Senin, 30 Juni 2008
Prof. DR MASUDUL ALAM CHOUDHURY, PhD
EDUCATIONAL QUALIFICATIONS AND SPECIALIZATIONS
Ph.D. Political Economy, University of Toronto, OISE. 1977.
Thesis: "Some Aspects of Optimal Human Capital Investment and Economic Growth: Theoretical and Empirical Study", Prof. M. Handa.
M.A. Political Economy, University of Toronto, 1973.
Major Paper: "Foundations of Islamic Economics", Prof. Samuel Hollander.
M.Phil. Mathematical Statistics with Specialization in Econometrics, University of Islamabad, 1969.
Thesis: "Multicollinearity Problem in Economic Models", Prof. A.H. Baloch.
M.Sc. Pure & Applied Mathematics, University of Islamabad, 1968.
B.Sc. Hons. Pure Mathematics, University of Dhaka, 1967.
TEACHING/RESEARCH EXPERIENCE
Professor of Finance and Economics, College of Industrial Management, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran 31261, Saudi Arabia (on leave from Cape Breton University (CBU)) 1999-2001.
(Full & tenured) Professor of Economics (1992-present), Cape Breton University (CBU), Sydney, Nova Scotia, B1P 6L2, Canada. Associate Professor 1985-92.
Visiting Professor in Social Economics, Department of Sociology of Education, Ontario Institute for Studies in Education, 1984-85.
Senior Economist, Economics and Policy Planning Department, the Islamic Development Bank, 1983-84.
Assistant Professor of Economics, College of Engineering, King Abdulaziz University, 1979-83.
Adjunct Lecturer in Statistics, University of Regina, 1978-79.
Manpower Planning Officer, Saskatchewan Department of Labour, Regina, Saskatchewan, 1978-79.
Research Economist, Ontario Ministry of Labour, and Manpower Economist, Saskatchewan Department of Labour, 1977-79.
Assistant Professor of Statistics, University of Chittagong, 1969-72.
A total of over 30 years of teaching & research experience.
OTHER TEACHING/RESEARCH POSITIONS
Invited as Visiting Full Professor in Economics, School of Social Sciences, Science University of Malaysia, April - August 31, 1995: presenting a series of eight lectures in Islamic Social Sciences and launching the Second International Conference in Islamic Political Economy: "The Structure of Islamic Political Economy at the Turn of the Century: A Global Paradigm"; team work in establishing the International Project on Islamic Political Economy at this School; the Minor Package in Islamic Political Economy at this School; editing along with others the Proceedings of the First International Conference in Islamic Political Economy entitled, Islamic Political Economy in Capitalist Globalization: An Agenda for Change;
Invited as Visiting Full Professor (April-August 31, 1994), Faculty of Economics, National University of Malaysia, Bangi, Selangor, Malaysia: team research on Malaysian econometric model, faculty lectures and evaluation of economics program; established the Islamic Economics Module and completed the book, Alternative Perspectives of Third-World Development: The Case of Malaysia (published by Macmillan, London & St. Martin's, NY 1996) with Drs. Uzir Abdul Malik and Mohd. Anuar Adnan; other joint publications with some UKM Economics Faculty members; participated in the IRPA Privatization Project.
Istilah-Istilah di Perbankan Syariah
1. Bank Syariah :
Bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip Syariah (Islamic Bank).
2. Mudharabah :
Bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.
3. Musyarakah :
Pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
4. Murabahah :
Transaksi jual-beli dimana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, dan nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin).
5. Wadi’ah :
Titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki.
6. Wadi’ah Yad ad Dhamanah :
Titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan dana atau barang yang dititipkan.
7. Ijarah Muntahiyah bittamlik :
Perjanjian sewa menyewa yang disertai opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa sewa.
8. Hawalah :
Akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya.
9. Al-sharf :
Transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.
10. Qard :
Akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pada waktu yang telah disepakat oleh LKS dan nasabah.
11. Kafalah :
Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil).
12. Salam :
Jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
13. Istishna’ :
Akad jual beli dalam bentuk pemesanan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).
14. Tabarru’:
Akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
15. Rahn :
Menggadaikan barang sebagai jaminan hutang, dengan ketentuan bank tidak boleh memanfaatkan barang tersebut tanpa seijin pemiliknya, dan pemilik dikenakan biaya pemeliharaan atas barang yang digadai tersebut.
Bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip Syariah (Islamic Bank).
2. Mudharabah :
Bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.
3. Musyarakah :
Pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
4. Murabahah :
Transaksi jual-beli dimana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, dan nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin).
5. Wadi’ah :
Titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki.
6. Wadi’ah Yad ad Dhamanah :
Titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan dana atau barang yang dititipkan.
7. Ijarah Muntahiyah bittamlik :
Perjanjian sewa menyewa yang disertai opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa sewa.
8. Hawalah :
Akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya.
9. Al-sharf :
Transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.
10. Qard :
Akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pada waktu yang telah disepakat oleh LKS dan nasabah.
11. Kafalah :
Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil).
12. Salam :
Jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
13. Istishna’ :
Akad jual beli dalam bentuk pemesanan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).
14. Tabarru’:
Akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
15. Rahn :
Menggadaikan barang sebagai jaminan hutang, dengan ketentuan bank tidak boleh memanfaatkan barang tersebut tanpa seijin pemiliknya, dan pemilik dikenakan biaya pemeliharaan atas barang yang digadai tersebut.
Ba'i / Jual Beli
Ba’i bi Tsaman Ajil
Jual beli dengan pembayaran tangguh
Ba’i al Wafa
Jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba
Ba’i al- ‘Urbun
Jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang diserahkan kepada penjual, dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka jual beli sah. Tetapi jika pembeli tidak setuju dan barang dikembalikan, maka uang yang telah diberikan pada penjual, menjadi hibah bagi penjual, dan ini termasuk jual beli yang dilarang.
Ba’i al-Sharf
Jual beli mata uang denga mata uang lainnya, termasuk emas dengan emas (money changer)
Bai’ as-Shahih
Jual beli yang memenuhi rukun dan syarat
Bai’ Salam
Jual beli barang yang diserahkan dikemudian hari sementara pembayarannya dilakukan dimuka
Bai’ Murabahah
Jual-beli yang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam Bai’ Murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya
Bai’ Mu’athah
Jual beli yanpa ijab kabul yang diucapkan
Bai’ Istishna’
Kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang, menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayarannya, apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang
Bai’ al-Gharar
Jual beli yang mengandung tipuan; seperti jual beli benda yang tidak mungkin bisa diserahkan, jual ikan yang masih dikolam, jual buah yang masih dipohon dan belum matang, jual beli dengan melempar batu (bai’ al-hashäh), dan sebagainya
Bai’ al-Fudhuli
Jual beli yang memberikan mandat kekuasaan kepada orang lain untuk melakukan transaksinya
Bai’ al-Bathil
Jual beli yang batal; yaitu apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan, seperti jual beli yang dilakukan anak-anak, orang gila atau barang-barang yang diharamkan syara’, seperti bangkai, darah, babi dan khamr
Bai’
Jual beli; transaksi yang mengharuskan adanya penjual (al-bai’), pembeli (al-musytary), barang (al-mabi’) dan harga (tsaman)
Jual beli dengan pembayaran tangguh
Ba’i al Wafa
Jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba
Ba’i al- ‘Urbun
Jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang diserahkan kepada penjual, dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka jual beli sah. Tetapi jika pembeli tidak setuju dan barang dikembalikan, maka uang yang telah diberikan pada penjual, menjadi hibah bagi penjual, dan ini termasuk jual beli yang dilarang.
Ba’i al-Sharf
Jual beli mata uang denga mata uang lainnya, termasuk emas dengan emas (money changer)
Bai’ as-Shahih
Jual beli yang memenuhi rukun dan syarat
Bai’ Salam
Jual beli barang yang diserahkan dikemudian hari sementara pembayarannya dilakukan dimuka
Bai’ Murabahah
Jual-beli yang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam Bai’ Murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya
Bai’ Mu’athah
Jual beli yanpa ijab kabul yang diucapkan
Bai’ Istishna’
Kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang, menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayarannya, apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang
Bai’ al-Gharar
Jual beli yang mengandung tipuan; seperti jual beli benda yang tidak mungkin bisa diserahkan, jual ikan yang masih dikolam, jual buah yang masih dipohon dan belum matang, jual beli dengan melempar batu (bai’ al-hashäh), dan sebagainya
Bai’ al-Fudhuli
Jual beli yang memberikan mandat kekuasaan kepada orang lain untuk melakukan transaksinya
Bai’ al-Bathil
Jual beli yang batal; yaitu apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan, seperti jual beli yang dilakukan anak-anak, orang gila atau barang-barang yang diharamkan syara’, seperti bangkai, darah, babi dan khamr
Bai’
Jual beli; transaksi yang mengharuskan adanya penjual (al-bai’), pembeli (al-musytary), barang (al-mabi’) dan harga (tsaman)
Baitul Mal
Baitul Mal wa Tamwil
Lembaga keuangan non pemerintah yang berfungsi menerima dan menyalurkan dana umat
Baitul Mal
Lembaga negara yang mengelola penerimaan dan pengeluaran negara yang bersumber dari zakat, kharaj, jizyah, fa’i, ghanimah, kaffarat, wakaf dan lain-lain dab ditasyarufkan untuk kepentingan umat
Baitul Ishdar
Lembaga yang menerbitkan efek di pasar saham
Lembaga keuangan non pemerintah yang berfungsi menerima dan menyalurkan dana umat
Baitul Mal
Lembaga negara yang mengelola penerimaan dan pengeluaran negara yang bersumber dari zakat, kharaj, jizyah, fa’i, ghanimah, kaffarat, wakaf dan lain-lain dab ditasyarufkan untuk kepentingan umat
Baitul Ishdar
Lembaga yang menerbitkan efek di pasar saham
Bank
Bank Tijari ‘Am Islami
Bank umum syariah. Bank Umum yang secara penuh beroperasi berdasarkan prinsip syariah
Bank Tijariy
Bank Komersial (commercial bank)
Bank at-Tamwil as-Sya’bi al-Islami
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
Bank Syariah
Bank Syariah : Bank yang kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah/hukum Islam, dan dikenal juga dengan bank Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)
Bank Muta’amil bil ‘Umlat Ajnabiyah
Bank Devisa. Bank yang melayani transaksi devisa
Bank Markazi
Bank Central (central bank)
Bank
Bank, badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak
Bank umum syariah. Bank Umum yang secara penuh beroperasi berdasarkan prinsip syariah
Bank Tijariy
Bank Komersial (commercial bank)
Bank at-Tamwil as-Sya’bi al-Islami
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
Bank Syariah
Bank Syariah : Bank yang kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah/hukum Islam, dan dikenal juga dengan bank Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)
Bank Muta’amil bil ‘Umlat Ajnabiyah
Bank Devisa. Bank yang melayani transaksi devisa
Bank Markazi
Bank Central (central bank)
Bank
Bank, badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak
Batil
Batal, tidak sesuai dengan syariah Islam (illegal); transaksi yang dilakukan oleh lembaga keuangan syariah akan menjadi batil jika syarat dan rukunnya tidak terpenuhi serta bertentangan dengan syariah Islam
Barakah
Manfaat yang terus bertambah. Dalam hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shalih bin Shuhaib, ada tiga perkara yang didalamnya terdapat ke-berkah-an : jual beli dengan harga tangguh (ba’i bi tsaman ajil, muqaradhah, mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual
Bidla’ah
Setiap produk ekonomi yang nyata baik secara langsung atau tidak langsung memberikan kontribusi dalam pemenuhan kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan manusia
Bunuk Ribawiyyah
Bunuk bentuk plural dari bank, sedang ribawiyyah merupakan sifat dari bank itu. Bunuk ribawiyyah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan aturan-aturan umum.
Bithaqah al-Madin
Kartu debit (debit card).
Bithaqah al-I’timan
Kartu kredit (credit card)
Bithaqah al-Madin
Kartu debit (debit card).
Bithaqah al-I’timan
Kartu kredit (credit card)
Burshah
Bursa; Tempat untuk memperjualbelikan sekuritas, valuta asing, atau barang yang dilakukan secara teratur.
Burshah Auraqi Maliyah
Bursa efek (stock exchange); Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/ atau sarana untuk mempertemukan penawar jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka.
Pendidikan ekonomi syariah
Oleh Agustianto
Perkembangan ekonomi Islam dalam tiga dasawarsa belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bentuk kajian akademis di perguruan tinggi maupun secara praktik operasional. Perhatian para ilmuwan kepada ekonomi Islam mulai berlangsung sejak tahun 1960-an-1970an, antara lain dikembangkan oleh, Dr Kursyid Ahmad dari Pakistan Dr MN Shiddiqy dari Saudi, Dr MA Mannan.dari Bangladesh dan Dr M Umer Chapra dari IDB (Islamic Development Bank), serta sejumlah ekonom muslim lainnya. Buah dari kajian mereka itulah yang menghantar pendirian IDB (Islamic Development) pada tahun 1975 di Jeddah dan diselenggarakannya Konferensi Ekonomi Islam Internasional Pertama tahun 1976 di Mekkah. Konferensi pertama ini dijadikan sebagai momentum awal kelahiran ilmu ekonomi Islam modern.
Sejak tahun 1970-an tersebut kajian ilmiah dan riset tentang ekonomi Islam yang bersifat empiris terus dilakukan dan disosialisasikan ke berbagai negara, sehingga gerakan akademis ekonomi Islam makin berkembang. Sejak tahun 1990-an, studi ekonomi Islam telah dikembangkan di berbagai universitas, baik di negeri-negeri Muslim (khususnya Asia ; Pakistan, Iran, Malaysia dan Afrika/Mesir) maupun di negara-negara Barat, seperti di Eropa, Amerika Serikat dan Australia. Di Inggris terdapat beberapa universitas yang telah mengembangkan kajian ekonomi Islam (Islamic Economics), seperti University of Durham, University of Portsmouth, Markfield Institute of Higher Education, University of Wales Lampeter, dan Loughborough University. Di Amerika Serikat, sebuah universitas paling terkemuka di dunia, yaitu Harvard University, sangat aktif melakukan kajian ekonomi Islam. Para pakar ekonomi Islam di sana mengadakan Harvard Forum yang setiap tahun menggelar seminar dan workshop ekonomi Islam. Di Australia, University of Wolongong juga melakukan hal yang sama. Di Malaysia, kajian akademis ekonomi Islam di perguruan tinggi telah dimulai sejak tahun 1983.
Di Indonesia, kajian akademis ekonomi Islam di perguruan tinggi, baru marak sejak tahun 2000-an. IAIN Sumatera Utara merupakan perguruan tinggi paling awal dalam mengembangkan kajian ekonomi Islam di Indonesia, yaitu dengan berdirinya Forum Kajian Ekonomi dan Bank Islam (FKEBI) pada tahun 1990. FKEBI dengan demikian, lahir sebelum berdirinya Bank Muamalat Indonesia di Jakarta tahun 1992. Tampilnya IAIN Sumatera Utara sebagai pelopor pertama gerakan akademis ekonomi Islam, dikarenakan pengaruh kuat negara jiran Malaysia yang telah tujuh tahun mengembangkan kajian ekonomi Islam di negaranya. (Malaysia mulai mengembangkan Ekonomi Islam sejak tahun 1983).
Awalnya, seorang intelektual asal Fakultas Syari’ah IAIN-SU bernama Dr. Muhammad Yasir Nasution diundang oleh Malaysia untuk mengikuti Konferensi Internasional Ekonomi Islam ke 3 di Kuala Lumpur pada tahun 1990. Dalam membangun FKEBI, beliau ditemani Prof Bahauddin Darus dan Prof Subroto, dari Fakulktas Ekonomi USU dan beberapa teman yang lain, seperti Dr Amiur Nuruddin, MA, serta Syofyan Syafri Harahap (ketika itu belum doktor dan professor) Setelah kepulangannya dari Malaysia tersebut, terjadi perubahan besar dalam diri M Yasir Nasution. Keraguan yang selama ini menyelimuti pemikirannya tentang ekonomi Islam, berubah drastis menjadi haqqul yakin dan bersemangat untuk mengembangkan kajian ekonomi Islam di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. Sejak itu, kegiatan simposium, seminar dan training-training ekonomi dan bank syariah sering digelar di Sumut, di antaranya bekerjasama dengan IIUM Malaysia tahun 1993 dan buahnya pada tahun 1995-1996 berdirilah lima bank syariah di Sumatera Utara dalam bentuk BPRS. Atas peran penting tersebut maka tidak aneh jika Prof Dr M Yasir Nasution (Rektor IAIN-SU) berhasil mendapat Syariah Award 2005 di Jakarta baru-baru ini.
Sejalan dengan maraknya perkembangan perbankan syariah dan lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya, maka tumbuh dan berkembang pulalah secara massif program pendidikan ekonomi Islam di Indonesia, sebagai respon terhadap maraknya lembaga –lembaga keuangan syariah. Dalam masa lima tahun (2000-2005) perkembangan perbankan dan asuransi syariah tumbuh secara fantastis. (Kini Juni 2007) jumlah perbankan syariah telah berjumlah 29 buah dengan jaringan kantor sebanyak 620an buah. Sementara asuransi syariah yang selama ini diperankan asuransi Takaful secara tunggal, kini telah lahir 36 lembaga asuransi syariah. Selain itu juga telah berkembang pula pasar modal syariah ( reksadana syariah dan obligasi syariah), pegadaian syariah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT), koperasi syariah, lembaga zakat, waqaf dsb.
Kajian akademis ekonomi Islam di Indonesia telah berkembang pesat di universitas paling terkemuka di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia melalui program pascasarjananya. Sejak tahun 2000 sampai sekarang, telah dibuka sepuluh konsentrasi ekonomi Islam di Universitas Indonesia untuk Program S2 (Magister), ada konsentrasi perbankan syariah, asuransi syariah, akuntansi syariah, manajemen syariah, manajemen risiko, zakat dan waqaf, ekonomi pembangunan islami, dan sebagainya. Tahun depan Universitas Indonesia, akan membuka program doktor ekonomi Islam.
Selain Universitas Indonesia, perguruan tinggi yang membuka program studi dan jurusan ekonomi Islam adalah Universitas Trisakti, baik program S2 maupun S3 dengan mendatangkan dosen-dosen dari luar negeri. Karena kepedulian kepada ekonomi syariah tersebut, maka Thobi Muties (Rektor Trisakti) yang non -Muslim mendapat Syariah Award (2004). Universitas Paramadina juga membuka program magister manajemen di bidang bisnis dan keuangan Islam. Demikian pula Universitas Airlangga Surabaya melalui peran Prof Dr Suroso Imam Djazuli, sejak akhir tahun 1990-an, mereka telah concern mengembangkan kajian ekonomi Islam melalui Program pascasarjana (S2). Alhamdulillah kini (2005) mereka telah membuka Program Studi Ekonomi Islam. Dr. Mustafa Edwin Nasution (Ketua IAEI) diundang untuk memberikan Orasi Ilmiah pada pembukaan program tersebut.
