Rabu, 05 November 2008

MANAJEMEN LIKUIDITAS PERBANKAN SYARIAH


Oleh: Endang Setyowati, Kurniawan Fahmi, Rachmadewi Sjahesti (Mahasiswa IEF Trisakti, Angkatan 3)
Bagian 1

PENDAHULUAN
Krisis di sektor keuangan yang terjadi saat ini telah membawa dampak yang luas, pada pasar surat-surat berharga, pada sektor perbankan dan lebih jauh lagi pada sektor riil.

Dengan bangkrutnya beberapa Bank Investasi besar di dunia dan perbankan di negara-negara besar melakukan write down atas aset-aset yang terkena dampak krisis subprime mortgage dan turunannya, maka likuiditas di pasar keuangan global menjadi kering dan terganggu. Dunia perbankan dan keuangan di Indonesia, meskipun tidak memiliki exposure terhadap aset subprime mortgage secara langsung, namun jatuhnya perbankan di negara-negara besar membuat perbankan di Indonesia harus meningkatkan tingkat kehati-hatiannya terkait dengan dampak dari risiko likuiditas tersebut. Salah satunya dengan memperketat aturan main pembukaan Letter of Credit bagi eksportir Indonesia dimana dana talangan yang dikeluarkan oleh perbankan berkurang, karena kecenderungan meningkatnya faktor risiko yang tinggi di negara-negara pengimpor.

Di sisi lain, di tengah ketatnya likuiditas global, Bank Indonesia memberikan insentif bagi dunia usaha dengan menurunkan angka Giro Wajib Minimum sehingga meningkatkan likuiditas di kalangan perbankan. Namun dengan mengambil salah satu contoh mengenai pengetatan aturan main Letter of Credit, dunia perbankan tampaknya masih berhati-hati dalam memanfaatkan longgarnya likuiditas tersebut.
Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa kebijakan otoritas moneter dan juga gejolak perekonomian global maupun nasional berpengaruh terhadap kebijakan internal kalangan perbankan dimana tujuannya adalah untuk menjaga kelangsungan hidup industri perbankan itu sendiri.

Manajemen aset dan liabilities dalam dunia perbankan adalah hal yang utama untuk menjaga kelangsungan tersebut. Beberapa tujuan dari manajemen aset dan liabilities adalah untuk mencapai pertumbuhan bank yang wajar, pendapatan yang maksimal, menjaga likuiditas yang memadai, membentuk cadangan, memelihara dana masyarakat dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan kredit. Berkaitan dengan pencapaian tujuan tersebut, maka manajemen likuiditas di industri perbankan yang menjadi bagian dari manajemen aset dan liabilities adalah hal yang harus dilakukan untuk menjaga tingkat profitabilitas bank dan menjaga kepercayaan masyarakat.

PENGERTIAN LIKUIDITAS
Secara umum, pengertian likuditas adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang sesuai, dimana fungsi dari likuditas secara umum untuk
a. menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari;
b. mengatasi kebutuhan dana yang mendesak;
c. memuaskan permintaan nasabah akan pinjaman dan
d. memberikan fleksibiltas dalam meraih kesempatan investasi menarik yang menguntungkan.
Pengertian likuiditas bank adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya, terutama kewajiban dana jangka pendek. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai (cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio liabilitas.

RISIKO LIKUIDITAS
Bank wajib menyediakan likuiditas tersebut dengan cukup dan mengelolanya dengan baik, karena apabila likuiditas tersebut terlalu kecil maka akan mengganggu kegiatan operasional bank, namun demikian likuiditas juga tidak boleh terlalu besar, karena apabila jumlah likuditas terlalu besar maka akan menurunkan efisiensi bank sehingga berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas. Dalam hal Bank tidak mampu memenuhi kebutuhan dana dengan segera untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi kebutuhan dana yang mendesak maka muncullah risiko likuditas.

