
Time-Preference Theory, Liquidity Preference Theory, Interest and Deposit
Mobilization, Bunga sebagai Harga Kelangkaan dari Modal, Opportunity Cost of
Capital, Bunga untuk Mengimbangi Penurunan Nilai Uang karena Inflasi, dan
Bunga sebagai Keuntungan yang tidak punyai dasar yan kuat. Penerapan suku
bunga dalam perekonomian ini menimbulkan alokasi sumber finansial yang tidak
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 18ഊefisien; ketidakadilan dalam akses untuk investasi, distribusi, dan konsumsi;
ketimpangan antara sektor finansial dan sektor riil, dan ketidakstabilan ekonomi.
Sistem bunga dalam mobilisasi dana tabungan untuk investasi ini harus
diganti dengan qard hasan, murabahah, dan pendanaan yg berkeadilan (equity
financing). Equity financing meliputi mudharabah, syirkah, dan kepemilikan
saham.
Mobilisasi dana ini dilakukan oleh bank komersial yang menerapkan
prinsip syariah. Bank komersial Islam mengumpulkan dana dari simpanan biasa
(demand deposit), tabungan mudharabah dan deposito mudharabah, serta saham.
Dana ini digunakan untuk menyediakan uang tunai bagi nasabah, sebagai
cadangan wajib, proyek pemerintah, dan investasi dalam bentuk mudharabah,
syirkah, saham, leasing, dan murabahah.
Bank sentral melakukan kebijakan moneter untuk mencapai tujuan
ekonomi tanpa menggunakan instrumen suku bunga. Ada enam unsur instrumen
kebijakan moneter ekonomi Islam yang dapat dilakukan oleh bank sentral, yaitu:
target pertumbuhan penawaran uang, andil untuk masyarakat dari simpanan biasa,
cadangan wajib, batas tertinggi kredit, alokasi kredit yang berorientasi pada nilai,
dan persuasi secara moral (moral suasion).
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 19ഊ

Daftar Pustaka
Ahmad, S.M. 1989. Towards Interest-Free Banking. Lahore, Pakistan: Institute
of Islamic Culture.
Bawerk, Bohm. 1891. Positive Theory of Capital. London.
Chapra, M. Umar. 1985. Toward a Just Monetary System. Leicester, UK: The
Islamic Foundation.
Keynes, J.M. 1936. The General Theory of Employment, Interest, and Money.
1936.
Mankiw, N.G. 2005. Macroeconomics. 6 th Ed. New York, NY: Worth Publisher.
Muslehuddin, Muhammad. 1992. Banking and Islamic Law. New Delhi, India:
International Islamic Publishers.
Pindyck, R. S. and Rubinfeld, D. L. 2001. Microeconomics. 5 th ed. Prentice Hall
International, Inc.
Samuelson, Paul A. and Nordhaus, Willam D. 2004. Economics. 15 th ed. New
York: Mc Graw-Hill, Inc.
Wicksell, Nut. 1936. Interest and Price. London, McMillan.
Abbas Ghozali: Ekonomi Tanpa Bunga, Mungkinkah? 20

Makalah disajikan dalam International Seminar and Symposium on Implementations of Islamic
Economics to Positive Economics in the World yang diselenggarakan oleh DPP Ikatan Ahli
Ekonomi Islam Indonesia bekerjasama dengan Program Doktor Studi Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga di Surabaya pada tanggal 1 s.d. 3 Agustus 2008. 2 Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selasa, 26 Agustus 2008

Survey Tempat BMT Insan Sejahtera di Pd Labu


Sabtu, tanggal 23 Agustus 2008, habis ujian Manajemen Zakat dan Wakaf, temen-teman IEF angkatan 3 survey tempat BMT Insan Sejahtera ke rumah Drajat di Pd Labu.

Survey Tempat BMT di Plaza Ujung Menteng Jaktim


Senin tanggal 18 Agustus 2008, beberapa tim surrvey dari angkatan III IEF Trisakti (Pak Aidil, Mbak Endang, Mbak Dewi, Mbak Yuni,jahar), melakukan survey calon tempat BMT di Plaza Ujung Menteng, Jl. Raya Bekasi KM 5 , jakarta Timur.