Sementara itu Universitas Islam Yogyakarta, sejak awal juga sangat konsern pada kajian ekonomi Islam, baik S1, S2 maupun S3. Kini Universitas Gajah Mada juga membuka Konsentrasi Ekonomi Islam untuk Program Pascasarjana (S2). Universitas Brawijaya Malang, IPB Bogor, dan UMI Makasar juga dikenal sangat peduli dan concern pada kajian Ekonomi Islam ditambah beberapa Universitas Muhammadiyah, baik di Malang, Yogyakarta, dan Solo
Dari fenomena kajian akademis tersebut, telihat bahwa perguruan tinggi umum, justru lebih peduli dan bersemangat mengembangkan kajian ekonomi Islam dibanding perguruan tinggi islam seperti Universitas Islam Jakarta dan IAIN lainnya, kecuali IAIN-SU.
IAIN-SU sejak tahun 1997 telah membuka Program D3 Manajemen Bank Syari’ah, sebagai program diploma ekonomi syariah pertama di Indonesia yang membuka jurusan bank syariah. Selanjutnya disusul IAIN Imam Bonjol Padang, IAIN Jakarta, IAIN Pekanbaru dan STAIN Cirebon. UIN Jakarta membuka jurusan bank syariah dan asuransi syariah tahun 2002, Sedangkan IAIN Padang pada tahun 2000, setelah mereka studi banding ke Program D3 Bank Syariah IAIN-Sumatera Utara.
Di Pulau Jawa, konsentrasi ekonomi syariah telah dilangsungkan sejak tahun 1997/1998 oleh STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syariah) Yogyakarta, yang dikembangkan Dr Muhammad, Tazkia Insitute oleh Muhammad Syafii Antonio. Demikian pula SEBI (Syari’ah Economics and Banking Institute) di Jakarta, juga berdiri hampir bersamaan dengan Tazkia Institute.
Di awal tahun 2000-an, (khususnya sejak tahun 2001/2002) barulah perguruan tinggi agama Islam di Indonesia, tersentak dan bangkit untuk membuka konsentrasi ekonomi Islam, khususnya program pascasarjana (S2), seperti UIN Jakarta, IAIN Sumatera Utara (S2), IAIN Bandung, IAIN Pekanbaru, Semarang, UIN, Malang dan IAIN-IAIN serta STAIN lainnya, seperti STAIN Cirebon sejak tahun 2000 telah membuka jurusan perbankan syariah.
Yang menarik, adalah bahwa kelahiran konsentrasi ekonomi Islam di S2, justru lebih dahulu lahir dari pada program S1. Seharusnya, program S1 lebih dahulu lahir dan berkembang baru program S2. Tapi realitanya sebaliknya. Hal ini disebabkan karena izin membuka jurusan atau prodi ekonomi Islam di S1 lebih sulit daripada konsentrasi ekonomi Islam di S2. Pembukaan konsentrasi ekonomi Islam di S2 , tidak membutuhkan izin dari Bimbaga Islam Depag di Jakarta, karena diberi kebebasan kepada program pascasarjana masing-masing untuk membuka konsentrasi tertentu.
Kini pembukaan konsentrasi ekonomi Islam tumbuh pesat, seperti DIII STIAMI, S2 Untuk Magister Manajemen di Universitas Paramadina, dll.
Peran IAEI
IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia) yang telah dideklarasikan di Istana Wapres pada tahun 2004 yang lalu dan menghimpun para pakar ekonomi Islam seluruh Perguruan Tinggi Indonesia, telah berupaya mendorong lahirnya prodi (program studi), jurusan atau konsentrasi ekonomi Islam di Indonesia, tidak saja pada program pascasarjana (S2 dan S3), tetapi juga program S1 dan Diploma. Untuk itu, awal tahun 2005 yang lalu, IAEI telah menyiapkan kurikulum ekonomi Islam melalui simpoium dan worskshop nasional tentang kurikulum ekonomi Islam di perguruan tinggi untuk semua strata di atas, bahkan juga diploma.
Kurikulum tersebut telah diserahkan kepada Dirjen Dikti Depdiknas dan Bimbaga Depag RI. IAEI juga berupaya menyiapkan dosen-dosen ekonomi Islam melalui training-training dosen ekonomi Islam di Indonesia sebagai jalan pintas untuk melahirkan dosen-dosen ekonomi Islam. Kini IAEI disibukkan oleh kegiatan training-training dosen ekonomi Islam, mengonsultani pembukaan program pascasarjana S2 di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, dan mendorong pembentukan IAEI di berbagai provinsi dan kampus-kampus di seluruh Indonesia. Training ekonomi Islam juga telah digelar IAEI terhadap guru-guru ekonomi SMU di berbagai provinsi, seperti Solo, Pontianak, Padang, Banten, Jambi, Lampung dan Malang. Untuk itu IAEI telah menyiapkan kurikulum ekonomi Islam bagi SMU dan telah menyusun buku ekonomi Islam untuk tingkat SMU sehingga para guru SMU bisa merujuknya dan mengajarkannya kepada para siswa SMU.
Penutup
Pengembangan ekonomi syariah melalui perguruan tinggi merupakan upaya strategis untuk melahirkan sumberdaya insani di bidang ekonomi syari’h, baik ekonomi pembangunan, manajemen, akuntansi, dan di lembaga keuangan syariah. Dengan program pendidikan ini, diharapkan lahir para ilmuwan ekonomi Islam berkualitas yang tidak ragu tentang ekonomi Islam. Tanpa pendidikan akademis ekonomi Islam, akan muncul pertanyaan-pertanyaan awam yang sangat ketinggalan zaman, seperti apakah ekonomi Islam itu ada atau tidak, apakah ekonomi Islam itu sains atau sistem, apakah perbedaan ekonomi Islam dan konvensional dan sejumlah masalah mendasar lainnya. Apakah landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi ekonomi Islam, dsb. Persoalan-persoalan itu telah tuntas di awal tahun 1970-an. Mudah-mudahan dengan kehadiran IAEI, pengembangan pendidikan ekonomi Islam di Indonesia makin luas, tidak saja di PT, tetapi juga sampai ke SMU bahkan SMP. Insya-Allah.
---------------
Penulis adalah Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia/IAEI dan Dosen Ekonomi dan Keuangan Islam Pascasarjana UI
Sumber:http://www.hupelita.com
Perkembangan ekonomi Islam dalam tiga dasawarsa belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bentuk kajian akademis di perguruan tinggi maupun secara praktik operasional. Perhatian para ilmuwan kepada ekonomi Islam mulai berlangsung sejak tahun 1960-an-1970an, antara lain dikembangkan oleh, Dr Kursyid Ahmad dari Pakistan Dr MN Shiddiqy dari Saudi, Dr MA Mannan.dari Bangladesh dan Dr M Umer Chapra dari IDB (Islamic Development Bank), serta sejumlah ekonom muslim lainnya. Buah dari kajian mereka itulah yang menghantar pendirian IDB (Islamic Development) pada tahun 1975 di Jeddah dan diselenggarakannya Konferensi Ekonomi Islam Internasional Pertama tahun 1976 di Mekkah. Konferensi pertama ini dijadikan sebagai momentum awal kelahiran ilmu ekonomi Islam modern.
Sejak tahun 1970-an tersebut kajian ilmiah dan riset tentang ekonomi Islam yang bersifat empiris terus dilakukan dan disosialisasikan ke berbagai negara, sehingga gerakan akademis ekonomi Islam makin berkembang. Sejak tahun 1990-an, studi ekonomi Islam telah dikembangkan di berbagai universitas, baik di negeri-negeri Muslim (khususnya Asia ; Pakistan, Iran, Malaysia dan Afrika/Mesir) maupun di negara-negara Barat, seperti di Eropa, Amerika Serikat dan Australia. Di Inggris terdapat beberapa universitas yang telah mengembangkan kajian ekonomi Islam (Islamic Economics), seperti University of Durham, University of Portsmouth, Markfield Institute of Higher Education, University of Wales Lampeter, dan Loughborough University. Di Amerika Serikat, sebuah universitas paling terkemuka di dunia, yaitu Harvard University, sangat aktif melakukan kajian ekonomi Islam. Para pakar ekonomi Islam di sana mengadakan Harvard Forum yang setiap tahun menggelar seminar dan workshop ekonomi Islam. Di Australia, University of Wolongong juga melakukan hal yang sama. Di Malaysia, kajian akademis ekonomi Islam di perguruan tinggi telah dimulai sejak tahun 1983.
Di Indonesia, kajian akademis ekonomi Islam di perguruan tinggi, baru marak sejak tahun 2000-an. IAIN Sumatera Utara merupakan perguruan tinggi paling awal dalam mengembangkan kajian ekonomi Islam di Indonesia, yaitu dengan berdirinya Forum Kajian Ekonomi dan Bank Islam (FKEBI) pada tahun 1990. FKEBI dengan demikian, lahir sebelum berdirinya Bank Muamalat Indonesia di Jakarta tahun 1992. Tampilnya IAIN Sumatera Utara sebagai pelopor pertama gerakan akademis ekonomi Islam, dikarenakan pengaruh kuat negara jiran Malaysia yang telah tujuh tahun mengembangkan kajian ekonomi Islam di negaranya. (Malaysia mulai mengembangkan Ekonomi Islam sejak tahun 1983).
Awalnya, seorang intelektual asal Fakultas Syari’ah IAIN-SU bernama Dr. Muhammad Yasir Nasution diundang oleh Malaysia untuk mengikuti Konferensi Internasional Ekonomi Islam ke 3 di Kuala Lumpur pada tahun 1990. Dalam membangun FKEBI, beliau ditemani Prof Bahauddin Darus dan Prof Subroto, dari Fakulktas Ekonomi USU dan beberapa teman yang lain, seperti Dr Amiur Nuruddin, MA, serta Syofyan Syafri Harahap (ketika itu belum doktor dan professor) Setelah kepulangannya dari Malaysia tersebut, terjadi perubahan besar dalam diri M Yasir Nasution. Keraguan yang selama ini menyelimuti pemikirannya tentang ekonomi Islam, berubah drastis menjadi haqqul yakin dan bersemangat untuk mengembangkan kajian ekonomi Islam di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. Sejak itu, kegiatan simposium, seminar dan training-training ekonomi dan bank syariah sering digelar di Sumut, di antaranya bekerjasama dengan IIUM Malaysia tahun 1993 dan buahnya pada tahun 1995-1996 berdirilah lima bank syariah di Sumatera Utara dalam bentuk BPRS. Atas peran penting tersebut maka tidak aneh jika Prof Dr M Yasir Nasution (Rektor IAIN-SU) berhasil mendapat Syariah Award 2005 di Jakarta baru-baru ini.
Sejalan dengan maraknya perkembangan perbankan syariah dan lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya, maka tumbuh dan berkembang pulalah secara massif program pendidikan ekonomi Islam di Indonesia, sebagai respon terhadap maraknya lembaga –lembaga keuangan syariah. Dalam masa lima tahun (2000-2005) perkembangan perbankan dan asuransi syariah tumbuh secara fantastis. (Kini Juni 2007) jumlah perbankan syariah telah berjumlah 29 buah dengan jaringan kantor sebanyak 620an buah. Sementara asuransi syariah yang selama ini diperankan asuransi Takaful secara tunggal, kini telah lahir 36 lembaga asuransi syariah. Selain itu juga telah berkembang pula pasar modal syariah ( reksadana syariah dan obligasi syariah), pegadaian syariah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT), koperasi syariah, lembaga zakat, waqaf dsb.
Kajian akademis ekonomi Islam di Indonesia telah berkembang pesat di universitas paling terkemuka di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia melalui program pascasarjananya. Sejak tahun 2000 sampai sekarang, telah dibuka sepuluh konsentrasi ekonomi Islam di Universitas Indonesia untuk Program S2 (Magister), ada konsentrasi perbankan syariah, asuransi syariah, akuntansi syariah, manajemen syariah, manajemen risiko, zakat dan waqaf, ekonomi pembangunan islami, dan sebagainya. Tahun depan Universitas Indonesia, akan membuka program doktor ekonomi Islam.
Selain Universitas Indonesia, perguruan tinggi yang membuka program studi dan jurusan ekonomi Islam adalah Universitas Trisakti, baik program S2 maupun S3 dengan mendatangkan dosen-dosen dari luar negeri. Karena kepedulian kepada ekonomi syariah tersebut, maka Thobi Muties (Rektor Trisakti) yang non -Muslim mendapat Syariah Award (2004). Universitas Paramadina juga membuka program magister manajemen di bidang bisnis dan keuangan Islam. Demikian pula Universitas Airlangga Surabaya melalui peran Prof Dr Suroso Imam Djazuli, sejak akhir tahun 1990-an, mereka telah concern mengembangkan kajian ekonomi Islam melalui Program pascasarjana (S2). Alhamdulillah kini (2005) mereka telah membuka Program Studi Ekonomi Islam. Dr. Mustafa Edwin Nasution (Ketua IAEI) diundang untuk memberikan Orasi Ilmiah pada pembukaan program tersebut.
Sementara itu Universitas Islam Yogyakarta, sejak awal juga sangat konsern pada kajian ekonomi Islam, baik S1, S2 maupun S3. Kini Universitas Gajah Mada juga membuka Konsentrasi Ekonomi Islam untuk Program Pascasarjana (S2). Universitas Brawijaya Malang, IPB Bogor, dan UMI Makasar juga dikenal sangat peduli dan concern pada kajian Ekonomi Islam ditambah beberapa Universitas Muhammadiyah, baik di Malang, Yogyakarta, dan Solo
Dari fenomena kajian akademis tersebut, telihat bahwa perguruan tinggi umum, justru lebih peduli dan bersemangat mengembangkan kajian ekonomi Islam dibanding perguruan tinggi islam seperti Universitas Islam Jakarta dan IAIN lainnya, kecuali IAIN-SU.
IAIN-SU sejak tahun 1997 telah membuka Program D3 Manajemen Bank Syari’ah, sebagai program diploma ekonomi syariah pertama di Indonesia yang membuka jurusan bank syariah. Selanjutnya disusul IAIN Imam Bonjol Padang, IAIN Jakarta, IAIN Pekanbaru dan STAIN Cirebon. UIN Jakarta membuka jurusan bank syariah dan asuransi syariah tahun 2002, Sedangkan IAIN Padang pada tahun 2000, setelah mereka studi banding ke Program D3 Bank Syariah IAIN-Sumatera Utara.
Di Pulau Jawa, konsentrasi ekonomi syariah telah dilangsungkan sejak tahun 1997/1998 oleh STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syariah) Yogyakarta, yang dikembangkan Dr Muhammad, Tazkia Insitute oleh Muhammad Syafii Antonio. Demikian pula SEBI (Syari’ah Economics and Banking Institute) di Jakarta, juga berdiri hampir bersamaan dengan Tazkia Institute.
Di awal tahun 2000-an, (khususnya sejak tahun 2001/2002) barulah perguruan tinggi agama Islam di Indonesia, tersentak dan bangkit untuk membuka konsentrasi ekonomi Islam, khususnya program pascasarjana (S2), seperti UIN Jakarta, IAIN Sumatera Utara (S2), IAIN Bandung, IAIN Pekanbaru, Semarang, UIN, Malang dan IAIN-IAIN serta STAIN lainnya, seperti STAIN Cirebon sejak tahun 2000 telah membuka jurusan perbankan syariah.
Yang menarik, adalah bahwa kelahiran konsentrasi ekonomi Islam di S2, justru lebih dahulu lahir dari pada program S1. Seharusnya, program S1 lebih dahulu lahir dan berkembang baru program S2. Tapi realitanya sebaliknya. Hal ini disebabkan karena izin membuka jurusan atau prodi ekonomi Islam di S1 lebih sulit daripada konsentrasi ekonomi Islam di S2. Pembukaan konsentrasi ekonomi Islam di S2 , tidak membutuhkan izin dari Bimbaga Islam Depag di Jakarta, karena diberi kebebasan kepada program pascasarjana masing-masing untuk membuka konsentrasi tertentu.
Kini pembukaan konsentrasi ekonomi Islam tumbuh pesat, seperti DIII STIAMI, S2 Untuk Magister Manajemen di Universitas Paramadina, dll.
Peran IAEI
IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia) yang telah dideklarasikan di Istana Wapres pada tahun 2004 yang lalu dan menghimpun para pakar ekonomi Islam seluruh Perguruan Tinggi Indonesia, telah berupaya mendorong lahirnya prodi (program studi), jurusan atau konsentrasi ekonomi Islam di Indonesia, tidak saja pada program pascasarjana (S2 dan S3), tetapi juga program S1 dan Diploma. Untuk itu, awal tahun 2005 yang lalu, IAEI telah menyiapkan kurikulum ekonomi Islam melalui simpoium dan worskshop nasional tentang kurikulum ekonomi Islam di perguruan tinggi untuk semua strata di atas, bahkan juga diploma.
Kurikulum tersebut telah diserahkan kepada Dirjen Dikti Depdiknas dan Bimbaga Depag RI. IAEI juga berupaya menyiapkan dosen-dosen ekonomi Islam melalui training-training dosen ekonomi Islam di Indonesia sebagai jalan pintas untuk melahirkan dosen-dosen ekonomi Islam. Kini IAEI disibukkan oleh kegiatan training-training dosen ekonomi Islam, mengonsultani pembukaan program pascasarjana S2 di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, dan mendorong pembentukan IAEI di berbagai provinsi dan kampus-kampus di seluruh Indonesia. Training ekonomi Islam juga telah digelar IAEI terhadap guru-guru ekonomi SMU di berbagai provinsi, seperti Solo, Pontianak, Padang, Banten, Jambi, Lampung dan Malang. Untuk itu IAEI telah menyiapkan kurikulum ekonomi Islam bagi SMU dan telah menyusun buku ekonomi Islam untuk tingkat SMU sehingga para guru SMU bisa merujuknya dan mengajarkannya kepada para siswa SMU.
Penutup
Pengembangan ekonomi syariah melalui perguruan tinggi merupakan upaya strategis untuk melahirkan sumberdaya insani di bidang ekonomi syari’h, baik ekonomi pembangunan, manajemen, akuntansi, dan di lembaga keuangan syariah. Dengan program pendidikan ini, diharapkan lahir para ilmuwan ekonomi Islam berkualitas yang tidak ragu tentang ekonomi Islam. Tanpa pendidikan akademis ekonomi Islam, akan muncul pertanyaan-pertanyaan awam yang sangat ketinggalan zaman, seperti apakah ekonomi Islam itu ada atau tidak, apakah ekonomi Islam itu sains atau sistem, apakah perbedaan ekonomi Islam dan konvensional dan sejumlah masalah mendasar lainnya. Apakah landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi ekonomi Islam, dsb. Persoalan-persoalan itu telah tuntas di awal tahun 1970-an. Mudah-mudahan dengan kehadiran IAEI, pengembangan pendidikan ekonomi Islam di Indonesia makin luas, tidak saja di PT, tetapi juga sampai ke SMU bahkan SMP. Insya-Allah.
---------------
Penulis adalah Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia/IAEI dan Dosen Ekonomi dan Keuangan Islam Pascasarjana UI
Sumber:http://www.hupelita.com
REKONSTRUKSI EKONOMI KONVENSIONAL MEMBANGUN EKONOMI SYARIAH
Sistem perekonomian dunia dapat digolongkan yaitu kapitalis, komunis, sosialis dan Islam (Syariah).