Risiko Likuditas adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan akibat dari adanya kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka pendek dan aktiva yang pada umumnya berjangka panjang. Besar kecilnya risiko likuditas ditentukan antara lain:
a. Kecermatan dalam perencanaan arus kas atau arus dana berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana;
b. Ketepatan dalam mengatur struktur dana termasuk kecukupan dana-dana non PLS;
c. Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas; dan
d. Kemampuan menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana lainnya, termasuk fasilitas lender of last resort.
Apabila kesenjangan tersebut cukup besar maka akan menurunkan kemampuan Bank untuk memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Oleh karena itu untuk mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas, maka diperlukan manajemen likuiditas, yang mana pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari pengelolaan liabilitas.
Dalam mengantisipasi terjadinya Risiko Likuditas, aktivitas Manajemen Risiko yang umumnya ditetapkan oleh Bank antara lain adalah:
a. Melaksanakan monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah baik berupa penarikan melalui kliring maupun penarikan tunai.
b. Melaksanakan monitoring secara harian atas semua dana masuk baik melalui incoming transfer maupun setoran tunai nasabah.
c. Membuat analisa sensitivitas likuiditas Bank terhadap skenario penarikan dana berdasarkan pengalaman masa lalu atas penarikan dana bersih terbesar yang pernah terjadi dan membandingkannya dengan penarikan dana bersih rata-rata saat ini. Dari analisa tersebut dapat diketahui tingkat ketahanan likuiditas Bank.
d. Selanjutnya Bank menetapkan secondaryreserve untuk menjaga posisi likuiditas Bank, antara lain menempatkan kelebihan dana ke dalam instrumen keuangan yang likuid.
e. Menetapkan kebijakan Cash Holding Limit pada kantor-kantor cabang Bank. Melaksanakan fungsi ALCO (Asset & Liability Committee) untuk mengatur tingkat bunga dalam usahanya
f. meningkatkan/menurunkan sumber dana tertentu.

MANAJEMEN LIKUIDITAS

Menurut beberapa pakar perbankan pengertian manajemen likuiditas adalah sebagai berikut1:
• Duane B Graddy : ” Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan permintaan dana oleh masyarakat dan penyediaan cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan”
• Oliver G Wood: ”Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan kebutuhan dan penyediaan kas secara terus menerus baik kebutuhan jangka pendek atau musiman atau kebutuhan jangka panjang”

Tujuan manajemen likuiditas adalah2 :
• Menjaga posisi likuiditas bank agar selalu berada pada posisi yang ditentukan oleh otoritas moneter yakni Bank Indonesia
• Mengelola alat likuid agar selalu dapat memenuhi semua kebutuhan cash flow termasuk kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan.
• Memperkecil terjadinya idle fund (dana yang menganggur).
• Menjaga posisi likuiditas dan proyeksi arus kas agar selalu dalam posisi aman
Fungsi dari manajemen likuiditas salah satunya adalah untuk memberikan keyakinan kepada para penyimpan dana bahwa deposan dapat menarik sewaktu-waktu dananya atau pada saat jatuh tempo dana tersebut dapat ditarik. Oleh karena itu bank wajib mempertahankan sejumlah dana likuid agar bank dapat memenuhi kewajibannya tersebut.

PENGELOLAAN LIKUIDITAS BANK SYARIAH
Baik bank konvensional maupun bank syariah wajib mengelola likuiditasnya, karena pengelolaan likuditas tersebut diperlukan untuk memenuhi kewajiban bank terutama kewajiban jangka pendek. Namun demikian terdapat beberapa kendala dalam pengelolaan likuiditas dalam Bank dengan berbasis Syariah (bank islam) apabila dibandingkan dengan bank konvensional, mengingat bank dengan berbasis syariah, produk-produknya masih dibilang baru, seiring dengan usia berkembangnya bank syariah. Adapun kendala-kendala tersebut antara lain yaitu:
a. Kurangnya akses untuk memperoleh pendanaan jangka pendek;
b. Kurangnya akses ke pasar uang sehingga bank syariah hanya dapat memelihara likuiditas dalam bentuk kas
c. Kendala operasional, kesulitan dalam mengendalikan likuiditasnya secara efisien, sebagai contoh tidak tersedianya kesempatan investasi segera atas dana-dana yang diterimanya, kesulitan mencairkan dana investasi yang sedang berjalan sehingga berakibat bank-bank Islam menahan alat likuidnya dalam jumlah besar dibandingkan dengan rata-rata perbankan konvensional.

