Rabu, 19 November 2008

Review Paper: How Bussiness Schools Lost Their Way


Artikel ditulis oleh:Warren G Bennis and James O’Toole (Harvard Bussines Review, pp 96-104, May 2005)

1. Inti atau topik permasalahan paper
Paper ini mempertanyakan kembali sistim pendidikan dan pengajaran MBA program, karena beberapa MBA Program yang cukup ternama mendapatkan kritikan atas kegagalan dalam menghasilkan lulusan tenaga ahli yang siap pakai, siap menjadi pemimpin, dan mempunyai tingkah laku etik yang baik.

2. Garis Besar Isu yang dibahas
Business Schools berada dalam jalur yang salah, ketika hanya menitikberatkan scientific models dalam penentuan kurikulum akademik yang diterapkan. Beberapa MBA program yang cukup ternama mendapatkan kritikan atas kegagalan dalam menghasilkan lulusan tenaga ahli yang siap pakai, gagal untuk mempersiapkan lulusannya sebagai pemimpin, gagal dalam menanamkan tingkah laku profesi yang etik dan bahkan gagal dalam menghantarkan sarjananya memperoleh pekerjaan dengan posisi yang bagus di suatu perusahaan.

Adapun penyebab utama kegagalan penerapan kurikulum tersebut adalah:
1. Business Schools mengadopsi suatu model yang kurang pas yaitu ilmu pengetahuan yang menggunakan abstraksi analisa financial dan ekonomi statistical multiple regressions dan laboratory psychology, karena model ini hanya fokus menghasilkan lulusan yang pintar secara akademik akan tetapi bekal ilmu tersebut kurang dapat diaplikatifkan dalam praktek bisnis.
2. Scientific model tersebut mengasumsikan bahwa business merupakan disiplin akademik seperti kimia atau geology. Padahal hal ini berbeda, karena business school adalah professional school, sehingga harus mencakup pengetahuan akademik yang terkait seperti matematika, ekonomi, psikologi, filsafat, sosiologi. Oleh karenanya scientific model harus diganti dengan model yang pantas yang berbasis pada kurikulum untuk seorang profesi.
3. Kurikulum yang pas untuk Business Schools adalah keseimbangan antara model scientific dan praktisi sehingga ada beberapa dosen yang menawarkan kurikulum dengan menggunakan scientific research dan mulai menerapkan business schools secara serius sebagaimana law schools.

The Scientific Model

Beberapa top ranking dari business schools merekrut professor yang dipromosikan sendiri oleh business schools tersebut bukan dari luar sebagaimana law schools, untuk memanage jajaran akademisi pada business school tersebut dengan tidak memperhatikan performancenya. Mengingat business schools tersebut lebih cenderung untuk merekrut dari dalam, maka riset yang dilakukanpun lebih cenderung untuk mendukung kepentingan kesarjanaan mereka.

Para Profesor dalam business school menggunakan scientific approach sebagai alat hipotesa atas data atau sebagai analisa regresi. Untuk memasuki wilayah bisnis, para professor tesebut membuat simulasi atas beberapa orang untuk dijadikan laboratory experiment. Untuk beberapa hal metode tersebut berguna namun kurang sejalan dengan praktek secara nyata sehingga seringkali gagal untuk merefleksikan praktek bisnis secara nyata.

Akibat lain dari Scientific model adalah para profesor melakukan evaluasi dengan mengunakan atau dipengaruhi oleh sejumlah artikel yang telah dipublikasikan dalam A List Business Research Journal. Beberapa artikel tersebut hanya mendasarkan pada riset yang bertujuan untuk mendukung kesarjanaannya dan scientific standard. Selayaknya sebagai jurnal managemen yang sudah ternama harusnya merupakan hasil review atau riset terhadap tingkah laku para pemimpin di perusahaan internasional, yang mana memperlihatkan indikator beberapa pemimpin perusahaan yang kurang etik sehingga perlu dilakukan identifikasi masalah sebelum terjadinya krisis, meskipun akhirnya temuan tesebut tidak dapat dibuktikan hanya dengan menggunakan scientific.

Untuk merekrut atau melakukan proses mengangkat professor tetap, bisa saja para dekan menginginkan praktisi yang berorientasi pada riset, akan tetapi business schools dimana mereka menjadi dekan lebih mengutamakan scientific research pada kurikulum akademisinya. Proses recruitment dan promosi mereka dilakukan dengan melihat publikasi artikel di beberapa jurnal, sehingga business school menciptakan fakultas yang dipenuhi oleh individu yang profesi utamanya sepenuhnya berkecimpung dalam ilmu pengetahuan, sehingga saat ini akan sangat impossible untuk menemukan professor tetap di bidang management yang pernah berkecimpung dalam praktek bisnis kecuali sebagai konsumen. Padahal untuk pendidikan bisnis diperlukan adanya pendidikan praktek dan menciptakan pengetahuan melalui riset.