Ciri-ciri sistem Ekonomi kapitalis;
1) faktor produksi dimiliki oleh pribadi atau swasta;
2) desentralisasi pengambilan keputusan dan informasi ekonomi;
3) insentif utama (dalam bekerja) bersifat materi;
4) alokasi dan distribusi menggunakan mekanisme pasar;
5)ekses produksi dipakai untuk memperluas kapasitas produksi.
Penerapan ekonomi kapitalis ter nyata menimbulkan berbagai masalah dan ekses seperti penindasan, perbudakan, penjajahan, ekploitasi buruh, dominasi majikan dan pemilik modal, kesenjangan yang luar biasa antara yang kaya dan yang miskin, the have and the have not.
Ciri-ciri sistem Ekonomi komunis adalah alat produksi dimiliki secara bersama, produksi, distribusi barangsdan jasa serta pendapatan diputuskan secara tersentralisiroleh sebuah komisi ekonomi (Economic Planning Commision). Pelaksanaan sistem ekonomi tersebut juga menimbulkan berbagai ekses seperti matinya inisiatif individu, dominasi partai dan elit partai yang ternyata mengekploitasi rakyat, yang akhirnya menimbulkan diktator proletariat yang lebih banyak menyengsarakan masyarakat.
Sistem ekonomi sosialis adalah sistem ekonomi yang memperjuangkan kesejahteraan sosial dan terciptanya pemerataan ekonomi yang lebih besar, biasanya melalui kepemilikan bersama (common ownership) atas alat-alat produksi, seperti kepemilikan oleh negara atau kepemilikan oleh pekerja cointohnya koperasi.
Sistem Ekonomi Islam (Syariah) adalah sebagai konsepsi dan praktek-praktek ekonomi berdasarkan ketentuan syariat atau hukum islam. Islam memberikan tuntunan yang berkaitan dengan segala aspek kehidupan, termasuk tuntunan dalam melakukan kegiatan ekonomi dan bisnis atau muamalah. Berbeda dengan konsep ekonomi lainnya, konsepsi dan kegiatan ekonomi dalam pandangan islam haruslah berlandaskan kepada keimanan, termasuk iman kepada hari akhirat. Mengajarkan keterpaduan antara akidah, syariah dan akhlak dalam kegiatan ekonomi dan bisnis yang tidak saja akan menghasilkan yang baik didunia tetapi juga di akhirat nanti.
Dalam hal kepemilikan, terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara sistem ekonomi Islam dan Kapitalis serta Sosialis. Islam mengakui dan menghormati hak milik oleh pribadi, swasta, koperasi ataupun Negara, dengan catatan semua harta benda tersebut dan alam beserta isinya termasuk manusia adala milik ALLAH. Manusia diwajibkan untuk mengolah, memanfaatkan dan memelihara alam tersebut dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat serta untuk kemaslahatan manusia pada umumnya. Dengan rambu-rambu syariah, sistem ekonomi islam memberikan kebebasan bagi individu dan masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan dan transaksi ekonomi dan perdagangan, termasuk menggunakan mekanisme pasar. Yang perlu dijaga adalah agar pasar tersebut benar-benar efisien dan bebas dari berbagai eksternalitas, seperti monopoli, monopsoni, penipuan, pemalsuan, insider trading dan pelanggaran hukum lainnya.
Sistem ekonomi islam mengutamakan kesejahteraan masyarakat, pasar yang efisien, etos kerja yang tinggi, praktek bisinis yang jujur, produksi yang efisien, konsumsi yang tidak bertlebihan, keadilan distributidf, menepati kontrak dan perjanjian serta mendatangkan manfaat material maupun spritual.
Bagaimana sistem ekonomi di Indonesia?
Sejak berdirinya Republik Indonesia, perekonomian indonesia telah mengalami perubahan yang cukup mendasar, baik pada tataran konsepsi, sistem, maupun kebijakan. Perubahan-perubahan tersebut seringkali dipicu dan atau disertai dengan krisis atau gejolak ekonomi yang mengganggu proses pembangunan ekonomi serta menghambat upaya peningkata kesejahteraan sdan kemakmuran rakyat.
Sistem ekonomi di Indonesia di cerminkan oleh pasal 33 UUD 1945 ayat (1), (2), dan (3), serta saat ini sudah ditambah (diamandemen) satu ayat yaitu ayuat (4) yang berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakn berdasar atas asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Hal ini mengindikasikan bahwa konsepsi dan sistem ekonomi Indonesia dewasa ini dapat disebut sebagai mixed system yaitu campuran antara sistem sosialis, kapitalis, dan pancasila. Akan tetapi jika kita lihat kondisi ekonomi saat ini sangat memprihatinkan dimana terjadi kesenjangan yang luar biasa antara si kaya dengan simiskin, meningkatnya pengangguran, kemiskinan, tingginya biaya pendidikan, menurunnya kesejahteraan masyarakat, rendahnya daya saing, terjadinya tindak korupsi disegala lini, semakin membengkaknya utang (perangkap riba atau bunga) serta masih banyaknya sederetan masalah yang masih menyelimuti kondisi ekonomi indonesia saat ini. Sangatlah tepat Nabi Muhammad SAW. Selalu berdoa minta perlindungan dari ALLAH SWT “ Ya Allah! Jauhkanlah saya dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan, kebodohan dan kebathilan, keberatan utang serta tekanan dan paksaan orang”.
Ketidakmampuan konsepsi, sistem, kebijakan maupun praktek-praktek ekonomi konvensional untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak yang nota bene adalah umat islam, perlu menjadi bahan renungan bagi kita semua untuk membangun ekonomi syariah di Indonesia yang mengatur masalah halal-haram dan nilai-nilai keadilan, menjauhkan maksiat atau kezaliman dan sebagainaya.
Dalam ilmu ekonomi tenaga kerja dipandang sebagai salah satu faktor produksi yang kedudukannya lebih rendah dari fak tor modal atau kapital. Faktor tenaga kerja dalam islam menduduki posisi terpenting. Kewajiban bekerja mempunyai tujuan yang jelas dan mulia, diantaranya;
a) mencukupi kebutuhan hidup;
b) Kemaslahatan keluarga dan masyarakat
c) untuk kkehidupan dan untuk semua yang hidup;
d) untuk memakmurkan bumi;
e) untuk kerja itu sendiri, karena bekerja adalah hak Allah dan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Nya.. Bekerja perlu dilakukan dengan ketekunan, ketengan jiwa, istiqamah serta memperhatikan waktu.
Keseimbangan yang adil merupakan jiwa dari ekonomi islam: antara modal dan usaha, antara produksi dan konsumsi, antara produsen dan konsumen dan antara golongan-golongan dalam masyarakat. Islam juga menganjurkan untuk menjauhi utang (larangan riba). Prinsip umum ekonomi syariah adalah;
a) aprinsip halal atau haram;
b) prisip kemanfaatan. Manusia dapat menggunakan dan memanfaatkan semua yang dikaruniakan Allah dengan memperhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan;
c) Prinsip kesederhanaan. Kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi harus dilakukan dengan baik, efisien dan tidak boleh dilakukan secara berlebihan;
d) prinsip kebebasan ekonomi. Setiap orang pada dasarnya bebas melakukan kegiatan ekonomi dan profesi apapun dalam koridor yang telah ditetapkan.
Dr. SENEN MACHMUD.,M SE., MSi.
Adalah seorang Pemerhati Ekonomi Syariah.
Sekretaris Program Pascasarjan MM STIEPasundan Bandung
Ciri-ciri sistem Ekonomi kapitalis;
1) faktor produksi dimiliki oleh pribadi atau swasta;
2) desentralisasi pengambilan keputusan dan informasi ekonomi;
3) insentif utama (dalam bekerja) bersifat materi;
4) alokasi dan distribusi menggunakan mekanisme pasar;
5)ekses produksi dipakai untuk memperluas kapasitas produksi.
Penerapan ekonomi kapitalis ter nyata menimbulkan berbagai masalah dan ekses seperti penindasan, perbudakan, penjajahan, ekploitasi buruh, dominasi majikan dan pemilik modal, kesenjangan yang luar biasa antara yang kaya dan yang miskin, the have and the have not.
Ciri-ciri sistem Ekonomi komunis adalah alat produksi dimiliki secara bersama, produksi, distribusi barangsdan jasa serta pendapatan diputuskan secara tersentralisiroleh sebuah komisi ekonomi (Economic Planning Commision). Pelaksanaan sistem ekonomi tersebut juga menimbulkan berbagai ekses seperti matinya inisiatif individu, dominasi partai dan elit partai yang ternyata mengekploitasi rakyat, yang akhirnya menimbulkan diktator proletariat yang lebih banyak menyengsarakan masyarakat.
Sistem ekonomi sosialis adalah sistem ekonomi yang memperjuangkan kesejahteraan sosial dan terciptanya pemerataan ekonomi yang lebih besar, biasanya melalui kepemilikan bersama (common ownership) atas alat-alat produksi, seperti kepemilikan oleh negara atau kepemilikan oleh pekerja cointohnya koperasi.
Sistem Ekonomi Islam (Syariah) adalah sebagai konsepsi dan praktek-praktek ekonomi berdasarkan ketentuan syariat atau hukum islam. Islam memberikan tuntunan yang berkaitan dengan segala aspek kehidupan, termasuk tuntunan dalam melakukan kegiatan ekonomi dan bisnis atau muamalah. Berbeda dengan konsep ekonomi lainnya, konsepsi dan kegiatan ekonomi dalam pandangan islam haruslah berlandaskan kepada keimanan, termasuk iman kepada hari akhirat. Mengajarkan keterpaduan antara akidah, syariah dan akhlak dalam kegiatan ekonomi dan bisnis yang tidak saja akan menghasilkan yang baik didunia tetapi juga di akhirat nanti.
Dalam hal kepemilikan, terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara sistem ekonomi Islam dan Kapitalis serta Sosialis. Islam mengakui dan menghormati hak milik oleh pribadi, swasta, koperasi ataupun Negara, dengan catatan semua harta benda tersebut dan alam beserta isinya termasuk manusia adala milik ALLAH. Manusia diwajibkan untuk mengolah, memanfaatkan dan memelihara alam tersebut dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat serta untuk kemaslahatan manusia pada umumnya. Dengan rambu-rambu syariah, sistem ekonomi islam memberikan kebebasan bagi individu dan masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan dan transaksi ekonomi dan perdagangan, termasuk menggunakan mekanisme pasar. Yang perlu dijaga adalah agar pasar tersebut benar-benar efisien dan bebas dari berbagai eksternalitas, seperti monopoli, monopsoni, penipuan, pemalsuan, insider trading dan pelanggaran hukum lainnya.
Sistem ekonomi islam mengutamakan kesejahteraan masyarakat, pasar yang efisien, etos kerja yang tinggi, praktek bisinis yang jujur, produksi yang efisien, konsumsi yang tidak bertlebihan, keadilan distributidf, menepati kontrak dan perjanjian serta mendatangkan manfaat material maupun spritual.
Bagaimana sistem ekonomi di Indonesia?
Sejak berdirinya Republik Indonesia, perekonomian indonesia telah mengalami perubahan yang cukup mendasar, baik pada tataran konsepsi, sistem, maupun kebijakan. Perubahan-perubahan tersebut seringkali dipicu dan atau disertai dengan krisis atau gejolak ekonomi yang mengganggu proses pembangunan ekonomi serta menghambat upaya peningkata kesejahteraan sdan kemakmuran rakyat.
Sistem ekonomi di Indonesia di cerminkan oleh pasal 33 UUD 1945 ayat (1), (2), dan (3), serta saat ini sudah ditambah (diamandemen) satu ayat yaitu ayuat (4) yang berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakn berdasar atas asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Hal ini mengindikasikan bahwa konsepsi dan sistem ekonomi Indonesia dewasa ini dapat disebut sebagai mixed system yaitu campuran antara sistem sosialis, kapitalis, dan pancasila. Akan tetapi jika kita lihat kondisi ekonomi saat ini sangat memprihatinkan dimana terjadi kesenjangan yang luar biasa antara si kaya dengan simiskin, meningkatnya pengangguran, kemiskinan, tingginya biaya pendidikan, menurunnya kesejahteraan masyarakat, rendahnya daya saing, terjadinya tindak korupsi disegala lini, semakin membengkaknya utang (perangkap riba atau bunga) serta masih banyaknya sederetan masalah yang masih menyelimuti kondisi ekonomi indonesia saat ini. Sangatlah tepat Nabi Muhammad SAW. Selalu berdoa minta perlindungan dari ALLAH SWT “ Ya Allah! Jauhkanlah saya dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan, kebodohan dan kebathilan, keberatan utang serta tekanan dan paksaan orang”.
Ketidakmampuan konsepsi, sistem, kebijakan maupun praktek-praktek ekonomi konvensional untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak yang nota bene adalah umat islam, perlu menjadi bahan renungan bagi kita semua untuk membangun ekonomi syariah di Indonesia yang mengatur masalah halal-haram dan nilai-nilai keadilan, menjauhkan maksiat atau kezaliman dan sebagainaya.
Dalam ilmu ekonomi tenaga kerja dipandang sebagai salah satu faktor produksi yang kedudukannya lebih rendah dari fak tor modal atau kapital. Faktor tenaga kerja dalam islam menduduki posisi terpenting. Kewajiban bekerja mempunyai tujuan yang jelas dan mulia, diantaranya;
a) mencukupi kebutuhan hidup;
b) Kemaslahatan keluarga dan masyarakat
c) untuk kkehidupan dan untuk semua yang hidup;
d) untuk memakmurkan bumi;
e) untuk kerja itu sendiri, karena bekerja adalah hak Allah dan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Nya.. Bekerja perlu dilakukan dengan ketekunan, ketengan jiwa, istiqamah serta memperhatikan waktu.
Keseimbangan yang adil merupakan jiwa dari ekonomi islam: antara modal dan usaha, antara produksi dan konsumsi, antara produsen dan konsumen dan antara golongan-golongan dalam masyarakat. Islam juga menganjurkan untuk menjauhi utang (larangan riba). Prinsip umum ekonomi syariah adalah;
a) aprinsip halal atau haram;
b) prisip kemanfaatan. Manusia dapat menggunakan dan memanfaatkan semua yang dikaruniakan Allah dengan memperhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan;
c) Prinsip kesederhanaan. Kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi harus dilakukan dengan baik, efisien dan tidak boleh dilakukan secara berlebihan;
d) prinsip kebebasan ekonomi. Setiap orang pada dasarnya bebas melakukan kegiatan ekonomi dan profesi apapun dalam koridor yang telah ditetapkan.
Dr. SENEN MACHMUD.,M SE., MSi.
Adalah seorang Pemerhati Ekonomi Syariah.
Sekretaris Program Pascasarjan MM STIEPasundan Bandung
Wakaf Tunai
Salam ta’dzim buat pengasuh kontak tanya jawab syariah PKES. Suatu ketika saya melihat iklan ajakan untuk melakukan wakaf tunai. Dalam benak saya bertanya, apa itu wakaf tunai? Apa bedanya dengan wakaf-wakaf yang lazim difahami di kalangan masyarakat umum? Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya mohon perkenan pengasuh kontak tanya jawab PKES untuk menjelaskan secara gamblang tentang wakaf tunai. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas penjelasan yang disampaikan. Jazakumullah khairan. Wassalam.
Laili Maghfirah-Surabaya
Sahabat Laili yang budiman, kata wakaf yang biasa kita dengar sehari-hari berasal dari bahasa Arab, al-waqf, yang mempunyai arti berhenti atau terhenti. Kalau kita membaca al-Qur’an akan didapati berbagai macam tanda waqf, yang difahami sebagai tanda berhenti. Misal, tanda (م) menunjukkan wajib berhenti. Wakaf dapat difahami sebagai kegiatan menahan asli harta dan mendermakan hasilnya di jalan Allah. Adapun pengertian wakaf secara syar’i dapat difahami sebagai penyerahan harta oleh seorang muslim (selanjutnya disebut dengan muwaqqif) untuk dikelola oleh nadzir agar manfaatnya bisa diambil oleh masyarakat secara umum.
Harta tersebut tidak boleh habis. Pokoknya harus masih ada dan tetap seperti semula. Sedang manfaat dari harta wakaf tersebut dapat terus dirasakan oleh masyarakat luas, khususnya untuk kemajuan Islam.
Termasuk rukun yang harus ada dalam kegiatan wakaf adalah:
(i) waqif, orang yang mewakafkan,
(ii) nadzir, orang yang dipercaya untuk mengelola harta wakaf, dan
(iii) mauquf, harta yang diwakafkan.
Pada awalnya, pemahaman tentang obyek wakaf hanya pada tataran benda atau barang yang tidak bergerak, semisal tanah atau bangunan. Tetapi, pada saat ini sudah berkembang model wakaf pada barang yang bergerak atau yang dapat dipindahtangankan. Model wakaf yang terakhir ini ada sebagian kelompok menamainya dengan wakaf tunai (cash waqf).
Sahabat Laili, sesungguhnya penggunaan istilah wakaf tunai kurang begitu tepat, karena kalau diambil pengertian mafhum mukhalafah-nya mengandung arti ada wakaf yang tidak tunai. Sedangkan, setiap wakaf itu dilaksanakan secara tunai. Tidak ada wakaf yang ditunaikan secara tidak tunai, seperti dihutang atau ditangguhkan. Sehingga istilah yang cocok untuk model wakaf ini adalah wakaf uang (waqf an-nuqud). Maksud dari wakaf uang adalah obyek dari benda yang diwakafkan berbentuk uang. Jadi, sesuai dengan konsep wakaf uang, setiap orang dapat mewakafkan uangnya untuk kemaslahatan umat Islam.
Sesuai dengan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang wakaf, yang saat ini sedang dalam proses penetapan, antara lain diatur penunjukkan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai lembaga yang menerima titipan (wadi’ah) wakaf uang. Menurut draft RPP pasal 22, penunjukkan LKS dilakukan oleh Menteri Agama atas dasar saran dan pertimbangan Badan Wakaf Indonesia.
Sebagai penerima titipan (wadiah) wakaf, LKS berkewajiban melakukan tugas-tugas berikut;
(i) mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS Penerima Wakaf Uang,
(ii) menyediakan blangko sertifikat wakaf uang,
(iii) menerima secara tunai wakaf uang dari wakif atas nama nadzir,
(iv) menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah) atas nama nadzir yang ditunjuk waqif,
(v) menerima pernyataan kehendak wakaf yang dituangkan secara tertulis dalam Sertifikat Wakaf Uang,
(vi) menerbitkan Sertifikat Wakaf Uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada waqif dan tembusan sertifikat kepada nadzir,
(vii) mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri atas nama nadzir.
Sahabat Laili, demikian penjelasan yang dapat PKES sampaikan, semoga bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan tentang ekonomi syariah. Wallahu’alam bis showab.
AM. Hasan Ali-Pengasuh Rubrik Fiqh Muamalah
http://www.pkesinteraktif.com
Laili Maghfirah-Surabaya
Sahabat Laili yang budiman, kata wakaf yang biasa kita dengar sehari-hari berasal dari bahasa Arab, al-waqf, yang mempunyai arti berhenti atau terhenti. Kalau kita membaca al-Qur’an akan didapati berbagai macam tanda waqf, yang difahami sebagai tanda berhenti. Misal, tanda (م) menunjukkan wajib berhenti. Wakaf dapat difahami sebagai kegiatan menahan asli harta dan mendermakan hasilnya di jalan Allah. Adapun pengertian wakaf secara syar’i dapat difahami sebagai penyerahan harta oleh seorang muslim (selanjutnya disebut dengan muwaqqif) untuk dikelola oleh nadzir agar manfaatnya bisa diambil oleh masyarakat secara umum.