Peminat Sukuk Melonjak


Selasa, 26 Agustus 2008 | 14:55 WIB
Laporan Wartawan Persda Network Hasanuddin Aco

JAKARTA, SELASA - Minat investor terhadap surat berharga syariah negara (SBSN) atau Sukuk Negara Seri IFR-0001 dan Seri IFR-002 tergolong tinggi. "Ini dibuktikan dengan over-subscription 1,6 kali dimana total permintaan mencapai Rp 8,070 triliun dari target indikatif sebesar Rp 5 triliun," kata Dirjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (26/8).

Menurut Rahmat porsi permintaan dari investor domestik cukup tinggi sekitar Rp 7,1 triliun atau 88 persen dari total permintaan. "Terdapat investor individu yang menyampaikan bids. Ini artinya ada kelompok masyarakat yang tak sabar menunggu Sukuk Ritel," katanya.

Pemerintah menunjuk tiga agen penjual Sukuk yakni Danareksa Sekuritas, Mandiri Sekuritas, dan Trimegah Securities.

Sebelumnya pemerintah membuka masa penawaran 15-21 Agustus 2008, penjatahan 22 Agustus, penyediaan dana di sub registry 25 agustus, dan setelmen hari ini. Rencananya pencatatan di BEI dilakukan besok, 27 agustus.

SBSN yang pertama ini diterbitkan dengan jenis akad ijarah (sale and lease back) dengan waktu jatuh tempo 7 dan 10 tahun, ditujukan untuk semua investor baik institusi maupun perorangan WNA maupun WNI.

SBSN sebenarnya sama dengan surat utang negara (SUN) hanya penerbitannya mengikuti prinsip syariah. Penerbitan SBSN perdana ini telah mendapat pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional.

Nilai nominal per unit SBSN Rp 1.000.000 dengan imbalan berupa sewa yang jumlah pembayarannya bersifat tetap (fixed coupon) yang akan ditentukan pemerintah berdasarkan tingkat penawaran SBSN dan frekuensi pembayaran secara periodik setiap enam bulan sedangkan jumlah emisi akan ditetapkan pemerintah setelah berakhirnya masa bookbuilding.
http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/26/14553496/peminat.sukuk.melonjak

Selasa, 19 Agustus 2008

Wakaf Uang Dalam Perspektif Undang-Undang

Wakaf Uang Dalam Perspektif Undang-Undang
No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Muhammad Ramadhan dan Azwani Lubis