Apa yang diperoleh para professor selama mereka belajar terefleksi pada saat professor tersebut mengajar karena hal ini merupakan efek dari pendidikan lulusan MBA, yang mana dalam mengajarkannya pun professor seringkali menggunakan metodologi dan riset pengetahuan (scientifically oriented research). Para profesor tersebut sangat berkompenten dalam mengumpulkan fakta akan tetapi mereka seringkali kurang berkompeten ketika berdiskusi terkait permasalahan yang multidisciplinary dalam kelas. Mereka kurang dalam menganalisa permasalahan yang terkait dengan kebijakan dan strategi, sehingga beberapa issue penting yang berkembang kurang mendapat perhatian dalam pendidikan MBA. Para professor dalam business school seringkali lupa bahwa para eksekutif sebagai pengambil keputusan bukan hanya fakta yang hanya dikumpulkan, melainkan mereka merupakan fakta utama dan pendukung. Oleh karenanya mereka butuh pengajar yang membantu mereka untuk memahami bagaimana menginterpretasikan fakta dan memberikan petunjuk dalam pengalaman mengajarnya ketika menganalisa atas fakta yang terjadi.

Dalam hal tujuan dari program bisnis adalah untuk menciptakan para eksekutif, pemimpin, maka fakultas tersebut harus mempunyai pengalaman dalam menganalisa tidak hanya sebagai pengumpul fakta saja. Kelas yang dikatakan efektif dan bagus adalah ketika para professor yang mempunyai pengalaman internasional dan mempunyai kemampuan dalam menganalisa suatu kasus dan mengupasnya untuk mencari strategi apa yang tersembunyi, masalah ekonominya, kompetisinya, tenaga kerja dan masalah kebijakan yang mana kesemuanya itu sebagai tolok ukur untuk menjangkau keputusan bisnis yang efektif.

Professional Model
Mengingat business school merupakan pendidikan professional dan bisnis managemen tidak hanya membutuhkan disiplin ilmu pengetahuan melainkan juga profesi/praktisi karena nantinya mereka juga akan berhadapan dengan para praktisi di bidang ilmu pengetahuan lainnya.
Salah seorang professor di Harvard Business School yaitu Professor Rakesh Kurana mengatakan bahwa sebagai suatu pendidikan profesi minimal harus ada 4 elemen, yaitu:
1. Mengajarkan ilmu pengetahuan sebagai dasar;
2. Mempunyai system untuk menjamin/menguji individunya telah mempunyai dasar ilmu pengetahuan yang bagus sebelum terjun ke dunia praktisi;
3. Mempunyai komitmen untuk menjadi public good;
4. Menerapkan kode etik;
Seorang profesi tidak hanya berorientasi pada praktek saja melainkan juga mengamati kebutuhan klien.

Praktisi dalam bisnis manajemen selayaknya menerapkan pendidikan sebagaimana praktisi lainnya seperti dokter umum, dokter gigi maupun konsultan hukum. Sebagai contoh model yang diterapkan dalam pendidikan dokter gigi, yang menyiapkan muridnya untuk ahli dalam memberikan jasa sebagai dokter gigi yang memuaskan konsumennya. Riset hanya nomor dua perannya yang hanya digunakan untuk melakukan tugas yang terkait dan sebagai ethical practitioners.

Oleh karenanya Harvard Business Scholls menekankan adanya case studies yang terjadi dalam dunia praktek sebagai bagian dari proses belajar mengajar, dan hal ini menjadi pertimbangan untuk menetapkan dosen tetap dan promosi kesarjanaan.

Sudah selayaknya kurikulum dalam MBA Program harus memberikan pelajaran yang multidisiplin ilmu, demikian juga praktek bisnis, kode etik dan mampu menganalisa permasalahan yang kompleks sehingga mampu untuk menjadi business leaders.

3. Teori atau ”state of the art”nya

Sekolah bisnis harus mampu menghasilkan lulusan yang (1). Pintar secara akademik, (2). Mampu menerapkan ilmunya dalam praktek bisnis. (3). Mempunyai kode etik yang baik. (4). Berorientasi pada kepuasan konsumen. Kemudian dari sisi pengajar maka pengajarnya bukan hanya para peneliti, namun juga para praktisi yang mempunyai pengalaman international, sehingga lebih komprehensif dalam memecahkan masalah.