Harta tersebut tidak boleh habis. Pokoknya harus masih ada dan tetap seperti semula. Sedang manfaat dari harta wakaf tersebut dapat terus dirasakan oleh masyarakat luas, khususnya untuk kemajuan Islam.
Termasuk rukun yang harus ada dalam kegiatan wakaf adalah:
(i) waqif, orang yang mewakafkan,
(ii) nadzir, orang yang dipercaya untuk mengelola harta wakaf, dan
(iii) mauquf, harta yang diwakafkan.
Pada awalnya, pemahaman tentang obyek wakaf hanya pada tataran benda atau barang yang tidak bergerak, semisal tanah atau bangunan. Tetapi, pada saat ini sudah berkembang model wakaf pada barang yang bergerak atau yang dapat dipindahtangankan. Model wakaf yang terakhir ini ada sebagian kelompok menamainya dengan wakaf tunai (cash waqf).
Sahabat Laili, sesungguhnya penggunaan istilah wakaf tunai kurang begitu tepat, karena kalau diambil pengertian mafhum mukhalafah-nya mengandung arti ada wakaf yang tidak tunai. Sedangkan, setiap wakaf itu dilaksanakan secara tunai. Tidak ada wakaf yang ditunaikan secara tidak tunai, seperti dihutang atau ditangguhkan. Sehingga istilah yang cocok untuk model wakaf ini adalah wakaf uang (waqf an-nuqud). Maksud dari wakaf uang adalah obyek dari benda yang diwakafkan berbentuk uang. Jadi, sesuai dengan konsep wakaf uang, setiap orang dapat mewakafkan uangnya untuk kemaslahatan umat Islam.
Sesuai dengan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang wakaf, yang saat ini sedang dalam proses penetapan, antara lain diatur penunjukkan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai lembaga yang menerima titipan (wadi’ah) wakaf uang. Menurut draft RPP pasal 22, penunjukkan LKS dilakukan oleh Menteri Agama atas dasar saran dan pertimbangan Badan Wakaf Indonesia.
Sebagai penerima titipan (wadiah) wakaf, LKS berkewajiban melakukan tugas-tugas berikut;
(i) mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS Penerima Wakaf Uang,
(ii) menyediakan blangko sertifikat wakaf uang,
(iii) menerima secara tunai wakaf uang dari wakif atas nama nadzir,
(iv) menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah) atas nama nadzir yang ditunjuk waqif,
(v) menerima pernyataan kehendak wakaf yang dituangkan secara tertulis dalam Sertifikat Wakaf Uang,
(vi) menerbitkan Sertifikat Wakaf Uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada waqif dan tembusan sertifikat kepada nadzir,
(vii) mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri atas nama nadzir.
Sahabat Laili, demikian penjelasan yang dapat PKES sampaikan, semoga bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan tentang ekonomi syariah. Wallahu’alam bis showab.
AM. Hasan Ali-Pengasuh Rubrik Fiqh Muamalah
http://www.pkesinteraktif.com
Seminar Bulanan MES
Selasa, 01 Juli 2008
Pertumbuhan asuransi syariah harus disikapi secara serius. Laju pertumbuhan asuransi syariah yang kian pesat mengikuti perkembangan perbankan syariah paska terbitnya Undang-Undang (UU) Perbankan Syariah dan ketetapan modal minimum yang dikeluarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 tahun 2008, mau tidak mau memaksa asuransi syariah untuk meningkatkan kinerja dan berinovasi agar dapat memenuhi tuntutan pasar dan pemerintah.
Menanggapi fenomena ini, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) akan megusung tema: "Inovasi Produk Dan Fenomena Asuransi Syariah Di Indonesia" dalam seminar bulanannya yang akan berlangsung pada tanggal 3 Juli medatang.
Hadir sebagai pembicara dalam seminar yang akan diadakan di aula PNM, Gedung Arthaloka lantai 10, Jakarta Pusat ini adalah
Kevin Holmgren (Presiden Direktur Prudential Life Indonesia),
Tri Djoko Santoso (Vice President Director PANIN LIFE),
Muhammad Syakir Sula (Ketua Umum Islamic Insurance Society),
Agus Edy Sumanto (Direktur Utama Asuransi Takaful Keluarga sekaligus Pjs. Ketua Umum AASI)
dengan moderator Drs. Agustianto, M.Ag (Sekjend DPP IAEI).
(nadia, www.pkesinteraktif.com)
Pertumbuhan asuransi syariah harus disikapi secara serius. Laju pertumbuhan asuransi syariah yang kian pesat mengikuti perkembangan perbankan syariah paska terbitnya Undang-Undang (UU) Perbankan Syariah dan ketetapan modal minimum yang dikeluarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 tahun 2008, mau tidak mau memaksa asuransi syariah untuk meningkatkan kinerja dan berinovasi agar dapat memenuhi tuntutan pasar dan pemerintah.
Menanggapi fenomena ini, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) akan megusung tema: "Inovasi Produk Dan Fenomena Asuransi Syariah Di Indonesia" dalam seminar bulanannya yang akan berlangsung pada tanggal 3 Juli medatang.
Hadir sebagai pembicara dalam seminar yang akan diadakan di aula PNM, Gedung Arthaloka lantai 10, Jakarta Pusat ini adalah
Kevin Holmgren (Presiden Direktur Prudential Life Indonesia),
Tri Djoko Santoso (Vice President Director PANIN LIFE),
Muhammad Syakir Sula (Ketua Umum Islamic Insurance Society),
Agus Edy Sumanto (Direktur Utama Asuransi Takaful Keluarga sekaligus Pjs. Ketua Umum AASI)
dengan moderator Drs. Agustianto, M.Ag (Sekjend DPP IAEI).
(nadia, www.pkesinteraktif.com)
Lowongan Managerial : Sigma Cosulting Group, Exp. 25 juli
Selasa, 01 Juli 2008
Perusahaan konsultan yang bergerak di bidang konsultan: manajemen, kontraktor & konstruksi ME membutuhkan staf untuk ditempatkan di Jakarta :
MANAGER (6 orang)
SUPERVISOR (9 orang)
Kriteria :
1. S-1 MANAGEMENT or related.
2. Usia 32~42 th.
3. Pengalaman kerja min 5 th.
4. Konseptual, analitikal, motivasi & dedikasi tinggi.
5. Sanggup kerja keras & bersedia tugas dinas ke luar kota/negeri.
Kirim Lamaran & CV (tanpa photo), ijazah, transkrip & nilai ujian negara (PTS) Ke:
Hayam Wuruk Tower Lt-18, Jl. Hayam Wuruk 108 11160 Indonesia
Disediakan gaji (Gaji yang ditawarkan: Basic Min Rp. 6.000.000,-), tunjangan, fasilitas, training & jenjang karir menarik bagi kandidat yang diterima. Hanya kandidat yang serius, memenuhi syarat & QUALIFIED yang akan di proses/di panggil.
Tanggal Penutupan: 07/25/2008
dikutip dari : http://www.pkesinteraktif.com
Perusahaan konsultan yang bergerak di bidang konsultan: manajemen, kontraktor & konstruksi ME membutuhkan staf untuk ditempatkan di Jakarta :
MANAGER (6 orang)
SUPERVISOR (9 orang)
Kriteria :
1. S-1 MANAGEMENT or related.
2. Usia 32~42 th.
3. Pengalaman kerja min 5 th.
4. Konseptual, analitikal, motivasi & dedikasi tinggi.
5. Sanggup kerja keras & bersedia tugas dinas ke luar kota/negeri.
Kirim Lamaran & CV (tanpa photo), ijazah, transkrip & nilai ujian negara (PTS) Ke:
Hayam Wuruk Tower Lt-18, Jl. Hayam Wuruk 108 11160 Indonesia
Disediakan gaji (Gaji yang ditawarkan: Basic Min Rp. 6.000.000,-), tunjangan, fasilitas, training & jenjang karir menarik bagi kandidat yang diterima. Hanya kandidat yang serius, memenuhi syarat & QUALIFIED yang akan di proses/di panggil.
Tanggal Penutupan: 07/25/2008
dikutip dari : http://www.pkesinteraktif.com
Dapatkah Dana Zakat didepositokan?
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya jika dana zakat yang telah terkumpul didepositokan terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada yang berhak untuk menerimanya? Bagaimana pula pandangan Al-Qur'an dan hadits Rasul terkait dengan hal tersebut? Mohon penjelasannya.
Terima Kasih,
Jakarta, 081807524xxx
Jawaban:
Zakat yang terkumpul harus segera dibagikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq) yang jumlahnya ada delapan kelompok, seperti dikemukakan dalam QS. At-Taubah ayat 60; dan jangan disimpan terlalu lama, karena akan merugikan mustahiq, kecuali bagian amil yang jumlahnya maksimal 1/8 atau 12,5%. Jika bagian amil ini belum dipakai bisa didepositokan untuk keperluan kegiatan amil itu sendiri. (Zar)
Wallahu A'lam bi ash-Shawab.
http://www.pkesinteraktif.com
Bagaimanakah hukumnya jika dana zakat yang telah terkumpul didepositokan terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada yang berhak untuk menerimanya? Bagaimana pula pandangan Al-Qur'an dan hadits Rasul terkait dengan hal tersebut? Mohon penjelasannya.
Terima Kasih,
Jakarta, 081807524xxx
Jawaban:
Zakat yang terkumpul harus segera dibagikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq) yang jumlahnya ada delapan kelompok, seperti dikemukakan dalam QS. At-Taubah ayat 60; dan jangan disimpan terlalu lama, karena akan merugikan mustahiq, kecuali bagian amil yang jumlahnya maksimal 1/8 atau 12,5%. Jika bagian amil ini belum dipakai bisa didepositokan untuk keperluan kegiatan amil itu sendiri. (Zar)
Wallahu A'lam bi ash-Shawab.
http://www.pkesinteraktif.com
Mengenal Lebih Dekat Asuransi Syariah
Assalamualaikum wr. wb.
Saya peserta pengajian rutin bulanan di sebuah Masjid di kota Bogor. Suatu hari, sang penceramah memberikan penjelasan mengenai ajaran Islam yang komprehensif. Termasuk, penjelasan mengenai praktek lembaga keuangan syariah yang saat ini sedang mengalami booming. Ustadz tersebut juga memberikan penjelasan sekilas tentang asuransi syariah. Tetapi, saya masih belum faham betul mengenai asuransi syariah. Pada kesempatan ini, mohon perkenan pengasuh kontak tanya jawab ekonomi syariah PKES untuk memberikan penjelasan mengenai makna asuransi syariah. Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamualaikum wr. wb.
Royan Abd. Majid-Bogor
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Sahabat Royan yang dirahmati Allah, pada materi tanya jawab yang lalu sudah pernah kita kupas penjelasan mengenai asuransi syariah secara umum. Pada kesempatan ini, kita ingin mencoba memperkenalkan asuransi syariah lebih dekat.
Ada tiga lafadz yang digunakan untuk menyebut kata asuransi dalam bahasa Arab, yaitu ta’min, takaful dan tadhamun. Istilah ta’min secara bahasa difahami sebagai tuma’ninatun nafs wa zawalul khauf, tenang-nya jiwa dan hilangnya rasa cemas atau takut. Mengapa demikian? Karena, orang yang ikut bergabung dalam asuransi, dirinya merasa ada yang menanggung dan menjamin. Biasanya, tipologi orang yang mendapat jaminan atau orang yang hidupnya ada yang menanggung, terkesan lebih tenang dan tidak cemas dalam menjalani kehidupan ini. Berbeda dengan orang yang hidupnya tanpa ada yang menanggung atau yang menjamin, ada semacam perasaan tidak tenang dan rasa cemas dalam hidup-nya. Oleh karena itu, asuransi disebut dengan istilah ta’min yang juga berarti aman atau tenang.
Selain itu, istilah asuransi dalam bahasa Arab juga disebut dengan takaful. Kata ini, berasal dari lafadz takaafala-yatakaafalu-takaafulan, yang artinya saling menanggung. Hal ini dikarenakan, para pihak yang ikut dalam bisnis asuransi mempunyai tanggung jawab yang sama, yaitu saling menanggung risiko yang menimpa di antara salah pihak. Prinsip ini mengacu pada konsep ta’awun, tolong menolong, yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Istilah takaful lebih dominan penggunaannya dibanding dengan istilah ta’min. Banyak referensi buku yang lebih suka menggunakan istilah takaful daripada istilah ta’min dalam mengungkapkan makna kata asuransi.
Di sisi lain, ada istilah tadhamun yang juga sama digunakan dalam literatur asuransi. Kata tadhamun mempunyai persamaan arti kata dengan istilah takaful, yaitu saling menanggung. Kata ini berasal dari lafadz tadhaamana-yatadhaamanu-tadhaamunan. Kata ini juga jarang digunakan dalam mengungkapkan istilah asuransi. Ketiga istilah kata ini, digunakan oleh DSN-MUI dalam fatwanya tentang ketentuan umum mengenai asuransi syariah.
Dalam prakteknya, asuransi syariah lebih mengacu kepada prinsip sharing of risk, daripada prinsip transfer of risk. Prinsip yang terakhir ini, lebih banyak dipedomani oleh praktisi di industri asuransi konvensional. Mengapa asuransi syariah cenderung menggunakan prinsip sharing of risk? Karena dalam hal ini, sesuai dengan makna takaful dan tadhamun itu sendiri, yaitu saling menanggung. Arti saling menanggung difahami sebagai bentuk keterikatan bersama antara peserta untuk saling menanggung risiko yang akan terjadi. Sedangkan, prinsip transfer of risk yang dipraktekkan oleh asuransi konvensional lebih bersifat satu arah. Ada pelimpahan risiko kepada salah satu pihak. Dalam hal ini, peserta asuransi melimpahkan risikonya ke perusahaan asuransi. Sedangkan perusahaan asuransi jika tidak mampu menanggung risiko tersebut melimpahkan kembali ke perusahaan reasuransi. Artinya, hanya ada satu pihak yang menanggung risiko. Sekali lagi, berbeda dengan asuransi syariah, penyebaran risiko kepada seluruh peserta asuransi terjadi di operasional perusahaan asuransi syariah.
Aspek lain, yang perlu diperhatikan dalam operasional asuransi syariah adalah status premi yang dibayarkan oleh peserta masih menjadi hak milik peserta, bukan milik perusahaan. Sehingga, jika terjadi klaim oleh peserta, pembayaran uang klaim berasal dari uang premi yang dibayarkan peserta, bukan berasal dari dana perusahaan. Berbeda dengan asuransi konvensional, status uang premi menjadi milik perusahaan. Sedangkan pembayaran klaim diambilkan dari uang perusahaan.
Sahabat Royan yang baik, demikian penjelasan dari pengasuh mengenai asuransi syariah. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam bis showab. [hsn].
dikutip dari : http://www.pkesinteraktif.com
Saya peserta pengajian rutin bulanan di sebuah Masjid di kota Bogor. Suatu hari, sang penceramah memberikan penjelasan mengenai ajaran Islam yang komprehensif. Termasuk, penjelasan mengenai praktek lembaga keuangan syariah yang saat ini sedang mengalami booming. Ustadz tersebut juga memberikan penjelasan sekilas tentang asuransi syariah. Tetapi, saya masih belum faham betul mengenai asuransi syariah. Pada kesempatan ini, mohon perkenan pengasuh kontak tanya jawab ekonomi syariah PKES untuk memberikan penjelasan mengenai makna asuransi syariah. Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamualaikum wr. wb.
Royan Abd. Majid-Bogor
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Sahabat Royan yang dirahmati Allah, pada materi tanya jawab yang lalu sudah pernah kita kupas penjelasan mengenai asuransi syariah secara umum. Pada kesempatan ini, kita ingin mencoba memperkenalkan asuransi syariah lebih dekat.
Ada tiga lafadz yang digunakan untuk menyebut kata asuransi dalam bahasa Arab, yaitu ta’min, takaful dan tadhamun. Istilah ta’min secara bahasa difahami sebagai tuma’ninatun nafs wa zawalul khauf, tenang-nya jiwa dan hilangnya rasa cemas atau takut. Mengapa demikian? Karena, orang yang ikut bergabung dalam asuransi, dirinya merasa ada yang menanggung dan menjamin. Biasanya, tipologi orang yang mendapat jaminan atau orang yang hidupnya ada yang menanggung, terkesan lebih tenang dan tidak cemas dalam menjalani kehidupan ini. Berbeda dengan orang yang hidupnya tanpa ada yang menanggung atau yang menjamin, ada semacam perasaan tidak tenang dan rasa cemas dalam hidup-nya. Oleh karena itu, asuransi disebut dengan istilah ta’min yang juga berarti aman atau tenang.
Selain itu, istilah asuransi dalam bahasa Arab juga disebut dengan takaful. Kata ini, berasal dari lafadz takaafala-yatakaafalu-takaafulan, yang artinya saling menanggung. Hal ini dikarenakan, para pihak yang ikut dalam bisnis asuransi mempunyai tanggung jawab yang sama, yaitu saling menanggung risiko yang menimpa di antara salah pihak. Prinsip ini mengacu pada konsep ta’awun, tolong menolong, yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Istilah takaful lebih dominan penggunaannya dibanding dengan istilah ta’min. Banyak referensi buku yang lebih suka menggunakan istilah takaful daripada istilah ta’min dalam mengungkapkan makna kata asuransi.
Di sisi lain, ada istilah tadhamun yang juga sama digunakan dalam literatur asuransi. Kata tadhamun mempunyai persamaan arti kata dengan istilah takaful, yaitu saling menanggung. Kata ini berasal dari lafadz tadhaamana-yatadhaamanu-tadhaamunan. Kata ini juga jarang digunakan dalam mengungkapkan istilah asuransi. Ketiga istilah kata ini, digunakan oleh DSN-MUI dalam fatwanya tentang ketentuan umum mengenai asuransi syariah.
Dalam prakteknya, asuransi syariah lebih mengacu kepada prinsip sharing of risk, daripada prinsip transfer of risk. Prinsip yang terakhir ini, lebih banyak dipedomani oleh praktisi di industri asuransi konvensional. Mengapa asuransi syariah cenderung menggunakan prinsip sharing of risk? Karena dalam hal ini, sesuai dengan makna takaful dan tadhamun itu sendiri, yaitu saling menanggung. Arti saling menanggung difahami sebagai bentuk keterikatan bersama antara peserta untuk saling menanggung risiko yang akan terjadi. Sedangkan, prinsip transfer of risk yang dipraktekkan oleh asuransi konvensional lebih bersifat satu arah. Ada pelimpahan risiko kepada salah satu pihak. Dalam hal ini, peserta asuransi melimpahkan risikonya ke perusahaan asuransi. Sedangkan perusahaan asuransi jika tidak mampu menanggung risiko tersebut melimpahkan kembali ke perusahaan reasuransi. Artinya, hanya ada satu pihak yang menanggung risiko. Sekali lagi, berbeda dengan asuransi syariah, penyebaran risiko kepada seluruh peserta asuransi terjadi di operasional perusahaan asuransi syariah.