Beberapa tahun belakangan berkembang sebuah wacana yang cukup menarik,
yaitu berkenaan dengan wakaf uang. Alasan yang paling utama mengapa wakaf uang
ini terus disosialisasikan adalah karena wakaf benda tidak bergerak, bagaimanapun
juga sangat terbatas. Wakaf jenis ini hanya dapat dilaksanakan oleh segelintir orang
yang memiliki kemampuan sangat berlebih dan mempunyai kesadaran berwakaf yang
tinggi. Akhirnya, seringkali wakaf jenis ini menjadi amalan yang sangat elitis atau
amalah khusus orang-orang yang sangat kaya saja. Sedangkan orang yang
ekonominya biasa-biasa saja sering tidak dapat berwakaf. Pada hal jumlah muslim
yang kehidupannya biasa (ekonomi kecil dan menengah) jauh lebih besar dibanding
dengan konglomerat-konglomerat muslim. Tentu saja jika hal ini dimanfaatkan maka
potensinya dana umat sesunggunya sangat besar.
Cukup menarik andaian yang disampaikan oleh Mustafa Edwin Nasution
Ketua Program Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam UI (PKTTI-UI) dalam
makalahnya yang berjudul, “Wakaf Tunai: Strategi untuk Mensejahterakan dan
Melepaskan Ketergantungan Ekonomi”, yang menyatakan sebagai berikut: Jika umat
Islam yang penghasilannya Rp. 500.000,-/bulan jumlahnya hanya 4 juta orang, dan
1ഊmereka berwakaf tunai Rp. 5000,-/bulan, maka dalam satu tahun dana yang
terkumpul mencapai Rp. 240 Milyar. sedangkan umat Islam yang penghasilannya 1
juta- 2 Juta/bulan jumlahnya 3 Juta orang dan berwakaf Rp. 10.000,-/bulan, maka
dana yang terkumpul pertahun mencapai Rp. 360 Milyar. Demikian juga umat Islam
yang penghasilannya Rp. 2 juta-5 juta/Tahun yang jumlahnya 2 juta orang berwakaf
Rp.50.000,-/bulan, maka dalam satu tahun jumlah dana yang terkumpul 1,2 Triliun.
Sedangkan umat Islam yang penghasilannya Rp, 5 Juta – 10 Juta /Tahun yang
jumlahnya hanya 1 juta saja, dan berwakaf Rp. 100.000/bulan maka dalam satu tahun
dana yang terkumpul mencapai Rp.1,2 Triliun. Jumlah dana wakaf dari umat Islam
sesuai dengan tingkat penghasilannya di atas selama satu tahun dapat mencapai angka
Rp. 3 Triliun.
Andaian di atas hanyalah sekedar memperkirakan bahwa kelas menengah
umat Islam Indonesia yang penghasilannya Rp. 500.000,- sampai RP. 10 juta/ bulan
hanyalah 10 juta dari total 200.000 juta umat Islam Indonesia. Bisa saja kenyataan
kelas menengah muslim Indonesai mencapai jumlah yang jauh lebih banyak dari
jumlah di atas. Persoalannya mengapa potensi wakaf tunai yang sangat besar tersebut
tidak termanfaatkan selama ini ?.
Wakaf Uang Dalam Perspektif Fikih
Berbeda dengan wakaf benda tidak bergerak, tampaknya wakaf uang tidak
diperbincangkan secara luas di dalam kitab-kitab fikih klasik. Hal ini bisa dipahami,
wakaf uang di dalam fikih merupakan sesuatu yang diperdebatkan. Bagi yang
menolak wakaf uang, tidak mungkin mereka membahas wakaf uang. Sedangkan bagi
2ഊyang membolehkan, juga tidak mungkin membahasnya lebih luas, karena informasi
wakaf uang sangat terbatas. Bahkan tidak ada satu ayat dan hadispun yang bicara
tentang wakaf uang.
Dengan menggunakan tinjauan sosiologis, bisa dipahami karena fikih wakaf
dirumuskan pada masyarakat agraris, bukan pada masyarakat industri atau jasa. Di
samping itu, contoh yang sering dirujuk ketika menjelaskan tentang wakaf adalah
prilaku Umar r.a dengan tanah khaibarnya. Lengkaplah sudah bahwa wakaf hanya
benda yang tidak bergerak, yang abadi dan tidak sirna.
Selanjutnya, akibat tidak dibicarakannya wakaf uang pada masa-masa awal
Islam, umat Islampun akhirnya terlambat mengenal jenis wakaf ini. Oleh sebab itu,
adalah absah jika penulis menduga tidak berkembangnya wakaf uang di Indonesia