4. Kesimpulan dan Saran
Penyebab utama kegagalan penerapan kurikulum MBA adalah:
1. Business Schools mengadopsi suatu model yang kurang pas yaitu ilmu pengetahuan yang menggunakan abstraksi analisa financial dan ekonomi statistical multiple regressions dan laboratory psychology, karena model ini hanya fokus menghasilkan lulusan yang pintar secara akademik akan tetapi bekal ilmu tersebut kurang dapat diaplikatifkan dalam praktek bisnis.
2. Scientific model tersebut mengasumsikan bahwa business merupakan disiplin akademik seperti kimia atau geology. Padahal hal ini berbeda, karena business school adalah professional school, sehingga harus mencakup pengetahuan akademik yang terkait seperti matematika, ekonomi, psikologi, filsafat, sosiologi. Oleh karenanya scientific model harus diganti dengan model yang pantas yang berbasis pada kurikulum untuk seorang profesi.
3. Kurikulum yang pas untuk Business Schools adalah keseimbangan antara model scientific dan praktisi sehingga ada beberapa dosen yang menawarkan kurikulum dengan menggunakan scientific research dan mulai menerapkan business schools secara serius sebagaimana law schools.

Model lulusan sekolah Business school yang baik itu adalah: (1). Pintar secara akademik, (2). Mampu menerapkan ilmunya dalam praktek bisnis. (3). Mempunyai kode etik yang baik. (4). Berorientasi pada kepuasan konsumen. Kemudian dari sisi pengajar maka pengajarnya bukan hanya para peneliti, namun juga para praktisi yang mempunyai pengalaman international, sehingga lebih komprehensif dalam memecahkan masalah.

5. Komentar, kritik dan saran
Paper ini memberikan inspirasi agar sekolah bisnis yang telah berjalan mengevaluasi dirinya, apakah sistim yang dibangun selama ini telah sesuai dengan harapan para mahasiswa yang masuk dalam sekolah bisnis tersebut. Para pengelola sekolah bisnis seharusnya melakukan pembenahan jika ternyata harapan para mahasiswa atau instansi yang menugaskan karyawan/pegawainya untuk melanjutkan studi ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu setiap sekolah bisnis seharusnya melakukan observasi terhadap setiap mahasiswa apa motivasi utama mereka masuk ke sekolah bisnis. Diduga alasan tersebut adalah Berharap dengan berinvestasi sekolah kembali maka bertambah ilmu, mampu mengaplikasikan ilmunya di dunia bisnis, yang berdampak pada naiknya jabatan dan terjadinya perbaikan pendapatan.

Seharusnya pihak instansi sekolah bisnis melakukan interview dari awal motivasi calon mahasiswanya, dan bisa jadi sekolah bisnis menolak calon mahasiswa bila ternyata motivasi mahasiswa tidak mungkin tercapai di sekolah bisnis tersebut. Dalam era pendidikan yang liberal, yang berimplikasi pada setiap sekolah bisnis berkompetisi mencari mahasiswa, agar program tersebut bisa tetap berjalan. Kondisi ideal diatas sulit dilakukan. Yang terjadi adalah apapun motivasi calon mahasiswa yang akan masuk, maka sekolah bisnis mencoba menampungnya, yang pada akhirnya gelar Master A/B/C bertebaran dimana-mana tapi tidak mampu mengangkat harkat dirinya, baik secara keilmuan maupuan ekonomi. Sungguh memprihatinkan.

6. Bagaimana seharusnya sekolah bisnis ekonomi dan keuangan Islam?
Dari paper ini, saya mengusulkan agar sekolah bisnis ekonomi dan keuangan Syariah, benar-benar meluruskan niat kembali untuk melakukan proses pendidikan sesuai dengan harapan mahasiswa dan harapan pelaksana sekolah bisnis ekonomi dan keuangan syariah. Lakukanlah interview dari awal terhadap calon mahasiswa apakah sistim pendidikan yang ada akan mengarahkan tercapainya harapan mahasiswa yang sekolah di tempat tersebut atau tidak.

Tidak hanya mengejar target tercapainya sekian orang mahasiswa dalam satu angkatan, sehingga mampu menutupi sekian persen dari total cost pelaksanaan pendidikan. Kedepankanlah mamfaat yang akan diterima baik instansi maupun mahasiswa dalam melaksanakan proses pendidikan. Lakukan pendampingan dari awal mahasiswa masuk sampai mahasiswa tersebut selesai bahkan setelah selesai pendidikanpun, seharusnya tetap melakukan komunikasi dengan sekolah dimana dulu dia pernah belajar. Sehingga bisa terjembatani antara tujuan sekolah dengan tujuan mahasiswa berinvestasi melanjutkan pendidikan. Bukan hanya mendapatkan gelar Master/Doktor.

Reviewer: Jaharuddin (Mahasiswa IEF Trisakti)

Tidak ada komentar:

Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis

  110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm,   ISBN 978-623-6121-22-1.  Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...