Aspek lain, yang perlu diperhatikan dalam operasional asuransi syariah adalah status premi yang dibayarkan oleh peserta masih menjadi hak milik peserta, bukan milik perusahaan. Sehingga, jika terjadi klaim oleh peserta, pembayaran uang klaim berasal dari uang premi yang dibayarkan peserta, bukan berasal dari dana perusahaan. Berbeda dengan asuransi konvensional, status uang premi menjadi milik perusahaan. Sedangkan pembayaran klaim diambilkan dari uang perusahaan.
Sahabat Royan yang baik, demikian penjelasan dari pengasuh mengenai asuransi syariah. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam bis showab. [hsn].
dikutip dari : http://www.pkesinteraktif.com
Seminar mengenai sukuk daerah
Pemerintah daerah (pemda) berkesempatan untuk menerbitkan obligasi daerah syariah Sukuk) untuk membiayai pembangunan di daerah, menyusul ditetapkannya Undang Undang Surat Berharga Syariah Negara. Kesempatan ini terbuka luas bagi pemda untuk mempercepat pembangunan di daerahnya.
Penerbitan sukuk yang jeli dan terencana dapat menopang agenda besar pembangunan di daerah. Daerah yang ingin menerbitkan sukuk akan lebih baik diarahkan untuk pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur ini tentunya harus diimbangi dengan perencanaan pengembangan yang lain. misalnya pembangunan jalan atau jembatan bisa dikaitkan dengan rencana pembukaan daerah industri atau untuk meningkatkan budidaya pangan di daerah.
Semua itu tergantung masing-masing daerah. asalkan pemanfaatannya harus benar2 sesuai dengan perencaan yang telah di perjanjikan dalam peneribatan sukuk. Karena penerbitan sukuk oleh Pemda punya konsekuensi ke depan khususnya pertanggungjawaban keuangannya bisa melampaui jabatan kepala daerah. artinya kepala daerah berikutnya juga harus siap-siap untuk menjalankan serta menanggung beban pembayaran proyek. Oleh karena itu transparansi dan akuntabilitas pemanfaatan dana sukuk juga harus menjadi perhatian sejak awal. S
aya pikir, Unair yang mempunyai departemen ekonomi syariah dapat diikutsertakan dalam perencanaan sampai monitoring penerbiatan sukuk sebagai bentuk pengabdian masyarakat.Sekaligus masyarakat khususnya Pemda tidak perlu sungkan untuk terus berhubungan dengan Ciberd yang merupakan lembaga dibawah departemen ekonomi syariah fakultas ekonomi UNAIR. Semoga ini bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat luas.
http://www.fe.unair.ac.id
Penerbitan sukuk yang jeli dan terencana dapat menopang agenda besar pembangunan di daerah. Daerah yang ingin menerbitkan sukuk akan lebih baik diarahkan untuk pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur ini tentunya harus diimbangi dengan perencanaan pengembangan yang lain. misalnya pembangunan jalan atau jembatan bisa dikaitkan dengan rencana pembukaan daerah industri atau untuk meningkatkan budidaya pangan di daerah.
Semua itu tergantung masing-masing daerah. asalkan pemanfaatannya harus benar2 sesuai dengan perencaan yang telah di perjanjikan dalam peneribatan sukuk. Karena penerbitan sukuk oleh Pemda punya konsekuensi ke depan khususnya pertanggungjawaban keuangannya bisa melampaui jabatan kepala daerah. artinya kepala daerah berikutnya juga harus siap-siap untuk menjalankan serta menanggung beban pembayaran proyek. Oleh karena itu transparansi dan akuntabilitas pemanfaatan dana sukuk juga harus menjadi perhatian sejak awal. S
aya pikir, Unair yang mempunyai departemen ekonomi syariah dapat diikutsertakan dalam perencanaan sampai monitoring penerbiatan sukuk sebagai bentuk pengabdian masyarakat.Sekaligus masyarakat khususnya Pemda tidak perlu sungkan untuk terus berhubungan dengan Ciberd yang merupakan lembaga dibawah departemen ekonomi syariah fakultas ekonomi UNAIR. Semoga ini bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat luas.
http://www.fe.unair.ac.id
Kapitalisme Ekonomi Syariah
Dekade ini boleh jadi periode keemasan bagi ekonomi syariah, terutama di Indonesia. Sejak tahun 2000 silam tak kurang 50 lembaga ekonomi berbasis syariah tumbuh dengan suburnya. Hal ini sangat wajar mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sayangnya, di tengah gebyar syariah, terselip berbagai kelemahan dan penyimpangan. Apalagi disinyalir lebih dari 80% dari lembaga yang ada belum mampu menjalankan prinsip-prinsip syariah secara utuh.
Kesalahan pertama adalah produk-produk syariah yang dipasarkan justru didominasi oleh produk-produk konsumsi. Murabahah, atau jual beli, entah itu berbentuk KPR, kredit kendaraan, dan sebagainya mendominasi tak kurang dari 70% produk syariah yang ada. Tak beda dengan kredit konsumsi tradisional. Hanya saja elemen bunga disamarkan dengan elemen biaya dan marjin profit. Mestinya, kalau mau fair, produk-produk lain seperti mudharabah, musyarakah, isthisma’, juga tak kalah gencarnya dipasarkan.
Dalam beberapa hal, masyarakat juga sering mengalami kesulitan dalam mengakses produk-produk syariah tersebut. Dengan persyaratan yang rumit serta birokrasi yang berbelit, lembaga syariah bergeser menjadi menara gading yang sulit dijangkau kaum grass root. Padahal, sejatinya, ekonomi syariah lahir untuk mewadahi kaum bawah tersebut.
Beberapa kalangan juga sering mengkritisi sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pembentukan dan penunjukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Seringkali lembaga-lembaga tersebut dicap sebagai produk formalitas belaka mengingat standardisasi skill dan capabilities orang-orang didalamnya tidak jelas. Dewan yang diharapkan dapat berkomitmen penuh dalam mengawasi produk, konsep, kinerja, maupun policy lembaga syariah kinerjanya sering mengecewakan. Anggota-anggotanya yang masih didominasi kyai-kyai sepuh, dirasa kurang mampu mengikuti pergerakan dan perkembangan ekonomi syariah yang bergerak dengan sangat cepatnya.
Di lembaga syariah sendiri, penunjukan dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) juga masih bias. Prinsip syariah, sejatinya membutuhkan 70% moral heavy, baru diikuti dengan knowledge dan appearance. Namun pada prakteknya, mereka justru dijejali hafalan-hafalan berbahasa arab dan diikutkan pelatihan instan. Terkadang etika bisnis dan konsep islami belum dikuasai secara komprehensif.
Celakanya, kekurangan-kekurangan ini makin diperburuk dengan sikap lembaga keuangan yang ada. Mereka memandang syariah semata-mata sebagai peluang pasar yang layak dimanfaatkan. Tindakan ini tentunya merupakan kejahatan ekonomi karena produk syariah menjadi alat para kapitalis untuk mengeduk untung sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya. Keberpihakan dan komitmen mereka terhadap kelangsungan dan perkembangan syariah itu sendiri masih patut dipertanyakan.
Lebih parah lagi, beberapa bank membuka divisi syariah hanya untuk nasabah privat yang memiliki dana tak kurang dari Rp 500 juta. Jika demikian, tentunya keberpihakan lembaga keuangan menjadi diskriminatif dan tak lagi berperan pada kelangsungan hidup kaum grass root. Kapitalisme, dalam hal ini, dibalut dengan simbol-simbol syariah untuk kepentingan pemilik modal.
http://nofieiman.com
Kesalahan pertama adalah produk-produk syariah yang dipasarkan justru didominasi oleh produk-produk konsumsi. Murabahah, atau jual beli, entah itu berbentuk KPR, kredit kendaraan, dan sebagainya mendominasi tak kurang dari 70% produk syariah yang ada. Tak beda dengan kredit konsumsi tradisional. Hanya saja elemen bunga disamarkan dengan elemen biaya dan marjin profit. Mestinya, kalau mau fair, produk-produk lain seperti mudharabah, musyarakah, isthisma’, juga tak kalah gencarnya dipasarkan.
Dalam beberapa hal, masyarakat juga sering mengalami kesulitan dalam mengakses produk-produk syariah tersebut. Dengan persyaratan yang rumit serta birokrasi yang berbelit, lembaga syariah bergeser menjadi menara gading yang sulit dijangkau kaum grass root. Padahal, sejatinya, ekonomi syariah lahir untuk mewadahi kaum bawah tersebut.
Beberapa kalangan juga sering mengkritisi sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pembentukan dan penunjukan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Seringkali lembaga-lembaga tersebut dicap sebagai produk formalitas belaka mengingat standardisasi skill dan capabilities orang-orang didalamnya tidak jelas. Dewan yang diharapkan dapat berkomitmen penuh dalam mengawasi produk, konsep, kinerja, maupun policy lembaga syariah kinerjanya sering mengecewakan. Anggota-anggotanya yang masih didominasi kyai-kyai sepuh, dirasa kurang mampu mengikuti pergerakan dan perkembangan ekonomi syariah yang bergerak dengan sangat cepatnya.
Di lembaga syariah sendiri, penunjukan dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) juga masih bias. Prinsip syariah, sejatinya membutuhkan 70% moral heavy, baru diikuti dengan knowledge dan appearance. Namun pada prakteknya, mereka justru dijejali hafalan-hafalan berbahasa arab dan diikutkan pelatihan instan. Terkadang etika bisnis dan konsep islami belum dikuasai secara komprehensif.
Celakanya, kekurangan-kekurangan ini makin diperburuk dengan sikap lembaga keuangan yang ada. Mereka memandang syariah semata-mata sebagai peluang pasar yang layak dimanfaatkan. Tindakan ini tentunya merupakan kejahatan ekonomi karena produk syariah menjadi alat para kapitalis untuk mengeduk untung sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya. Keberpihakan dan komitmen mereka terhadap kelangsungan dan perkembangan syariah itu sendiri masih patut dipertanyakan.
Lebih parah lagi, beberapa bank membuka divisi syariah hanya untuk nasabah privat yang memiliki dana tak kurang dari Rp 500 juta. Jika demikian, tentunya keberpihakan lembaga keuangan menjadi diskriminatif dan tak lagi berperan pada kelangsungan hidup kaum grass root. Kapitalisme, dalam hal ini, dibalut dengan simbol-simbol syariah untuk kepentingan pemilik modal.
http://nofieiman.com
Minggu, 29 Juni 2008
Ketidakberdayaan Zakat Sebagai Pengurang Kemiskinan
Oleh:Ach. Bakhrul Muchtasib
Zakat merupakan salah satu unsur penting dalam sistem ekonomi berdasarkan syariat Islam. Menurut para pemikir Islam, ekonomi akan tumbuh dan berkembang dengan baik bila zakat sebagai suatu sistem kehidupan ekonomi berjalan, tumbuh, berkembang dan berjalan sebagaimana mestinya. Untuk menciptakan keadilan sosial ekonomi di dalam bermasyarakat, instrumen zakat merupakan salah satu jawaban yang akan dapat mewujudkan semua itu. Zakat dapat menjadi penunjang pembangunan ekonomi masyarakat. Karena di dalam instrumen zakat tercipta semangat tolong menolong (ta’awun), dan mengandung unsur pemenuhan kewajiban individu untuk memberikan tanggung jawabnya kepada masyarakat.
Individu diharapkan secara semestinya dan efisien melaksanakan setiap kewajiban yang dipercayakan padanya demi kemaslahatan umum.Kebutuhan hidup masyarakat ekonomi lemah (masakin) akan dapat terjamin dengan diberikan zakat kepada mereka, bila hal inipun dilakukan pengelolaan terhadap zakat tersebut dengan benar. Diberlakukannya instrumen zakat digunakan sebagai alat untuk menghapuskan, atau paling tidak dapat meminimalisir tingkat kemiskinan yang menjangkit dilingkungan masyarakat.
Kemiskinan dalam konsep Islam adalah tidak terpenuhinya alat pemuas yang bisa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer; yaitu sandang, pangan dan papan, selain itu dianggap sebagai kebutuhan sekunder. Orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sekundernya tidak dianggap sebagai orang miskin.Besarnya jumlah dari penduduk Indonesia yang beragama Islam, merupakan potensi yang tidak terelakkan untuk terkumpulnya harta zakat dengan jumlah yang cukup besar. Namun demikian, sebanding dengan itu masyarakat yang beragama Islam merupakan penyumbang angka kemiskinan terbesar di Indonesia.
Pengumpulan harta zakat yang telah banyak dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat ataupun Badan Amil Zakat, belum secara maksimal mampu mengumpulkan jumlah yang sesungguhnya dari besaran harta zakat yang semestinya terkumpul. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Departeman Agama, pada masa kepemimpinan Said Agil Munawwar, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp. 7 triliun per tahun. Sedangkan menurut penelitian yang telah dilakukan oleh PIRAC pada tahun 2004, potensi zakat di Indonesia mencapai angka Rp. 9 triliun. Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatulllah melakukan penelitian yang sama, namun memiliki hasil yang berbeda.
Pada tahun 2005 penelitian telah dilakukan dengan menghasilkan data yang cukup besar, bahwa potensi yang akan tergali dari dana zakat mencapai angka Rp. 19 triliun per tahun. Angka yang cukup signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.Berbeda dengan hasil olah yang telah dilakukan oleh Djamal Doa, menurutnya potensi zakat mampu terkumpul sebesar Rp. 84,49 triliun per tahun. Angka itu diperoleh berdasarkan perhitungan atas jumlah penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa (data BPS) dengan asumsi 28,8 juta KK wajib zakat.
Sebanding dengan potensi zakat yang begitu besar, Indonesia memiliki Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) yang sangat besar pula, dan ironisnya setiap tahun terus bertambah. Pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen), dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen). Pertambahan penduduk miskin bisa dilihat dari perbandingan tersebut meningkat hingga sebesar 3,95 juta. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan pedesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah pedesaan. (Biro Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik September 2006).
Sementara kemiskinan terus bertambah seringkali diikuti oleh bertambahnya masalah pengangguran. Sebagaimana kemiskinan, pengangguran merupakan salah satu masalah serius yang belum terpecahkan hingga saat ini. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, penambahan jumlah lapangan kerja baru yang lebih kecil dibanding pertambahan angkatan kerja baru, menyebabkan terjadi penambahan jumlah pengangguran baru sebesar 600 ribu orang pada tahun 2005.
Dengan penambahan ini tingkat pengangguran (open unemployment) meningkat menjadi 10,3 persen dibanding keadaan pada bulan Agustus 2004 sebesar 9,9 persen.Pengumpulan harta zakat dari tahun ke tahun semakin bertambah, seiring dengan pertambahan jumlah lembaga zakat yang berdiri untuk menjadi pengelola harta zakat, meskipun masih jauh dari potensi yang seharusnya bisa terkumpul. Namun, semakin bertambah zakat dikumpulkan tidak kemudian mengurangi jumlah penambahan penduduk yang masuk daftar kategori miskin, ataupun jumlah tenaga produktif yang menganggur.
Tampak sekali perkembangan zakat tidak mampu menahan laju pertumbuhan kemiskinan, apalagi menggerus kemiskinan tersebut. Seperti yang seringkali diungkapkan oleh para pakar zakat. Instrumen zakat seolah-olah tidak berdaya untuk membendung cepatnya laju kemiskinan dan pengangguran.Permasalahan yang menjadi penyebab atas ketidakberdayaan zakat tersebut adalah; pertama, terjadinya ketimpangan (gap) yang sangat besar antara potensi dan realisasi zakat. Sehingga harta zakat yang terkumpul tidak mampu mengimbangi jumlah kemiskinan yang terus bertambah. Hal ini dikarenakan, kedua, kesadaran masyarakat untuk menyisihkan sebagian hartanya dari kewajiban zakat sangat rendah. Kewajiban untuk membayar zakat seringkali terabaikan oleh masyarakat muslim.
Bisa juga ini disebabkan oleh rendahnya pengetahuan masyarakat tentang zakat, yang hanya menganggap kewajiban tersebut atas zakat fitrah.Ketiga, ketidakpercayaan atas lembaga amil zakat. Lemahnya manajemen pengelolaan zakat yang dilakukan oleh para amil zakat, menjadi salah satu diantara penyebab minimnya harta zakat terkumpul. Para muzakki yang seharusnya mengeluarkan zakat dari sebagian hartanya lebih suka menyalurkannya langsung kepada si miskin, sehingga zakat bisa tidak tersalurkan secara benar. Keempat, masalah sistem pengelolaan yang belum terpadu. Banyaknya lembaga amil zakat tidak serta merta membuat zakat terkelola dengan baik dan benar.
Justru muncul permasalahan ketidaksesuaian antara lembaga satu dengan yang lainnya. Masing-masing mengelola dengan caranya sendiri, sehingga harus dibuat suatu sistem yang terpadu yang mampu menginterprestasikan keseluruhan cara pengumpulan dan pengeloalaan zakat. wallahua’lam bisshawab
Zakat merupakan salah satu unsur penting dalam sistem ekonomi berdasarkan syariat Islam. Menurut para pemikir Islam, ekonomi akan tumbuh dan berkembang dengan baik bila zakat sebagai suatu sistem kehidupan ekonomi berjalan, tumbuh, berkembang dan berjalan sebagaimana mestinya. Untuk menciptakan keadilan sosial ekonomi di dalam bermasyarakat, instrumen zakat merupakan salah satu jawaban yang akan dapat mewujudkan semua itu. Zakat dapat menjadi penunjang pembangunan ekonomi masyarakat. Karena di dalam instrumen zakat tercipta semangat tolong menolong (ta’awun), dan mengandung unsur pemenuhan kewajiban individu untuk memberikan tanggung jawabnya kepada masyarakat.
Individu diharapkan secara semestinya dan efisien melaksanakan setiap kewajiban yang dipercayakan padanya demi kemaslahatan umum.Kebutuhan hidup masyarakat ekonomi lemah (masakin) akan dapat terjamin dengan diberikan zakat kepada mereka, bila hal inipun dilakukan pengelolaan terhadap zakat tersebut dengan benar. Diberlakukannya instrumen zakat digunakan sebagai alat untuk menghapuskan, atau paling tidak dapat meminimalisir tingkat kemiskinan yang menjangkit dilingkungan masyarakat.
Kemiskinan dalam konsep Islam adalah tidak terpenuhinya alat pemuas yang bisa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer; yaitu sandang, pangan dan papan, selain itu dianggap sebagai kebutuhan sekunder. Orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sekundernya tidak dianggap sebagai orang miskin.Besarnya jumlah dari penduduk Indonesia yang beragama Islam, merupakan potensi yang tidak terelakkan untuk terkumpulnya harta zakat dengan jumlah yang cukup besar. Namun demikian, sebanding dengan itu masyarakat yang beragama Islam merupakan penyumbang angka kemiskinan terbesar di Indonesia.
Pengumpulan harta zakat yang telah banyak dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat ataupun Badan Amil Zakat, belum secara maksimal mampu mengumpulkan jumlah yang sesungguhnya dari besaran harta zakat yang semestinya terkumpul. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Departeman Agama, pada masa kepemimpinan Said Agil Munawwar, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp. 7 triliun per tahun. Sedangkan menurut penelitian yang telah dilakukan oleh PIRAC pada tahun 2004, potensi zakat di Indonesia mencapai angka Rp. 9 triliun. Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatulllah melakukan penelitian yang sama, namun memiliki hasil yang berbeda.