agaknya didasarkan pada pemahaman mayoritas umat Islam Indonesia yang masih
menganut mazhab Syafi`i. Sebagaimana dijelaskan di dalam kitab-kitab fikih, Syafi’I
ternyata tdak membolehkan wakaf uang. Alasannya adalah, dinar dan dirham itu
wujudnya akan lenyap ketika dibayarkan. Pada hal yang dimaksud wakaf dalam
mazhab Syafi`i adalah bendanya harus tetap dan tidak boleh lenyap (baqa’ ‘ainih).
Lebih jelas dalam mazhab Syafi`i, wakaf didefinisikan sebagai “penahanan
(pencegahan) harta yang mungkin dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya…”.
Jadi kata kunci dari wakaf terletak pada pemanfaatan benda wakaf secara terus
menerus tanpa harus kehilangan (habis) bendanya. Wakaf uang tentu tidak masuk
dalam definisi ini.
3ഊBerbeda dengan mazhab Syafi`i di atas, mazhab Hanafi cenderung
membolehkan wakaf uang (dinar dan dirham) dengan cara uang tersebut harus
dijadikan sebagai modal usaha apakah dengan cara mudharabah (bagi hasil) dan
menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Namun penting di catat, pendapat
Mazhab Hanafi ini bagaimanapun majunya, tidak begitu dikenal dalam masyarakat
Islam Indonesia.
Sampai di sini, penulis ingin mengkritik diri sendiri bahwa, penyebutan
bahwa Imam Hanafi membolehkan wakaf uang (dinar dan dirham) tidak diperoleh
langsung dari kitab-kitabnya Hanafi, melainkan berdasarkan beberapa qaul yang
disandarkan kepada Imam Hanafi. Untuk itulah banyak pakar wakaf yang tidak
mendasarkan pendapatnya mengenai wakaf uang ini kepada Imam Hanafi.
Beberapa referensi meyebutkan bahwa Muhammad Ibn Abdullah Al-Anshari
murid Zufar (sahabatnya Abu Hanifah) disebut-sebut sebagai ulama yang
membolehkan wakaf dalam bentuk uang kontan; dinar dan dirham, dan dalam bentuk
komoditi yang ditimbang atau ditakar seperti (makanan dan gandum). Ulama-ulama
saat itu yang mendengar pendapat Al-Anshari bertanay, apa yang kita lakukan dengan
dana cash dirham ? terhadap pertanyaan tersebut Al-Anshari menjawab, “kita
investasikan dana itu dengan cara mudharabah, dan labanya kita sedekahkan. Kita
4ഊjual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah kemudian
hasilnya disedekahkan.1
Ada juga pakar wakaf yang mendasarkan kebolehan wakaf uang ini kepada
Imam Az-Zuhri sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Yasir Nasution yang
menyatakan,
Boleh jadi untuk menghindari keterpakuan kita kepada pemahaman yang sempit
seperti itu, Imam az-Zuhri memberikan fatwa membolehkan mewakafkan dinar
atau dirham sebagai modal usaha. Wakaf uang tersebut diinvestasikan atau
diputar oleh nazhir dan keuntungannya dikelola untuk orang-orang miskin.
Wakaf dalam bentuk uang tunai dalam tradisi Islam disebut دﻮ ﻘﻨﻟا ﻒ ﻗو dan
belakangan ini dipopulerkan dengan istilah cash waqf. Pada zaman
pemerintahan Dinasti Usmani di Turki wakaf uang tunai itu telah berjalan untuk
pembiayaan dan perawatan asset wakaf. Sekarang, banyak lembaga-lembaga
sosial ummat yang menangani pendidikan, pelatihan, dan da’wah mengelola wakaf
dalam bentuk uang tunai di samping bentuk lainnya, seperti lembaga Waqf Al-Birr's
European Management Training and Educational Centre (EMTEC) dan
lembaga serupa yang dipimpin oleh Yusuf Islam di Inggris.2
1 Hal. Departemen Agama RI, Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Islam, (Depag
RI, 2005) hal. 95. Dikutip dari Ibn Abidin, Raddu Al-Mukhtar, (Beirut: Dar Al-Kutub, 1994)
VI, h. 555-556
2 Lihat Yasir Nasution dalam, Muhammad Syafi’i Antonio, Wawancara berjudul
Harus Ada Lembaga Kredibel dan Transparan, Harian Republika, Jum’at 1 Februari 2002, h. 5.