Untuk mengantisipasi masalah tersebut, ada beberapa pilihan yang kebanyakan dilakukan oleh pengelola bank-bank Islam yang bersifat darurat yaitu:
a. Mengupayakan dana di pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah dengan menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia di pasar uang tersebut;
b. mengambil bunga dan menggunakannya untuk tujuan sosial berdasarkan fatwa;
c. menginvestasikan dalam bentuk emas dan/atau logam mulia lainnya seara tunai dengan kontrak berjangka
d. menyimpan dananya di bank konvensional tanpa menerima bunga sebagai imbangan dari servis yang diperolehnya.

PENENTUAN KEBUTUHAN LIKUIDITAS BANK SYARIAH
Pada umumnya kebutuhan likuiditas bank ditentukan oleh adanya beberapa faktor yang meliputi3 :
1. Kewajiban reserve yang ditetapkan oleh bank sentral
Merupakan Giro Wajib Minimum (GWM) yang merupakan ketentuan Bank Indonesia.
Giro Wajib Minimum merupakan kewajiban reserve (reserve requirement) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar prosentase dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Perhitungan prosentase GWM dilakukan berdasarkan jumlah harian saldo giro pada Bank Indonesia dan rata-rata harian jumlah DPK sebagai berikut:

Prosentase GWM Jumlah Harian Saldo Giro Rata-rata DPK
Tanggal Tanggal Tanggal
1 s.d 7 1 s.d 7 16-23 bulan sebelumnya
8 s.d 15 8 s.d 15 24 s.d akhir bulan sebelumnya
16 s.d 23 16 s.d 23 1-7 bulan yang sama
24 s.d akhir bulan 24 s.d akhir bulan 8-15 bulan yang sama

Dana Pihak Ketiga meliputi seluruh DPK dalam rupiah ataupun valuta asing pada seluruh kantor bank yang bersangkutan di Indonesia.
DPK Bank dalam bentuk rupiah meliputi kewajiban kepada pihak ketiga yang terdiri dari:
• Giro wadi’ah
• Tabungan mudharabah
• Deposito investasi mudharabah
• Kewajiban lainnya
DPK dalam rupiah tersebut tidak termasuk dana yang diterima oleh Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dari Bank Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat

DPK Bank dalam bentuk valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga termasuk bank dan Bank Indonesia yang terdiri dari:
• Giro wadi’ah
• Deposito investasi mudharabah
• Kewajiban lainnya
Formula perhitungan GWM:
GWM Rupiah = 5% x DPKt-2
GWM Valas = 3% x DPKt-2
DPKt-2 : rata-rata harian jumlah DPK bank dalam satu masa laporan untuk periode dua masa laporan sebelumnya

