Selasa, 03 Maret 2009

Kasus Danamon Bukti Lemahnya Independensi Unit Syariah


Rabu, 04 Februari 2009 pukul 19:11:00

JAKARTA — Anggota Dewan Syariah Nasional Gunawan Yasni mengatakan, kasus penjualan produk derivatif Bank Danamon kepada nasabah (Unit Usaha Syariah) Bank Danamon menunjukkan lemahnya independensi unit usaha syariah terhadap bank konvensional yang memilikinya.

“Kasus ini menunjukkan lemahnya independensi UUS terhadap bank konvensional yang memilikinya,” katanya di Jakarta, Rabu. Ia mengatakan, bank syariah atau UUS tidak mungkin menjual porduk derivatif sebab dilarang. Apalagi sebelum bank syariah menjual produk ia harus meminta persetujuan dari Bank Indonesia serta Dewan Syariah Nasional untuk menguji kehalalan produknya. “Jadi mustahil bank syariah menjual produk derivatif,” katanya.

Namun, menurut dia, masih ada celah, yaitu bank konvensional bisa saja menawarkan produknya kepada nasabah syariah. Nasabah syariah yang awalnya ingin bertransaksi syariah, kemudian ditawari oleh bank konvensional untuk menggunakan produknya.

Pada kasus Danamon misalnya, menurut dia, nasabah awalnya mengajukan pembiayaan syariah dalam bentuk valuta asing karena usahanya yang juga menghasilkan valas. Karena nasabah ini potensial, maka bank konvensionalnya kemudian menawari dia dengan produk derivatif berupa lindung nilai untuk valas. “Padahal, mungkin sebenarnya hal itu tidak diperlukan,” katanya.

Tapi, menurut dia, karena nasabah bisa jadi terdesak sebab telah mendapatkan pembiayaan dari UUS dalam bentuk valas yang notabene adalah unit usaha bank konvensional besar tersebut, nasabah kemungkinan tidak bisa menolak itu. “Ini yang menjadi celah,” katanya.

Untuk itu, menurut dia, pihaknya saat ini terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk mengatasi berbagai masalah ini.
Ia menyatakan, DSN sebelumnya telah mengharapkan agar UUS lebih kuat dengan cara menempatkan pemimpin UUS setingkat direktur. “Selain itu kita juga meminta agar manajemen risiko dan audit internal UUS itu berdiri sendiri benar-benar syariah,” katanya.

Sedangkan Anggota Dewan Syariah Nasional, Adiwarman Karim mengatakan perlunya memperkuat KYC (know your costumer/pengetahuan tentang nasabah) perbankan syariah guna mencegah terjadinya penyimpangan prinsip syariah. “Jadi dalam KYC-nya itu harus ditambahkan kriterianya, apakah uang itu berasal dari produk yang tidak sesuai syariah atau tidak,” katanya di Jakarta, Rabu, menanggapi pemberitaan terkait dengan adanya nasabah syariah yang terkait dengan produk derivatif di Bank Danamon.

Ia mengatakan, perbankan syariah tidak bisa mencegah uang dari derivatif masuk ke syariah atas perintah nasabah. “Tapi kalau bank syariah tahu, maka bank syariah harus mengeluarkan uangnya itu,” katanya,

Adiwarman menyebutkan perbankan syariah tidak boleh menjual produk derivatif. “Tidak ada fatwa yang membolehkan, semua produk syariah berbeda dengan produk konvensional,” katanya.

Seperti diberitakan, Bank Danamon telah menjual produk derivatifnya kepada Nasabah Bank Danamon Syariah. Hal ini membuat BI harus meminta klarifikasi Bank Danamon. Kepala UUS Bank Danamon Akhmad K Permana mengakui ada satu nasabah Danamon Syariah yang membeli produk derivatif yang ada di Bank Konvensional. “Namun itu merupakan inisiatif nasabah, begitu kita tahu, kita langsung selesaikan, kita ‘cut’ (potong),” katanya.

Ia mengatkan pihaknya tidak bisa mengetahui apa yang dilakukan nasabah terhadap uang yang telah ditransferkan ke rekening lainnya. “Misalnya ia punya rekening di Bank Syariah, terus dia meminta tranfer ke rekening lainnya, dan rekening itu kemudian dipakai apa kita nggak bisa melarang, kalau itu di rekening bank syariah jelas kita larang,” katanya. ant/is
http://mgyasni.niriah.com/2009/02/11/kasus-danamon-bukti-lemahnya-independensi-unit-syariah/

Tidak ada komentar:

Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis

  110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm,   ISBN 978-623-6121-22-1.  Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...