Muhammad al-Habib Belkhoja dalam tulisannya Waqf and Development menyatakan
bahwa uang tunai masuk dalam harta yang diwakafkan. Muhammad al-Habib Belkhoja,
Waqf and Development, Waqf Website, t.th., h. 9. Lihat juga Ahmet Tabakoglu menulis
bahwa waqf dalam pemerintahan Usmani : “Foundations (waqf) are of two kinds :
5ഊBerkaitan dengan wakaf uang (cash waqf) di Indonesia, terlihat dengan jelas
adanya hambatan pemahaman untuk tidak mengatakannya sebagai keyakinan di
masyarakat Islam itu sendiri yang masih terikat dengan mazhab Syafi`i. Walaupun
ada pendapat yang membolehkannya seperti terdapat dalam mazhab Hanafi dan
sebagian kecil mazhab Syafi’i, pendapat ini belum tersosialisasi dikalangan umat
Islam Indonesia. Atas dasar ini diperlukan fikih wakaf baru yang berwawasan
ekonomi dengan menggali berbagai pendapat mazhab yang beragam sehingga bisa
ditemukan pendapat yang relevan. Disamping itu agaknya perlu dipertimbangkan,
ternyata dalam sejarah Islam, wakaf tunai telah dikenal sejak periode Usmaniyah,
demikian pula pada masa Bani Mamluk dan juga di Mesir.3
Kendati demikian dengan mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih besar
terlebih di saat bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan dan
memiskinkan umat Islam dalam jumlah yang cukup mencengangkan , ditambah
hutang negara yang cukup besar, pendapat mazhab Hanafi ini layak dikembangkan
dan menjadi dasar kebolehan untuk melaksanakan Wakaf uang.
Negara yang dipandang berhasil menerapkan sertifikat wakaf tunai ini adalah
Bangladesh. Diawali dengan gagasan M.A.Mannan seperti yang terlihat dalam
artikelnya yang berjudul , Cash-Waqf Certificate Global Apportunities for
tangible (in the form of buildings and real setate) and intangible”. Lihat dalam Ahmet
Tabakoglu, The Role of Finance in Development : The Ottoman Experience, makalah dalam The
3 rd International Conference on Islamic Economics, 1992, h. 9.
3 M. A. Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai:Sebuah Inovasi Instrument Keuangan
Islam ( CIBER dan PKTTI-UI, 2001) hal. 51
6ഊDeveloping The Social Capital Market in 21-Century Voluntary Sector Banking”
yang telah diterbitkan edisi Indonesianya dengan judul “Sertifikat Waqf Tunai;
Sebuah Intrument Keuangan Islam” (CIBER dan PKTTI-UI; 2001). Setidaknya
menurut Mannan ada beberapa manfaat yang dapat diraih melalui sertifikat wakaf
tunai ini. Pertama, Wakaf Tunai dapat merubah kebiasaan lama di mana kesempatan
berwakaf hanya untuk orang-orang kaya saja. Meminjam bahasa Dawam Rahardjo,
kesempatan untuk mendapatkan “kapling tanah” di surga bukan hanya milik
Konglemerat saja tetapi dapat dimiliki setiap umat Islam melalui wakaf uang. Kedua,
Wakaf tunai dapat berperan sebagai supplemen bagi pendanaan berbagai macam
proyek investasi sosial yang dikelola oleh bank-bank Islam sehingga pada gilirannya
dapat berubah menjadi Bank Wakaf.4
Wakaf Uang dalam Perspektif Undang-undang
Kendatipun umat Islam Indonesia mayoritas bermazhab Syafi’I, tampaknya
dalam hal wakaf uang ini, ulama dan pemikir-pemikir ekonomi Islam memilih
pendapat yang membolehkan wakaf uang. Setidaknya inilah yang tercermin di dalam
undang-undang No 41 tahun 2004.
Pada Bagian Keenam tentang harta benda wakaf pasal 16 ayat 1 dijelaskan
bahwa, harta benda wakaf terdiri dari : a, benda tidak bergerak. B. benda bergerak.
Selanjutnya pada ayat 3 dinyatakan bahwa:
Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hurup b adalah harta
benda yang tidak dapat habis karena dikosumsi, meliputi: a. uang, b. logam mulia, c.
4 Ibid.,