Sebelum diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia mengenai ketentuan Giro Wajib Minimum yang terbaru tahun 2008, pada tahun 2004 Bank Indonesia menentukan GWM untuk mata uang rupiah adalah 5% dari Dana Pihak Ketiga, sedangkan GWM valuta asing adalah 3% dari Dana Pihak Ketiga. Selain itu terdapat ketentuan tambahan untuk Bank Syariah sebagai berikut:
a. Bagi bank yang rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK kurang dari 80%, mendapat tambahan perhitungan GWM sebagai berikut4:
• Bank yang memiliki DPK > Rp 1 trilyun sampai dengan Rp 10 trilyun wajib memelihara GWM tambahandalam rupiah sebesar 1% dari DPK.
• Bank yang memiliki DPK > Rp 10 trilyun sampai dengan Rp 50 trilyun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 2% dari DPK.
• Bank yang memiliki DPK > Rp 50 trilyun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 3% dari DPK.
b. Bagi bank yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK sebesar 80% atau lebih, dan atau yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp 1 trilyun rupiah tidak dikenakan tambahan GWM.5
Karena GWM adalah ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia, maka pelanggaran GWM akan dikenakan sanksi. Pelanggaran GWM terjadi apabila saldo harian Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia kurang dari saldo harian Rekening Giro Bank yang telah ditetapkan untuk pemenuhan GWM.

Sanksi yang dikenakan pada Bank Syariah jika terjadi pelanggaran GWM adalah6:
a. Sebesar 125% dari tingkat indikasi imbalan Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) jika terjadi pelanggaran GWM dan rekening giro rupiah bank bersaldo positif.
b. Sebesar 125% dari tingkat indikasi imbalan PUAS atas kekurangan GWM ditambah 150% dari tingkat indikasi imbalan PUAS atas saldo negative.
c. Sebesar 0.04% per hari kerja yang berdasarkan pada selisih antara saldo harian Rekening Giro valuta asing bank pada Bank Indonesia yang wajib dipelihara dengan saldo harian Rekening Giro valuta asing Bank yang dicatat pada sistem akuntansi Bank Indonesia yang dibayarkan dalam bentuk rupiah dengan menggunakan kurs transksi Bank Indonesa pada hari terjadinya pelanggaran.

2. Tipe dana yang ditarik oleh bank
Dilihat dari waktu penarikannya, maka pada Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah terdapat dua jenis, yakni dana yang ditarik sewaktu-waktu meliputi tabungan dan giro wadi’ah, serta dana yang ditarik pada saat jatuh tempo meliputi investasi mudharabah.
Untuk memperkirakan jumlah penarikan pada tabungan dan giro wadi’ah, Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah perlu mengetahui:
• Pengalaman penarikan dana harian pada masa-masa sebelumnya
• Spreading resources, yaitu persebaran dan jumlah pemegang rekening. Sebagai contoh, jika pada suatu daerah terjadi kecenderungan penarikan dana akibat terjadinya bencana alam, maka dengan estimasi kebutuhan dana dapat dilakukan dengan melihat persebaran kantor cabang di daerah tersebut dan jumlah pemegang rekening.

3. Komitmen bank kepada nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau melakukan investasi
Bisnis di perbankan merupakan bisnis kepercayaan, oleh karenanya pemenuhan komitmen harus menjadi fokus Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah. Sebagai contoh, jika suatu Bank Syariah menerbitkan suatu Bank Garansi, maka jika nasabah yang memegang bank Garansi tersebut wanprestasi terhadap mitra kerjanya, maka komitmen Bank Syariah untuk menjamin wanprestasi tersebut harus dilaksanakan. Jika hal ini terjadi, maka dibutuhkan kecukupan dana untuk memenuhi komitmen tersebut. Sebaliknya jika Bank Syariah tidak mampu memenuhi komitmen tersebut karena kesulitan likuiditas, maka kepercayaan nasabah pemegang bank garansi tersebut akan jatuh, dan selanjutnya akan berpengaruh kepada kepercayaan masyarakat terhadap Bank Syariah tersebut. Selain itu, Bank Syariah juga akan dihadapkan pada tuntutan ganti rugi yang dapat meningkatkan beban perusahaan.

PENGELOLAAN ARUS KAS
Tujuan pengelolaan arus kas adalah untuk memperoleh proyeksi arus kas (cash flow projection) dimana proyeksi arus kas tersebut bermanfaat untuk mengantisipansi terjadinya kebutuhan likuiditas.