Pada tahun 2005 penelitian telah dilakukan dengan menghasilkan data yang cukup besar, bahwa potensi yang akan tergali dari dana zakat mencapai angka Rp. 19 triliun per tahun. Angka yang cukup signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.Berbeda dengan hasil olah yang telah dilakukan oleh Djamal Doa, menurutnya potensi zakat mampu terkumpul sebesar Rp. 84,49 triliun per tahun. Angka itu diperoleh berdasarkan perhitungan atas jumlah penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa (data BPS) dengan asumsi 28,8 juta KK wajib zakat.
Sebanding dengan potensi zakat yang begitu besar, Indonesia memiliki Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) yang sangat besar pula, dan ironisnya setiap tahun terus bertambah. Pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen), dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen). Pertambahan penduduk miskin bisa dilihat dari perbandingan tersebut meningkat hingga sebesar 3,95 juta. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan pedesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah pedesaan. (Biro Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik September 2006).
Sementara kemiskinan terus bertambah seringkali diikuti oleh bertambahnya masalah pengangguran. Sebagaimana kemiskinan, pengangguran merupakan salah satu masalah serius yang belum terpecahkan hingga saat ini. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, penambahan jumlah lapangan kerja baru yang lebih kecil dibanding pertambahan angkatan kerja baru, menyebabkan terjadi penambahan jumlah pengangguran baru sebesar 600 ribu orang pada tahun 2005.
Dengan penambahan ini tingkat pengangguran (open unemployment) meningkat menjadi 10,3 persen dibanding keadaan pada bulan Agustus 2004 sebesar 9,9 persen.Pengumpulan harta zakat dari tahun ke tahun semakin bertambah, seiring dengan pertambahan jumlah lembaga zakat yang berdiri untuk menjadi pengelola harta zakat, meskipun masih jauh dari potensi yang seharusnya bisa terkumpul. Namun, semakin bertambah zakat dikumpulkan tidak kemudian mengurangi jumlah penambahan penduduk yang masuk daftar kategori miskin, ataupun jumlah tenaga produktif yang menganggur.
Tampak sekali perkembangan zakat tidak mampu menahan laju pertumbuhan kemiskinan, apalagi menggerus kemiskinan tersebut. Seperti yang seringkali diungkapkan oleh para pakar zakat. Instrumen zakat seolah-olah tidak berdaya untuk membendung cepatnya laju kemiskinan dan pengangguran.Permasalahan yang menjadi penyebab atas ketidakberdayaan zakat tersebut adalah; pertama, terjadinya ketimpangan (gap) yang sangat besar antara potensi dan realisasi zakat. Sehingga harta zakat yang terkumpul tidak mampu mengimbangi jumlah kemiskinan yang terus bertambah. Hal ini dikarenakan, kedua, kesadaran masyarakat untuk menyisihkan sebagian hartanya dari kewajiban zakat sangat rendah. Kewajiban untuk membayar zakat seringkali terabaikan oleh masyarakat muslim.
Bisa juga ini disebabkan oleh rendahnya pengetahuan masyarakat tentang zakat, yang hanya menganggap kewajiban tersebut atas zakat fitrah.Ketiga, ketidakpercayaan atas lembaga amil zakat. Lemahnya manajemen pengelolaan zakat yang dilakukan oleh para amil zakat, menjadi salah satu diantara penyebab minimnya harta zakat terkumpul. Para muzakki yang seharusnya mengeluarkan zakat dari sebagian hartanya lebih suka menyalurkannya langsung kepada si miskin, sehingga zakat bisa tidak tersalurkan secara benar. Keempat, masalah sistem pengelolaan yang belum terpadu. Banyaknya lembaga amil zakat tidak serta merta membuat zakat terkelola dengan baik dan benar.
Justru muncul permasalahan ketidaksesuaian antara lembaga satu dengan yang lainnya. Masing-masing mengelola dengan caranya sendiri, sehingga harus dibuat suatu sistem yang terpadu yang mampu menginterprestasikan keseluruhan cara pengumpulan dan pengeloalaan zakat. wallahua’lam bisshawab
Perlukah Kartu Kredit Syariah?
Oleh: Ach. Bakhrul Muchtasib
Fasilitas penggunaan kartu kredit syariah merupakan bagian dari pengembangan produk yang dilakukan perbankan syariah untuk menjaring para nasabah, sekaligus memberikan pelayanan kepada nasabah dengan lebih maksimal. Penerbitan kartu kredit syariah, yang semakin menambah variasi produk perbankan syariah, diharapkan dapat memberikan kemudahan dan memberikan keamanan dalam transaksi. Ke depan diharapkan bank syariah akan lebih berkembang dan mampu bersaing dengan bank-bank konvensional sebagai kompetitornya.
Pada giliran berikutnya mampu menggantikan posisi kartu kredit yang berkembang pada bank konvensional, yang secara nyata melakukan proses transaksi dengan sistem ribawi (pengambilan keuntungan dengan mengenakan bunga).Sebagian kalangan pelaku bank syariah menyangsikan kartu kredit syariah tersebut. Karena, dimungkinkan akan mendorong masyarakat nasabah bank syariah terjebak pada budaya konsumerisme, seperti yang terjadi pada bank konvensional. Dikhawatirkan, nantinya, nasabah bank syariah terlena dengan kemudahan fasilitas yang diberikan dalam hal berbelanja tanpa berhitung pada kebutuhan yang sebenarnya. Seperti yang pernah terjadi, penerbitan kartu kredit syariah berpotensi menciptakan dan menyebabkan peningkatan pada rasio pembiayaan bermasalah (NPF).
Dimungkinkan menurunkan citra positif bank syariah yang selama ini memiliki pembiayaan bermasalah yang masih dibawah 5% (yang berkategori bagus).Melihat pengalaman yang pernah terjadi pada bank konvensional, dari seluruh kartu kredit yang tersebar, 70% di antaranya merupakan kartu kredit yang bermasalah. Tidak sedikit dari pemegang kartu kredit mengalami keterlambatan pembayaran atas tagihan. Akhirnya, mereka harus menanggung beban denda bunga kredit yang cukup tinggi. Semakin lama beban tagihan dan beban bunga akan semakin membengkak jika tidak segera dilunasi.
Penambahan beban bunga yang semakin besar dapat mengakibatkan ketidakmampuan nasabah pemegang kartu kredit untuk melunasi tagihannya.Untuk mengatasi permasalahan yang muncul akibat minimnya pencegahan dalam bertransaksi secara berlebih, bank syariah sebagai penerbit kartu kredit syariah, harus mampu melakukan pencegahan atau pun membatasi nafsu berbelanja nasabah dengan memberikan batasan maksimal dalam belanja, disesuaikan dengan besarnya gaji/pendapatan nasabah. Bank syariah pun harus selektif di dalam memberikan kartu kreditnya kepada nasabah, sebagai tindakan kehati-hatian.
Nasabah yang berhak mendapatkan kartu kredit syariah hanya mereka yang memiliki kemampuan secara finansial dan kejujuran. Menurut Ma’ruf Amin, Ketua DSN-MUI, untuk mencegah terjadinya budaya konsumerisme pada masyarakat pemegang kartu kredit syariah, dengan mewajibkan pemegang kartu untuk menitipkan sebagian dana mereka sebagai collateral cash di bank syariah penerbit kartu. Ditambah jumlah plafond pembiayaan pemegang kartu yang harus disesuaikan dengan besarnya jumlah pendapatan yang dimiliki (Republika, 1 Febuari 2007).Sesuai dengan usulan sebagian anggota DSN, besarnya collateral cash dapat ditentukan dengan kisaran nilai sebesar 20% dari plafond kartu kredit.
Nilai collateral cash ini diyakini cukup efektif untuk mengendalikan perilaku konsumtif. Atas usulan ini, Harisman, mantan Direktur Direktorat Perbankan Syariah-BI, menyambut baik. Menurut Harisman, saat ini meski tidak sebesar 20%, namun Bank Indonesia tetap menganjurkan ada deposit dari sisi pemakai kartu kredit. Kendati begitu, hal itu tidak sepenuhnya dapat diyakini mampu mencegah perilaku konsumtif masyarakat. Pada praktiknya nanti, beredarnya kartu kredit syariah tidak akan berbeda dengan kartu kredit konvensional. Proses transaksi yang dilakukan pemegang kartu dengan merchant pun tidak berbeda. Kecuali bank syariah, sebagai pihak penerbit, segera menutup transaksi yang melebihi batas maksimal dari besarnya plafond yang dimiliki pihak pemegang kartu. Di sisi lain, kondisi ini akan dihadapkan pada persoalan ketertarikan nasabah sebagai konsumen terhadap kartu kredit syariah.
Permasalahan timbul dengan persaingan yang akan dihadapi bank syariah pada bank konvensional yang memberikan kemudahan syarat-syarat dan kebebasan transaksi.Terlepas dari bagaimana penerapannya dan seperti apa ketentuan yang diterapkan, setelah beberapa bulan difatwakan, kartu kredit syariah belum juga beredar di pasaran. Respon dari bank syariahpun masih timbul tenggelam. Baru Danamon Syariah yang menyatakan siap meluncurkan kartu kredit syariah.
Tahap awal penertiban, menurut direktur usaha syariah, Hendarin Sukarmadji, mentargetkan 15-20 ribu kartu. Bahkan, Bank Muamalat Indonesia melalui direkturnya, U. Syaifuddin Noer, menyatakan tidak akan menerbitkan kartu kredit syariah, karena, dianggap akan menjadikan masyarakat lebih konsumtif. Penerbitan fatwa kartu kredit syariah seharusnya tidak hanya didasarkan atas halal atau tidaknya dari sisi syariah, tetapi, juga harus memperhatikan bagaimana manfaat dan kegunaannya serta efek sosialnya bagi masyarakat. Jadi, bagi masyarakat nasabah bank syariah, selain diarahkan untuk berperilaku ekonomi secara syariah, harus juga dididik menentukan skala prioritas yang menjadi kebutuhan mendasar bagi kelayakan kehiidupannya.
Jika dirasakan kartu kredit syariah bukan merupakan kebutuhan yang cukup mendesak dan penting, tentunya tidak harus diupayakan secara maksimal dalam pengembangannya.Penempatan masalah dari kartu kredit syariah ini dapat dipilah-pilah dan ditentukan sebagai produk bank syariah sesuai dengan tingkat kebutuhan bank syariah terhadap kartu tersebut dan kebutuhan masyarakat dalam menggunakan kartu kredit syariah di setiap transaksi mereka.
Jika kartu kredit syariah hanya merupakan kebutuhan pelengkap dan tidak urgent sebagai alat transaksi atau, bahkan, akan menimbulkan mudharat, lebih baik produk operasional bank syariah yang menggunakan kartu hanya pada kartu debit atau kartu lain yanng tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Wallahua’lam bi shawab.
Fasilitas penggunaan kartu kredit syariah merupakan bagian dari pengembangan produk yang dilakukan perbankan syariah untuk menjaring para nasabah, sekaligus memberikan pelayanan kepada nasabah dengan lebih maksimal. Penerbitan kartu kredit syariah, yang semakin menambah variasi produk perbankan syariah, diharapkan dapat memberikan kemudahan dan memberikan keamanan dalam transaksi. Ke depan diharapkan bank syariah akan lebih berkembang dan mampu bersaing dengan bank-bank konvensional sebagai kompetitornya.
Pada giliran berikutnya mampu menggantikan posisi kartu kredit yang berkembang pada bank konvensional, yang secara nyata melakukan proses transaksi dengan sistem ribawi (pengambilan keuntungan dengan mengenakan bunga).Sebagian kalangan pelaku bank syariah menyangsikan kartu kredit syariah tersebut. Karena, dimungkinkan akan mendorong masyarakat nasabah bank syariah terjebak pada budaya konsumerisme, seperti yang terjadi pada bank konvensional. Dikhawatirkan, nantinya, nasabah bank syariah terlena dengan kemudahan fasilitas yang diberikan dalam hal berbelanja tanpa berhitung pada kebutuhan yang sebenarnya. Seperti yang pernah terjadi, penerbitan kartu kredit syariah berpotensi menciptakan dan menyebabkan peningkatan pada rasio pembiayaan bermasalah (NPF).
Dimungkinkan menurunkan citra positif bank syariah yang selama ini memiliki pembiayaan bermasalah yang masih dibawah 5% (yang berkategori bagus).Melihat pengalaman yang pernah terjadi pada bank konvensional, dari seluruh kartu kredit yang tersebar, 70% di antaranya merupakan kartu kredit yang bermasalah. Tidak sedikit dari pemegang kartu kredit mengalami keterlambatan pembayaran atas tagihan. Akhirnya, mereka harus menanggung beban denda bunga kredit yang cukup tinggi. Semakin lama beban tagihan dan beban bunga akan semakin membengkak jika tidak segera dilunasi.
Penambahan beban bunga yang semakin besar dapat mengakibatkan ketidakmampuan nasabah pemegang kartu kredit untuk melunasi tagihannya.Untuk mengatasi permasalahan yang muncul akibat minimnya pencegahan dalam bertransaksi secara berlebih, bank syariah sebagai penerbit kartu kredit syariah, harus mampu melakukan pencegahan atau pun membatasi nafsu berbelanja nasabah dengan memberikan batasan maksimal dalam belanja, disesuaikan dengan besarnya gaji/pendapatan nasabah. Bank syariah pun harus selektif di dalam memberikan kartu kreditnya kepada nasabah, sebagai tindakan kehati-hatian.
Nasabah yang berhak mendapatkan kartu kredit syariah hanya mereka yang memiliki kemampuan secara finansial dan kejujuran. Menurut Ma’ruf Amin, Ketua DSN-MUI, untuk mencegah terjadinya budaya konsumerisme pada masyarakat pemegang kartu kredit syariah, dengan mewajibkan pemegang kartu untuk menitipkan sebagian dana mereka sebagai collateral cash di bank syariah penerbit kartu. Ditambah jumlah plafond pembiayaan pemegang kartu yang harus disesuaikan dengan besarnya jumlah pendapatan yang dimiliki (Republika, 1 Febuari 2007).Sesuai dengan usulan sebagian anggota DSN, besarnya collateral cash dapat ditentukan dengan kisaran nilai sebesar 20% dari plafond kartu kredit.
Nilai collateral cash ini diyakini cukup efektif untuk mengendalikan perilaku konsumtif. Atas usulan ini, Harisman, mantan Direktur Direktorat Perbankan Syariah-BI, menyambut baik. Menurut Harisman, saat ini meski tidak sebesar 20%, namun Bank Indonesia tetap menganjurkan ada deposit dari sisi pemakai kartu kredit. Kendati begitu, hal itu tidak sepenuhnya dapat diyakini mampu mencegah perilaku konsumtif masyarakat. Pada praktiknya nanti, beredarnya kartu kredit syariah tidak akan berbeda dengan kartu kredit konvensional. Proses transaksi yang dilakukan pemegang kartu dengan merchant pun tidak berbeda. Kecuali bank syariah, sebagai pihak penerbit, segera menutup transaksi yang melebihi batas maksimal dari besarnya plafond yang dimiliki pihak pemegang kartu. Di sisi lain, kondisi ini akan dihadapkan pada persoalan ketertarikan nasabah sebagai konsumen terhadap kartu kredit syariah.
Permasalahan timbul dengan persaingan yang akan dihadapi bank syariah pada bank konvensional yang memberikan kemudahan syarat-syarat dan kebebasan transaksi.Terlepas dari bagaimana penerapannya dan seperti apa ketentuan yang diterapkan, setelah beberapa bulan difatwakan, kartu kredit syariah belum juga beredar di pasaran. Respon dari bank syariahpun masih timbul tenggelam. Baru Danamon Syariah yang menyatakan siap meluncurkan kartu kredit syariah.
Tahap awal penertiban, menurut direktur usaha syariah, Hendarin Sukarmadji, mentargetkan 15-20 ribu kartu. Bahkan, Bank Muamalat Indonesia melalui direkturnya, U. Syaifuddin Noer, menyatakan tidak akan menerbitkan kartu kredit syariah, karena, dianggap akan menjadikan masyarakat lebih konsumtif. Penerbitan fatwa kartu kredit syariah seharusnya tidak hanya didasarkan atas halal atau tidaknya dari sisi syariah, tetapi, juga harus memperhatikan bagaimana manfaat dan kegunaannya serta efek sosialnya bagi masyarakat. Jadi, bagi masyarakat nasabah bank syariah, selain diarahkan untuk berperilaku ekonomi secara syariah, harus juga dididik menentukan skala prioritas yang menjadi kebutuhan mendasar bagi kelayakan kehiidupannya.
Jika dirasakan kartu kredit syariah bukan merupakan kebutuhan yang cukup mendesak dan penting, tentunya tidak harus diupayakan secara maksimal dalam pengembangannya.Penempatan masalah dari kartu kredit syariah ini dapat dipilah-pilah dan ditentukan sebagai produk bank syariah sesuai dengan tingkat kebutuhan bank syariah terhadap kartu tersebut dan kebutuhan masyarakat dalam menggunakan kartu kredit syariah di setiap transaksi mereka.
Jika kartu kredit syariah hanya merupakan kebutuhan pelengkap dan tidak urgent sebagai alat transaksi atau, bahkan, akan menimbulkan mudharat, lebih baik produk operasional bank syariah yang menggunakan kartu hanya pada kartu debit atau kartu lain yanng tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Wallahua’lam bi shawab.