7ഊSurat berharga, d. Kendaraan, e. Hak atas kekayaan intelektual. F. hak sewa dan, g.
benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Klausul di atas dapat dijadikan dalil akan kebolehan wakaf uang. Dengan
menggunakan kaedah fikih, keputusan hakim menyelesaikan perbedaan (hukm al-hakim
yarfa’u al-khilaf). Maksudnya, dengan diundangkannya masalah wakaf uang,
khilaf antara yang membolehkan wakaf uang dan kelompok yang tidak
membolehkannya menjadi tidak relevan lagi.
Oleh sebab itu, perbincangan wakaf uang sejatinya tidak lagi pada persoalan
boleh dan tidak boleh, melainkan pada wacana bagaimana memberdayakannya.
Oleh karena itu pada bagian kesepuluh tentang “wakaf benda bergerak
berupa uang” pasal 28 dijelaskan bahwa, wakif dapat mewakafkan benda bergerak
berupa uang melalui lembaga keuangan syari’ah yang ditunjuk oleh menteri agama.
Selanjutnya pada pasal 29 ayat 2 dijelaskan bahwa, Wakaf benda bergerak
berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterbitkan dalam bentuk sertifikat
wakaf uang.
Dari beberapa pasal di atas ada beberapa hal yang menarik. Pertama, wakaf
uang tampaknya hanya boleh dilakukan melalui lembaga keuangan syari’ah sebagai
pihak yang diberi kewenangan untuk mengelola wakaf uang. Alasan yang sering
dikemukakan adalah bank dipandang dapat mejamin bahwa wakaf uang tersebut tidak
akan habis kendati digunakan.
8ഊLewat undang-undang ini jelas bahwa pihak nazir tidak memiliki kewenangan
secara mandiri untuk mengelola wakaf uang. Paling-paling nazir hanya menerima
bagi hasil dari wakaf uang tersebut untuk selanjutnya dimanfaatkan demi kepentingan
umat.
Kedua, lembaga keuangan syari’ah (bank syari’ah) yang ditugaskan untuk
mengelola wakaf uang adalah lembaga yang ditunjuk oleh menteri agama. Di sini
dikhawatirkan muncul monopoli yang melahirkan kecemburuan lembaga keuangan
syari’ah. Jika semua lembaga diberi peluang yang sama untuk mengelola wakaf uang,
dikhawatirkan memunculkan persoalan baru, seperti persaingan antar bank dan
sebagainya.
Mencermati undang-undang No 41 Tahun 2004 tentang wakaf, penulis
melihat ada standar ganda yang diterapkan undang-undang. Pada satu sisi, undang-undang
telah memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk berwakaf. Namun pada
sisi lain, terdapat aturan-aturan yang menghambatnya. Sebagai contoh, dalam konteks
wakaf uang, penunjukan lembaga keuangan syari’ah bagaimanapun akan membuat
wakaf uang sulit perkembang. Nazir hanya mengharapkan bagi hasil dari pihak bank,
yang relative kecil.
Berbeda halnya, jika nazir diberi wewenang untuk mengelola wakaf uang
sebagaimana fatwanya Al-Anshari di atas. Yang penting adalah, nazir dapat
menjamin bahwa dana itu tetap ada walaupun dalam proses pemanfaatannya
mengalami kerugian.
9ഊJika menggunakan lembaga perbankan, penulis khawatir bahwa wakaf tunai
tidak dapat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan dan menangani ketertinggalan
di bidang ekonomi, serta di bidang pendidikan, kesehatan dan riset.
Penutup
Terlepas kelebihan dan kekurangan Undang-undang Wakaf yang ada, yang
jelas, keberadaan undang-undang sangat penting untuk menegaskan kedudukan
hokum wakaf uang. Setidaknya berdasarkan fatwa MUI dan undang-undang tersebut,
wakaf uang tidak lagi dipersoalkan lagi. Yang penting adalah bagaimana
memberdayakannya sehingga apa yang menjadi tujuan wakaf dapat terwujud. Pada
gilirannya, wakaf uang dapat memberdayakan ekonomi Umat. Tidak dapat dilupakan,
bahwa kondisi ekonomi umat yang masih berada di bawah garis kemiskinan, adalah
pertimbangan untuk “menggolkan” wakaf uang tersebut.