Kegiatan dalam pengelolaan arus kas dan likuiditas bank dalam rangka optimalisasi pendapatan dan menjaga kepercayaan masyarakat diperankan oleh Divisi Treasury.
Divisi Treasury di Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dihadapkan pada tantangan dalam pengelolaan arus kas ini. Di satu sisi, Divisi Treasury harus dapat menjaga likuiditas jika terjadi kebutuhan jangka pendek, sehingga harus tersedia alat likuid (kas dan setara kas) yang cukup. Namun di sisi lain, Divisi Treasury harus mengoptimalkan penggunaan dana agar mencapai tingkat profitablitas yang diharapkan. Risiko tingginya dana yang menganggur (idle fund) ataupun biaya yang muncul jika terjadi kekurangan likuiditas perlu dihindari agar pendapatan perusahaan meningkat. Semakin besar idle fund akan semakin besar loss opportunity income bagi Bank karena dana yang menganggur tersebut tidak diinvestasikan pada instrument keuangan yang menghasilkan pendapatan.

Sebaliknya, jika persediaan dana kurang, maka akan muncul kebutuhan untuk mengupayakan dana dari Pasar Uang Antar Bank Syariah dimana terdapat biaya dalam hal ini. Untuk itulah, proyeksi arus kas menjadi penting dalam menjaga likuiditas suatu Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah.

Pendekatan yang dimiliki oleh Bank Syariah dalam melakukan proyeksi arus kas terdiri dari 2 pendekatan, yaitu Metode Penerimaan dan Pembayaran (Receipt and Payment Method) dan Ramalan Aliran Dana (Fund Flow Forecast).

Metode Penerimaan dan Pembayaran (Receipt and Payment Method)
Dalam metode ini, jumlah penerimaan dan jumlah pembayaran dalam periode tertentu dicatat dalam bentuk laporan proyeksi arus kas yang terdiri dari :
a. Posisi Awal Kas, merupakan saldo uang tunai yang dimiliki bank (kas dan giro pada Bank Indonesia);
b. Arus Kas Masuk, mencatat seluruh transaksi yang menyebabkan bertambahnya posisi awal kas seperti penerimaan dana pihak ketiga, pendapatan operasional, dan penjualan/pelunasan surat berharga;
c. Arus Kas Keluar, mencatat semua transaksi bank yang menyebabkan berkurangnya posisi awal kas seperti pembelian surat berharga, pembayaran dana pihak ketiga, dan biaya operasinal;.
d. Posisi Kas Akhir, adalah perkiraan saldo bank yang merupakan penjumlahan antara posisi kas awal ditambah jumlah arus kas masuk dan dikurangi jumlah arus kas keluar.
Untuk membantu penyusunan Laporan Proyeksi Arus Kas, diperlukan Laporan Maturity Profile. Sebagaimana telah diwajibkan oleh Bank Indonesia, Laporan Proyeksi Arus Kas disampaikan dua kali dalam sebulan, yaitu setiap tanggal 15 dan tanggal akhir bulan,sedangkan Laporan Maturity Profile disampaikan hanya pada akhir bulan.

Metode Ramalan Aliran Dana (Fund Flow Forecast)
Metode ini dibantu oleh penyusunan ikhtisar neraca akhir tahun I dan II dalam rangka analisa aliran dana (fund flow analysis) yang menunjukkan bagaimana dua unsur utama dari aset operasional bersih (net operational assets), yakni aktiva tetap (fixed assets) dan modal kerja (working capital) didanai. Selanjutnya, dilakukan penyusunan Fund Flow Statement untuk tahun II dimana hasil akhirnya akan menjadi Fund Flow Forecast, apakah Bank akan kekurangan likuiditas atau tidak.
bersambung ke bagian 2

Tidak ada komentar:

Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis

  110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm,   ISBN 978-623-6121-22-1.  Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...