International Islamic Capital Market Forum
Tempat : Kuala LumpurTanggal :
27 Maret 2008
Resume International Islamic Capital Market ForumProduct Innovation - Islamic ETF and Commodity MurabahahSecurities Commission, Kuala Lumpur 27 March 2008
8.30 a.m. Registration
9.15 a.m. Welcome RemarksYBhg Dato’ Zarinah Anwar, Chairman, Securities Commission Malaysia
9.30 a.m. Keynote AddressYB Tan Sri Nor Mohamed Yakcop, Minister of Finance II
10.00 a.m. Special AddressStructuring Sukuk In Light of AAOIFI Dr. Hussein A. Hassan, Deutsche Bank AG, UAE
10.30 a.m. Coffee Break
11.00 a.m. Understanding ETFZainal Izlan Zainal Abidin, CEO, i-VCAP
11.30 a.m. Shariah Issues in Islamic ETFDr. Aznan Hasan, Shariah Advisory Council, Bursa MalaysiaDr. Mohamed Ali Elgari, Shariah Scholar, Saudi Arabia
12.30 p.m. Lunch
2.00 p.m. Commodity Murabahah – Practices in Different Jurisdictions* Saudi Arabia, Dr. Abdullah Amuajel, Al Rajhi Bank** Pakistan, Dr. Imran Usmani, Shariah Scholar* Malaysia, Dr. Aznan Hasan, Shariah Advisory Council, Bursa Malaysia
3.00 p.m. Panel DiscussionChairman* YM Tengku Dato Hasmuddin Osman, Hisham Sobri Kadir & AssociatesPanelists* Dr. Mohamed Ali Elgari, Shariah Scholar, Saudi Arabia* Dr. Imran Usmani, Shariah Scholar, Pakistan* Abdulkader Thomas, SHAPE Financial Corp, USA and Kuwait* Dr. Mohd Daud Bakar, Shariah Advisory Council, Securities Commission* Dr. Abdullah Amuajel, Al Rajhi Bank, Saudi Arabia*4.15 p.m. Tea BreakEnd
27 Maret 2008
Resume International Islamic Capital Market ForumProduct Innovation - Islamic ETF and Commodity MurabahahSecurities Commission, Kuala Lumpur 27 March 2008
8.30 a.m. Registration
9.15 a.m. Welcome RemarksYBhg Dato’ Zarinah Anwar, Chairman, Securities Commission Malaysia
9.30 a.m. Keynote AddressYB Tan Sri Nor Mohamed Yakcop, Minister of Finance II
10.00 a.m. Special AddressStructuring Sukuk In Light of AAOIFI Dr. Hussein A. Hassan, Deutsche Bank AG, UAE
10.30 a.m. Coffee Break
11.00 a.m. Understanding ETFZainal Izlan Zainal Abidin, CEO, i-VCAP
11.30 a.m. Shariah Issues in Islamic ETFDr. Aznan Hasan, Shariah Advisory Council, Bursa MalaysiaDr. Mohamed Ali Elgari, Shariah Scholar, Saudi Arabia
12.30 p.m. Lunch
2.00 p.m. Commodity Murabahah – Practices in Different Jurisdictions* Saudi Arabia, Dr. Abdullah Amuajel, Al Rajhi Bank** Pakistan, Dr. Imran Usmani, Shariah Scholar* Malaysia, Dr. Aznan Hasan, Shariah Advisory Council, Bursa Malaysia
3.00 p.m. Panel DiscussionChairman* YM Tengku Dato Hasmuddin Osman, Hisham Sobri Kadir & AssociatesPanelists* Dr. Mohamed Ali Elgari, Shariah Scholar, Saudi Arabia* Dr. Imran Usmani, Shariah Scholar, Pakistan* Abdulkader Thomas, SHAPE Financial Corp, USA and Kuwait* Dr. Mohd Daud Bakar, Shariah Advisory Council, Securities Commission* Dr. Abdullah Amuajel, Al Rajhi Bank, Saudi Arabia*4.15 p.m. Tea BreakEnd
Obligasi Syariah
Oleh:Ach. Bakhrul Muchtasib
Dalam perdagangan obligasi syariah tidak boleh diterapkan harga diskon atau harga premium yang lazim dilakukan oleh obligasi konvensional. Prinsip transaksi obligasi syariah adalah transfer service atau pengalihan piutang dengan tanggungan bagi hasil, sehingga jual beli obligasi syariah hanya boleh pada harga nominal pelunasan jatuh tempo obligasi.Merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional – Majlis Ulama Indonesia, Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.Penerapan obligasi syariah menggunakan akad antara lain; akad musyarakah, mudharabah, murabahah, salam, istisna, dan ijarah. Emiten adalah mudharib sedang pemegang obligasi adalah shahibul mal (investor). Bagi emiten tidak diperbolehkan melakukan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Untuk menerbitkan obligasi syariah, harus memenuhi beberapa persyaratan: Pertama, aktivitas utama (core business) yang halal, sesuai yang telah digariskan oleh DSN-MUI, yaitu (i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat. Kedua, peringkat investment grade: (i) memiliki fundamental usaha yang kuat; (ii) memiliki fundamental keuangan yang kuat; (iii) memiliki citra yang baik bagi publik.Untuk menghindarkan bentuk pendanaan (financing) dan investasi (investment) yang berkenaan dengan riba, obligasi syariah dapat memberikan:a. Prinsip bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah. Karena akad mudharabah/musyarakah merupakan bentuk kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected return karena sifatnya floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.b. Prinsip margin/fee berdasarkan akad murabahah atau salam atau istisna atau ijarah. Dengan akad-akad tersebut sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return. Di Indonesia penerbitan obligasi syariah umumnya menggunakan akad mudharabah. Prinsip-prinsip pokok dalam mekanisme penerbitan obligasi syariah dapat di lihat pada hal-hal sebagai berikut:1. Kontrak atau akad mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan.2. Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT, atau EBITDA).3. Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.4. Pendapatan bagi hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten pada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten. 5. Pembagian hasil pendapatan ini keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan).6. Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.Landasan Dasar Obligasi Syariah1. Firman Allah Swt:Al-Baqarah ayat 275 “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba...” Al-Mujamil ayat 20“Dan sebagian mereka berjalan di muka bumi mencari karunia Allah”2. Sabda Nabi Muhammad Saw:“Abu Rafi’i r.a., meriwayatkan bahwasannya Nabi Muhammad Saw pernah meminjam seekor unta betina yang masih kecil dari seorang sahabat. Lalu (kata Abu Rafi’i) aku sampakan kepadanya tentang waktu pembayaran hutangnya. Dan Rasulullah pun memerintahkan Abu Rafi’i untuk segera membayarkan hutang Nabi itu unta yang sepadan dengan yang dipinjamnya. Abu Rafi’i mengatakan: aku tidak menemukan unta kecuali untuk yang cukup besar dan sangat bagus. Maka Rasulullah Saw bersabda: berikanlah unta yang bagus itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik membayar hutangnya”. (HR. Imam Muslim)“Tiga bentuk usaha yang di dalamnya mengandung barakah: yaitu jual-beli secara tangguh, mudharabah/kerja sama dalam bagi hasil dan mencampur gandum dengan kedelai (hasil keringat sendiri) untuk kepentingan keluarga bukan untuk di jual. (HR. Ibnu Majah)Abi Darda r.a., “Sungguh jika aku dipinjami dua dinar emas, lalu dibayarkan kembali (kepadaku). Kemudian aku meminjam lagi (kepada orang lain) niscaya aku lebih mencintai meminjamkannya dari pada aku mensedekahkannya. Karena meminjamkan itu dapat memberi kemudahan kepada saudara semuslim serta dapat memenuhi/menolong kebutuhannya. Meminjamkan itu sunnah seperti sedekah, namun ia tidak wajib”.3. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No: 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Obligasi Syariah.Perbedaan Obligasi Syariah dan Obligasi KonvensionalSecara prinsipil perbedaaan antara obligasi syariah dan obligasi konvensional seperti halnya bisnis syariah lainnya, dimana prinsip-prinsip syariah menjadi acuan dasar yang harus diikuti. Diantaranya perbedaan tersebut dapat diketahui; pertama, dari sisi orientasi, obligasi konvensional hanya memperhitungkan keuntungannya semata. Tidak demikian bagi obligasi syariah, disamping memperhatikan keuntungan, obligasi syariah harus memperhatikan pula sisi halal-haram, artinya disetiap investasi yang ditanamkan dalam obligasi harus pada produk-produk yang sesuai dengan prinsip syariah. Kedua, obligasi konvensional, keuntungannya di dapat dari besaran bunga yang ditetapkan, sedangkan obligasi syariah keuntungan akan diterima dari besarnya margin/fee yang ditetapkan ataupun dengan sistem bagi hasil yang didasarkan atas asset dan produksi.Ketiga, obligasi syariah disetiap transaksinya ditetapkan berdasarkan akad. Diantaranya adalah akad mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istisna dan ijarah. Dana yang dihimpun tidak dapat diinvestasikan ke pasar uang dan atau spekulasi di lantai bursa. Sedangkan untuk obligasi konvensional tidak terdapat akad di setiap transaksinya. Secara jelas aturan bagi investasi ke dalam bentuk obligasi syariah tidak dibenarkan kepada transaksi yang dilarang, baik investasi tersebut pada barang yang bersifat subhat ataupun makruh. Tidak dibenarkan jika bentuk investasi tersebut pada perusahaan yang telah memproduksi barang-barang yang dilarang, misalnya, perusahaan yang memproduksi minuman keras, atau perusahaan yang memproduksi rokok yang dimakruhkan.
Wallahua’lam bishawab!
Dalam perdagangan obligasi syariah tidak boleh diterapkan harga diskon atau harga premium yang lazim dilakukan oleh obligasi konvensional. Prinsip transaksi obligasi syariah adalah transfer service atau pengalihan piutang dengan tanggungan bagi hasil, sehingga jual beli obligasi syariah hanya boleh pada harga nominal pelunasan jatuh tempo obligasi.Merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional – Majlis Ulama Indonesia, Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.Penerapan obligasi syariah menggunakan akad antara lain; akad musyarakah, mudharabah, murabahah, salam, istisna, dan ijarah. Emiten adalah mudharib sedang pemegang obligasi adalah shahibul mal (investor). Bagi emiten tidak diperbolehkan melakukan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Untuk menerbitkan obligasi syariah, harus memenuhi beberapa persyaratan: Pertama, aktivitas utama (core business) yang halal, sesuai yang telah digariskan oleh DSN-MUI, yaitu (i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; (iv) usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat. Kedua, peringkat investment grade: (i) memiliki fundamental usaha yang kuat; (ii) memiliki fundamental keuangan yang kuat; (iii) memiliki citra yang baik bagi publik.Untuk menghindarkan bentuk pendanaan (financing) dan investasi (investment) yang berkenaan dengan riba, obligasi syariah dapat memberikan:a. Prinsip bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah. Karena akad mudharabah/musyarakah merupakan bentuk kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected return karena sifatnya floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.b. Prinsip margin/fee berdasarkan akad murabahah atau salam atau istisna atau ijarah. Dengan akad-akad tersebut sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return. Di Indonesia penerbitan obligasi syariah umumnya menggunakan akad mudharabah. Prinsip-prinsip pokok dalam mekanisme penerbitan obligasi syariah dapat di lihat pada hal-hal sebagai berikut:1. Kontrak atau akad mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan.2. Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT, atau EBITDA).3. Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.4. Pendapatan bagi hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten pada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten. 5. Pembagian hasil pendapatan ini keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan).6. Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.Landasan Dasar Obligasi Syariah1. Firman Allah Swt:Al-Baqarah ayat 275 “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba...” Al-Mujamil ayat 20“Dan sebagian mereka berjalan di muka bumi mencari karunia Allah”2. Sabda Nabi Muhammad Saw:“Abu Rafi’i r.a., meriwayatkan bahwasannya Nabi Muhammad Saw pernah meminjam seekor unta betina yang masih kecil dari seorang sahabat. Lalu (kata Abu Rafi’i) aku sampakan kepadanya tentang waktu pembayaran hutangnya. Dan Rasulullah pun memerintahkan Abu Rafi’i untuk segera membayarkan hutang Nabi itu unta yang sepadan dengan yang dipinjamnya. Abu Rafi’i mengatakan: aku tidak menemukan unta kecuali untuk yang cukup besar dan sangat bagus. Maka Rasulullah Saw bersabda: berikanlah unta yang bagus itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik membayar hutangnya”. (HR. Imam Muslim)“Tiga bentuk usaha yang di dalamnya mengandung barakah: yaitu jual-beli secara tangguh, mudharabah/kerja sama dalam bagi hasil dan mencampur gandum dengan kedelai (hasil keringat sendiri) untuk kepentingan keluarga bukan untuk di jual. (HR. Ibnu Majah)Abi Darda r.a., “Sungguh jika aku dipinjami dua dinar emas, lalu dibayarkan kembali (kepadaku). Kemudian aku meminjam lagi (kepada orang lain) niscaya aku lebih mencintai meminjamkannya dari pada aku mensedekahkannya. Karena meminjamkan itu dapat memberi kemudahan kepada saudara semuslim serta dapat memenuhi/menolong kebutuhannya. Meminjamkan itu sunnah seperti sedekah, namun ia tidak wajib”.3. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No: 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Obligasi Syariah.Perbedaan Obligasi Syariah dan Obligasi KonvensionalSecara prinsipil perbedaaan antara obligasi syariah dan obligasi konvensional seperti halnya bisnis syariah lainnya, dimana prinsip-prinsip syariah menjadi acuan dasar yang harus diikuti. Diantaranya perbedaan tersebut dapat diketahui; pertama, dari sisi orientasi, obligasi konvensional hanya memperhitungkan keuntungannya semata. Tidak demikian bagi obligasi syariah, disamping memperhatikan keuntungan, obligasi syariah harus memperhatikan pula sisi halal-haram, artinya disetiap investasi yang ditanamkan dalam obligasi harus pada produk-produk yang sesuai dengan prinsip syariah. Kedua, obligasi konvensional, keuntungannya di dapat dari besaran bunga yang ditetapkan, sedangkan obligasi syariah keuntungan akan diterima dari besarnya margin/fee yang ditetapkan ataupun dengan sistem bagi hasil yang didasarkan atas asset dan produksi.Ketiga, obligasi syariah disetiap transaksinya ditetapkan berdasarkan akad. Diantaranya adalah akad mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istisna dan ijarah. Dana yang dihimpun tidak dapat diinvestasikan ke pasar uang dan atau spekulasi di lantai bursa. Sedangkan untuk obligasi konvensional tidak terdapat akad di setiap transaksinya. Secara jelas aturan bagi investasi ke dalam bentuk obligasi syariah tidak dibenarkan kepada transaksi yang dilarang, baik investasi tersebut pada barang yang bersifat subhat ataupun makruh. Tidak dibenarkan jika bentuk investasi tersebut pada perusahaan yang telah memproduksi barang-barang yang dilarang, misalnya, perusahaan yang memproduksi minuman keras, atau perusahaan yang memproduksi rokok yang dimakruhkan.
Wallahua’lam bishawab!
Obligasi Syariah
Sesungguhnya, sukuk / obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk yang memiliki arti yang sama dengan sertifikat atau note. Ia dipergunakan oleh para pedagang pada masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya. Namun demikian, sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, yang saat ini telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan kontemporer.
Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA – Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan Global Corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.
Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.
Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Inilah salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah kontemporer.
Pengertian
Obligasi adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran.
Ketentuan lain dapat juga dicantumkan dalam obligasi tersebut seperti misalnya identitas pemegang obligasi, pembatasan-pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh penerbit. Obligasi pada umumnya diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap diatas 10 tahun. Misalnya saja pada Obligasi pemerintah Amerika yang disebut “U.S. Treasury securities” diterbitkan untuk masa jatuh tempo 10 tahun atau lebih. Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun disebut “surat utang” dan utang dibawah 1 tahun disebut “Surat Perbendaharaan. Di Indonesia, Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun yang diterbitkan oleh pemerintah yang disebut dengan Surat Utang Negara (SUN) dan utang dibawah 1 tahun yang diterbitkan pemerintah disebut Surat Perbendaharan Negara (SPN)
Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak ada konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instruments) ini keluar dari daftar investasi halal. Karena itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan obligasi syariah. Sebenarnya obligasi yang tidak dibenarkan itu adalah obligasi yang bersifat utang dengan kewajiban membayar bunga (sistem riba).
Di dalam Islam, istilah obligasi lebih dikenal dengan istilah sukuk. Merujuk kepada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, “Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”.
Untuk menerbitkan obligasi syariah, beberapa persyaratan harus dipenuhi, yakni aktivitas utama (core business) yang halal, dan tidak bertentangan dengan substansi fatwa DSN.
Ketentuan Obligasi Syariah
Ketentuan Umum:
Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga;
Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah
Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Ketentuan Khusus
Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:
Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh
Musyarakah
Murabahah
Salam
Istishna
Ijarah
Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memper-hatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;
Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.
Skema Bagi Hasil
Obligasi Konvensional
Pendapatan atau imbal hasil atau return yang akan diperoleh dari investasi obligasi dinyatakan sebagai yield, yaitu hasil yang akan diperoleh investor apabila menempatkan dananya untuk dibelikan obligasi. Sebelum memutuskan untuk berinvestasi obligasi, investor harus mempertimbangkan besarnya yield obligasi, sebagai faktor pengukur tingkat pengembalian tahunan yang akan diterima.
Ada 2 (dua) istilah dalam penentuan yield yaitu current yield dan yield to maturity.
Currrent yield adalah yield yang dihitung berdasarkan jumlah kupon yang diterima selama satu tahun terhadap harga obligasi tersebut.
Current yield = bunga tahunan
harga obligasi
Contoh:
Jika obligasi PT XYZ memberikan kupon kepada pemegangnya sebesar 17% per tahun sedangkan harga obligasi tersebut adalah 98% untuk nilai nominal Rp 1.000.000.000, maka:
Current Yield = Rp 170.000.000 atau 17%
Rp 980.000.000 98%
= 17.34%
Sementara itu yiled to maturity (YTM) adalah tingkat pengembalian atau pendapatan yang akan diperoleh investor apabila memiliki obligasi sampai jatuh tempo. Formula YTM yang seringkali digunakan oleh para pelaku adalah YTM approximation atau pendekatan nilai YTM, sebagai berikut:
YTM approximation = C + P – R
n x 100%
P + R
2
Keterangan:
C = kupon
n = periode waktu yang tersisa (tahun)
R = redemption value
P = harga pembelian (purchase value)
Contoh:
Obligasi XYZ dibeli pada 5 September 2003 dengan harga 94.25% memiliki kupon sebesar 16% dibayar setiap 3 bulan sekali dan jatuh tempo pada 12 juli 2007. Berapakah besar YTM approximationnya ?
C = 16%
n = 3 tahun 10 bulan 7 hari = 3.853 tahun
R = 94.25%
P = 100%
YTM approximation = 16 + 100 – 94.25
3.853
= 100 + 94.25
2
= 18.01 %
Obligasi Syariah
Melalui fatwanya, DSN sebenarnya mengkategorikan tiga jenis pemberian keuntungan kepada investor pemegang Obligasi Syariah. Yaitu, pertama adalah berupa bagi hasil kepada pemegang Obligasi Mudharabah atau Musyarakah. Kedua, keuntungan berupa margin bagi pemegang Obligasi Murabahah, Salam atau Istishna. Dan ketiga, berupa fee (sewa) dari aset yang disewakan untuk pemegang Obligasi dengan akad Ijarah. Pada prinsipnya, semua Obligasi Syariah adalah surat berharga bukti investasi jangka panjang yang berdasarakan prinsip syariah Islam. Namun yang membedakan adalah akad dan transaksinya.
Adapun transaksi sukuk yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
Obligasi Mudharabah
Dimana obligasi mudharabah memakai akad bagi hasil pada saat pendapatan emiten telah di ketahui dengan jelas. Penerapan mudharabah dalam obligasi cukup sederhana. Emiten bertindak selaku mudharib (pegelola dana) dan investor bertindak selaku shahibul mal, alias pemilik modal. Keuntungan yang diperoleh investor merupakan bagian proporsional keuntungan dari pengelolaan dana oleh investor. Menyikapi adanya indikasi bahwa terdapat kontradiksi antara mudharabah dan obligasi dalam definisi, serta masih adanya anggapan bahwa obligasi syariah mudharabah sejatinya tetaplah sebagai surat hutang, lebih lanjut, Hakim mengatakan bahwa transaksi mudharabah dalam konteks obligasi syariah mudaharabah ini adalah transaksi investment, bukan hutang piutang. Karena investment merupakan milik pemilik modal, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain. Prinsip inilah yang mendasari dibolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah.
Contoh:
Sebagai contoh Berlian Laju Tanker telah menerbitkan Obligasi Mudharabah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal kerja perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatakan di BES ini memperoleh keuntungan dari bagi hasil berdasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT Gardini atau kapal lain yang beroperasi untuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah setiap tahun sesuai pendapatan.