Penulis adalah ketua dan Sekretaris Jurusan D3 Manajemen Perbankan
Syari’ah dan Sekaligus Dosen Fakultas Syari’ah IAIN.SU

DAFTAR BACAAN
Abdul Malik Al-Sayed, Social Ethics of Islam Vantage, New York, 1983.
Abu Su'ud Muhammad, Risalatu Fi Jawazi Waqfi an-Nuqud, Dar Ibnu Hazm, Beirut,
1980
Adiwarman Karim, Fungsi Cash Waqaf dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, Karim
Business Consulting, Jakarta, 2001,
Anthony Giddens, Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial., PT. Gramedia,
Cetakan Ketiga, 2000
Arrighi., G., The Long Tewntieth Century., London, Verso, 1999
Bank Indonesia., Biro Perbankan Syariah
Dittmer., L., “Globalization and he Asian Financial Crisis”., Asian
Perspective,Vol 23, No 4, 1999
Dawam Rahardjo, Pengorganisasian Lembaga Wakaf dalam Pemberdayaan
Ekonomi Umat, makalah disampaikan pada Wokshop Internasional Pemberdayaan
Ekonomi Umat Melalui Wakaf produktif, di Batam, 07--08 Januari 2002
Eksiklopedi Islam, Penerbit PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, Cetakan
Ketiga, 1994, buku ke lima
Fauzi Noor, Kebijakan Pemerintah tentang Pemberdayaan Wakaf Produktif,
Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Depag RI, Makalah Seminar Nasional
Membumikan Ekonomi Syari'ah dan Pemberdayaan Wakaf Produktif, di Medan 1-2
Mei 2002,
11ഊHasan Abdullah Amin, Idarah wa at-Tastmir Mumtalakat Awqaf, Al-Ma'had
Al-Islami Al-Buhuts wa al-Tadrib al-Bank al-Islamy li Tanmiyah, 1989.
Kenichi Ohmae, The End of the Nation State : The Rise of Regional
Economic., The Free Press, Simon & Schuster Inc, New York, 1995
Lester C Thurow, The Future of Capitalism, How Today’s Economic Forces
Shape Tomorrow’s World, Nicholas Brealey Publishing, London 1996,
M.A. Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai : Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan
Islam, CYBER dan PKTTI, 2001,
_____________, Lessons of Experience of Social Investment Bank in Family
Empowerment Micro-credit for Poverty Alleviation : A paradigm shift in Micro-finance
Mahmudi., Mempertegas Pembangunan Ekonomi Kerakyatan Republika, Nop
(?), 2001
Monzer Kahf : “Toward the Revival of Awqaf, A Few Fiqhi Issues to
Reconsider., Proceedings of theThird harvard Univesity Forum on Islamamic
Finance, Local Challenges, Global Opportunities, Hharvard University, Cambridge,
Massachusetts, October 1 , 1999
Michael Dumper, Wakaf Muslimin di Negara Yahudi, (Jakarta : Penerbit
Lentera, 1994).
12ഊMuhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah Sebagai Pengelola Dana Waqaf,
Makalah disampaikan pada Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat
Melalui Wakaf Produktif di Batam 07-08 Januari 2002,
Mustafa Edwin, Waqaf tunai : Strategi untuk Mensejahterakan dan
Melepaskan Ketergantungan Ekonomi, IIIT dan Depag RI, Batam, 2002,
______________., Potensi Zakat Rp 7 Triliun : Suatu Tafsir Ekonomi.,
Republika, Desember 2001
________________, “Wakaf Tunai dan Sektor Volunter : Strategi untuk
Mensejahterakan Masyarakat dan Melepaskan Ketergantungan Hutang Luar Negeri,
makalah dipresentasikan pada Seminar Wakaf Tunai di Bank Indonesia, 10
November 2001.
Peterson., Peter G., Facing Up, How to Rescue the Economy from Crushing
Debt & Restore American Dream, Simon & Schuster, ISBN 0-671-79642-9
Proceeding of Seminar Management and Development of Awqaf Properties,
IRTI-IDB, 1987.
Uswatun Hasanah, Manajemen Kelembagaan Wakaf, makalah disampaikan
pada Workshop Internasioal Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan
Wakaf Produktif di Batam 07-08 Januari 2002
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Darul Fikri Al-Mu'ashir,
Damaskus, 1996, jilid x,
13ഊ14
makalah pada
NTERNATIONAL SEMINAR AND SYMPOSIUM
on Implementationo of Islamic Economics
To Positive Economics in The World
as Alternative of Conventional Economics System:
Toward Development in The New Era of The Holistic Economics
Unair, 1-2 Agustus 2008

Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis

  110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm,   ISBN 978-623-6121-22-1.  Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...