Obligasi Ijarah
Dimana obligasi ijarah memakai akad sewa menyewa sehingga kupon (fee ijarah) bersifat tetap, dan bisa diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan
Contoh:
Penerapan akad Ijarah secara praktis dapat kita lihat pada Matahari Departemen Store. Perusahaan ritel ini mengeluarkan Obligasi Ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah, dimana Matahari bertindak sebagai wakil untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi/investor). Ruang usaha yang disewa adalah Cilandak Town Square di Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan Matahari sesuai dengan akad wakalah, dimana atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa (fee ijarah) dan dana obligasi. Fee ijarah dibayarkan setiap tiga bulan, sedangkan dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi. Jangka waktu obligasi tersebut selama lima tahun.
Harga Obligasi
Konvensional
Berbeda dengan harga saham yang dinyatakan dalam bentuk mata uang, harga obligasi dinyatakan dalam persentase (%), yaitu persentase dari nilai nominal.
Ada 3 (tiga) kemungkinan harga pasar dari obligasi yang ditawarkan, yaitu:
Par (nilai Pari) : Harga Obligasi sama dengan nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50 juta dijual pada harga 100%, maka nilai obligasi tersebut adalah 100% x Rp 50 juta = Rp 50 juta.
at premium (dengan Premi) : Harga Obligasi lebih besar dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal RP 50 juta dijual dengan harga 102%, maka nilai obligasi adalah 102% x Rp 50 juta = Rp 51 juta
at discount (dengan Discount) : Harga Obligasi lebih kecil dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50 juta dijual dengan harga 98%, maka nilai dari obligasi adalah 98% x Rp 50 juta = Rp 49 juta.
Namun yang terpenting adalah, instrument bunga (interest instruments) sangat mempengaruhi permintaan obligasi. Semakin tinggi tingkat suku bunga, semakin sedikit orang (calon investor) membeli obligasi, tetapi semakin rendah suku bunga, maka semakin banyak orang (calon investor) yang akan berinvestasi dengan membeli obligasi.
Syariah
Obligasi syariah atau mudharabah bond ini dijual pada harga nominal pelunasan jatuh temponya (at maturity par value) di pasar perdana. Landasan syariah dari obligasi ini antara lain berdasarkan hadist Mudharabah yang diriwayatkan oleh Suhaib Ar Rumi (H.R. Ibnu Majah). Pada prinsipnya mudharib memiliki kewajiban finansial kepada shahibul maal, untuk mengembalikan pokok penyertaan ditambah bagi hasil dari keuntungan. Peluang mendapatkan bagi hasil inilah, oleh shahibul maal bisa dialihkan ke pihak lain melalui mekanisme al Hawalah (pengalihan piutang dengan tanggungan bagi hasil).
Mekanisme al Hawalah ini bisa menjadi dasar transaksi mudharabah bond di pasar sekunder. Landasan syariahnya antara lain H.R. Imam Bukhari dan Muslim: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu / kaya, maka terimalah hawalah itu.” Dalam kaitan ini mayoritas ulama sepakat membolehkan al Hawalah pada satu bentuk kewajiban finansial. Atas dasar landasan syariah al Hawalah, maka di pasar modal syariah tidak ada transaksi yang bisa dikategorikan jual beli murni setelah perdananya. Karena sebagian besar ulama telah mengharamkan Bai’ Al Dayn (the sale of payable right raises from transaction), yang berarti melarang untuk diperjualbelikan utang piutang secara tangguh. Yang bisa dilakukan oleh pemegang obligasi syariah (Shariah bonds holders) adalah meng-hawalah-kan syariah bonds-nya untuk mendapatkan dana segar sebesar maturity par value-nya, dengan melakukan perjanjian revenue sharing atas initial revenue sharing yang diperoleh dari penerbit syariah bonds.
Dengan demikian syariah bonds sebaiknya dikeluarkan atas nama, bukan atas unjuk. Pendekatan lain yang kini tengah dibahas oleh para ahli fiqih dan ahli keuangan syariah adalah membeli utang secara tunai (karena yang dilarang adalah membeli utang secara tangguh). Salah satu di antara skema yang tengah dikembangkan adalah lembaga keuangan tertentu menjual metal kepada bond holders dengan mempergunakan obligasi syariah itu sebagai proceednya. Harga yang disepakati sesuai dengan harga nominal (par value obligasi tersebut). Dalam transaksi ini tidak terjadi diskon atau mark down dari nilai obligasi karena hal ini bisa menjadi pintu belakan bagi riba nasi’ah. Lembaga keuangan mendapat keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual metal tersebut
sumber: Sesungguhnya, sukuk / obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk yang memiliki arti yang sama dengan sertifikat atau note. Ia dipergunakan oleh para pedagang pada masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya. Namun demikian, sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, yang saat ini telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan kontemporer.
Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA – Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan Global Corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.
Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.
Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Inilah salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah kontemporer.
dikutip dari : http://3kh4.wordpress.com/
Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA – Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan Global Corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.
Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.
Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Inilah salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah kontemporer.
Pengertian
Obligasi adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran.
Ketentuan lain dapat juga dicantumkan dalam obligasi tersebut seperti misalnya identitas pemegang obligasi, pembatasan-pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh penerbit. Obligasi pada umumnya diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap diatas 10 tahun. Misalnya saja pada Obligasi pemerintah Amerika yang disebut “U.S. Treasury securities” diterbitkan untuk masa jatuh tempo 10 tahun atau lebih. Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun disebut “surat utang” dan utang dibawah 1 tahun disebut “Surat Perbendaharaan. Di Indonesia, Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun yang diterbitkan oleh pemerintah yang disebut dengan Surat Utang Negara (SUN) dan utang dibawah 1 tahun yang diterbitkan pemerintah disebut Surat Perbendaharan Negara (SPN)
Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak ada konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instruments) ini keluar dari daftar investasi halal. Karena itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan obligasi syariah. Sebenarnya obligasi yang tidak dibenarkan itu adalah obligasi yang bersifat utang dengan kewajiban membayar bunga (sistem riba).
Di dalam Islam, istilah obligasi lebih dikenal dengan istilah sukuk. Merujuk kepada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, “Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”.
Untuk menerbitkan obligasi syariah, beberapa persyaratan harus dipenuhi, yakni aktivitas utama (core business) yang halal, dan tidak bertentangan dengan substansi fatwa DSN.
Ketentuan Obligasi Syariah
Ketentuan Umum:
Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga;
Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah
Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Ketentuan Khusus
Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:
Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh
Musyarakah
Murabahah
Salam
Istishna
Ijarah
Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memper-hatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;
Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.
Skema Bagi Hasil
Obligasi Konvensional
Pendapatan atau imbal hasil atau return yang akan diperoleh dari investasi obligasi dinyatakan sebagai yield, yaitu hasil yang akan diperoleh investor apabila menempatkan dananya untuk dibelikan obligasi. Sebelum memutuskan untuk berinvestasi obligasi, investor harus mempertimbangkan besarnya yield obligasi, sebagai faktor pengukur tingkat pengembalian tahunan yang akan diterima.
Ada 2 (dua) istilah dalam penentuan yield yaitu current yield dan yield to maturity.
Currrent yield adalah yield yang dihitung berdasarkan jumlah kupon yang diterima selama satu tahun terhadap harga obligasi tersebut.
Current yield = bunga tahunan
harga obligasi
Contoh:
Jika obligasi PT XYZ memberikan kupon kepada pemegangnya sebesar 17% per tahun sedangkan harga obligasi tersebut adalah 98% untuk nilai nominal Rp 1.000.000.000, maka:
Current Yield = Rp 170.000.000 atau 17%
Rp 980.000.000 98%
= 17.34%
Sementara itu yiled to maturity (YTM) adalah tingkat pengembalian atau pendapatan yang akan diperoleh investor apabila memiliki obligasi sampai jatuh tempo. Formula YTM yang seringkali digunakan oleh para pelaku adalah YTM approximation atau pendekatan nilai YTM, sebagai berikut:
YTM approximation = C + P – R
n x 100%
P + R
2
Keterangan:
C = kupon
n = periode waktu yang tersisa (tahun)
R = redemption value
P = harga pembelian (purchase value)
Contoh:
Obligasi XYZ dibeli pada 5 September 2003 dengan harga 94.25% memiliki kupon sebesar 16% dibayar setiap 3 bulan sekali dan jatuh tempo pada 12 juli 2007. Berapakah besar YTM approximationnya ?
C = 16%
n = 3 tahun 10 bulan 7 hari = 3.853 tahun
R = 94.25%
P = 100%
YTM approximation = 16 + 100 – 94.25
3.853
= 100 + 94.25
2
= 18.01 %
Obligasi Syariah
Melalui fatwanya, DSN sebenarnya mengkategorikan tiga jenis pemberian keuntungan kepada investor pemegang Obligasi Syariah. Yaitu, pertama adalah berupa bagi hasil kepada pemegang Obligasi Mudharabah atau Musyarakah. Kedua, keuntungan berupa margin bagi pemegang Obligasi Murabahah, Salam atau Istishna. Dan ketiga, berupa fee (sewa) dari aset yang disewakan untuk pemegang Obligasi dengan akad Ijarah. Pada prinsipnya, semua Obligasi Syariah adalah surat berharga bukti investasi jangka panjang yang berdasarakan prinsip syariah Islam. Namun yang membedakan adalah akad dan transaksinya.
Adapun transaksi sukuk yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
Obligasi Mudharabah
Dimana obligasi mudharabah memakai akad bagi hasil pada saat pendapatan emiten telah di ketahui dengan jelas. Penerapan mudharabah dalam obligasi cukup sederhana. Emiten bertindak selaku mudharib (pegelola dana) dan investor bertindak selaku shahibul mal, alias pemilik modal. Keuntungan yang diperoleh investor merupakan bagian proporsional keuntungan dari pengelolaan dana oleh investor. Menyikapi adanya indikasi bahwa terdapat kontradiksi antara mudharabah dan obligasi dalam definisi, serta masih adanya anggapan bahwa obligasi syariah mudharabah sejatinya tetaplah sebagai surat hutang, lebih lanjut, Hakim mengatakan bahwa transaksi mudharabah dalam konteks obligasi syariah mudaharabah ini adalah transaksi investment, bukan hutang piutang. Karena investment merupakan milik pemilik modal, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain. Prinsip inilah yang mendasari dibolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah.
Contoh:
Sebagai contoh Berlian Laju Tanker telah menerbitkan Obligasi Mudharabah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal kerja perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatakan di BES ini memperoleh keuntungan dari bagi hasil berdasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT Gardini atau kapal lain yang beroperasi untuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah setiap tahun sesuai pendapatan.
Obligasi Ijarah
Dimana obligasi ijarah memakai akad sewa menyewa sehingga kupon (fee ijarah) bersifat tetap, dan bisa diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan
Contoh:
Penerapan akad Ijarah secara praktis dapat kita lihat pada Matahari Departemen Store. Perusahaan ritel ini mengeluarkan Obligasi Ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah, dimana Matahari bertindak sebagai wakil untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi/investor). Ruang usaha yang disewa adalah Cilandak Town Square di Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan Matahari sesuai dengan akad wakalah, dimana atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa (fee ijarah) dan dana obligasi. Fee ijarah dibayarkan setiap tiga bulan, sedangkan dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi. Jangka waktu obligasi tersebut selama lima tahun.
Harga Obligasi
Konvensional
Berbeda dengan harga saham yang dinyatakan dalam bentuk mata uang, harga obligasi dinyatakan dalam persentase (%), yaitu persentase dari nilai nominal.
Ada 3 (tiga) kemungkinan harga pasar dari obligasi yang ditawarkan, yaitu:
Par (nilai Pari) : Harga Obligasi sama dengan nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50 juta dijual pada harga 100%, maka nilai obligasi tersebut adalah 100% x Rp 50 juta = Rp 50 juta.
at premium (dengan Premi) : Harga Obligasi lebih besar dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal RP 50 juta dijual dengan harga 102%, maka nilai obligasi adalah 102% x Rp 50 juta = Rp 51 juta
at discount (dengan Discount) : Harga Obligasi lebih kecil dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50 juta dijual dengan harga 98%, maka nilai dari obligasi adalah 98% x Rp 50 juta = Rp 49 juta.
Namun yang terpenting adalah, instrument bunga (interest instruments) sangat mempengaruhi permintaan obligasi. Semakin tinggi tingkat suku bunga, semakin sedikit orang (calon investor) membeli obligasi, tetapi semakin rendah suku bunga, maka semakin banyak orang (calon investor) yang akan berinvestasi dengan membeli obligasi.
Syariah
Obligasi syariah atau mudharabah bond ini dijual pada harga nominal pelunasan jatuh temponya (at maturity par value) di pasar perdana. Landasan syariah dari obligasi ini antara lain berdasarkan hadist Mudharabah yang diriwayatkan oleh Suhaib Ar Rumi (H.R. Ibnu Majah). Pada prinsipnya mudharib memiliki kewajiban finansial kepada shahibul maal, untuk mengembalikan pokok penyertaan ditambah bagi hasil dari keuntungan. Peluang mendapatkan bagi hasil inilah, oleh shahibul maal bisa dialihkan ke pihak lain melalui mekanisme al Hawalah (pengalihan piutang dengan tanggungan bagi hasil).
Mekanisme al Hawalah ini bisa menjadi dasar transaksi mudharabah bond di pasar sekunder. Landasan syariahnya antara lain H.R. Imam Bukhari dan Muslim: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu / kaya, maka terimalah hawalah itu.” Dalam kaitan ini mayoritas ulama sepakat membolehkan al Hawalah pada satu bentuk kewajiban finansial. Atas dasar landasan syariah al Hawalah, maka di pasar modal syariah tidak ada transaksi yang bisa dikategorikan jual beli murni setelah perdananya. Karena sebagian besar ulama telah mengharamkan Bai’ Al Dayn (the sale of payable right raises from transaction), yang berarti melarang untuk diperjualbelikan utang piutang secara tangguh. Yang bisa dilakukan oleh pemegang obligasi syariah (Shariah bonds holders) adalah meng-hawalah-kan syariah bonds-nya untuk mendapatkan dana segar sebesar maturity par value-nya, dengan melakukan perjanjian revenue sharing atas initial revenue sharing yang diperoleh dari penerbit syariah bonds.
Dengan demikian syariah bonds sebaiknya dikeluarkan atas nama, bukan atas unjuk. Pendekatan lain yang kini tengah dibahas oleh para ahli fiqih dan ahli keuangan syariah adalah membeli utang secara tunai (karena yang dilarang adalah membeli utang secara tangguh). Salah satu di antara skema yang tengah dikembangkan adalah lembaga keuangan tertentu menjual metal kepada bond holders dengan mempergunakan obligasi syariah itu sebagai proceednya. Harga yang disepakati sesuai dengan harga nominal (par value obligasi tersebut). Dalam transaksi ini tidak terjadi diskon atau mark down dari nilai obligasi karena hal ini bisa menjadi pintu belakan bagi riba nasi’ah. Lembaga keuangan mendapat keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual metal tersebut
sumber: Sesungguhnya, sukuk / obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk yang memiliki arti yang sama dengan sertifikat atau note. Ia dipergunakan oleh para pedagang pada masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya. Namun demikian, sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, yang saat ini telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan kontemporer.
Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA – Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan Global Corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.
Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.
Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Inilah salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah kontemporer.
dikutip dari : http://3kh4.wordpress.com/
Jumat, 27 Juni 2008
Implementasi ekonomi syariah mewujudkan islam Kaffa
Oleh : Drs.Agustianto,
MAMuballigh dan Sekjend DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)
Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna ( syumul ). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al- Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain, ( QS. 5:3, 6:38, 16:89).
Al-Maidah ayat 3 :الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Al-An’am ayat 38 :مَّافَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَىْءٍ
An-Nahl ayat 89 :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَKesempurnaan Islam itu tidak saja diakui oleh intelektual muslim, tetapi juga para orientalist barat, di antaranya H.A.R Gibb yang mengatakan, “ Islam is much more than a system of theology it’s a complete civilization.”Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Albaqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/malasah ekonomi).Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits ia juga menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan.
عليكم بالتجارة فان فيها تسعة اعشار الرزق( رواه احمد)
“ Hendaklah kamu kuasai bisnis, karena 90 % pintu rezeki ada dalam bisnis”. (H.R.Ahmad)
ان أطيب الكسب كسب التجار
”Sesungguhnya sebaik-baik usaha/profesi adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi) (Sumber Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 2, tp, tt, hlm 86.)
Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan kitab Islam membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’i salam,istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya. Selain dalam kitab-kitab fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi Islam yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah.
Hadirin, Jamaah Jumat yang dirahmati AllahProf. Dr. Muhammad N. Ash-Shiddiqy, dalam buku “Muslim Economic Thinking” meneliti 700 judul buku yang membahas ekonomi Islam. (London, Islamic Fountaion, 1976)Dr. Javed Ahmad Khan dalam buku Islamic Economics & Finance : A Bibliografy, (London, Mansell Publisihing Ltd) , 1995 mengutip 1621 tulisan tentang Ekonomi Islam,Seluruh kitab fikih Islam membahas masalah muamalah, contoh : Al-Umm (Imam Syafi’i), Majmu’ Syarah Muhazzab (Imam Nawawi), Majmu Fatawa (Ibnu Taimiyah). Sekitar 1/3 isi kitab tersebut berisi tentang kajian muamalah. Oleh karena itulah maka Prof. Dr.Umer Ibrahim Vadillo (intelektual asal Scotlandia) pernah menyatakan dalam ceramahnya di Program Pascasarjana IAIN Medan, bahwa 1/3 ajaran Islam tentang muamalah.Materi kajian ekonomi Islam pada masa klasik Islam itu cukup maju dan berkembang. Prof. Dr. M.M. Shiddiqi dalam hal ini menuturkan :“Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan/Supply and demand, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, industri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya.”(Shiddiqy, Muhammad Nejatullah, Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature, dalam buku Studies in Islamic Economics, International Centre for Research in Islamic Economics King Abdul Aziz Jeddah and The Islamic Foundation, United Kingdom, 1976, hlm. 261.)Boulakia bahkan menyatakan bahwa Ibnu Khaldun jauh mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Robert Malthus.(Bahasa Inggris ini tidak dibacakan dalam khutbah, cukup arti atau maknanya saja).Ibnu Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered the virtue and the necessity of a division of labour before Smith and the principle of labour value before Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on the role of the state in the economy before Keyneys. But much more than that, Ibnu Khaldun used these concepts to build a coherent dinamics system in which the economic mechanism inexorably led economic activity to long term fluctuation…..[1]. (Sumber Boulakia, Jean David C., “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist” – Journal of Political Economiy 79 (5) September –October 1971: 1105-1118
(Artinya, “Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang…:”)
Demikian gambaran maju dan berkembangnya ekonomi Islam di masa lampau.Tetapi sangat disayangkan, dalam waktu yang relatif panjang yaitu sekitar 7 abad ( sejak abad 13 s/d pertengahan abad 20 ), ajaran –ajaran Islam tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan kaum muslimin. Akibatnya ekonomi Islam terbenam dalam limbo sejarah dan mengalami kebekuan ( stagnasi ). Dampak selanjutnya, ummat Islam tertinggal dan terpuruk dalam bidang ekonomi. Dalam kondisi yang demikian, masuklah kolonialisme barat mendesakkan dan mengajarkan doktrrin-doktrin ekonomi ribawi (kapitalisme), khususnya sejak abad 18 sd abad 20. Proses ini berlangsung lama, sehingga paradigma dan sibghah ummat Islam menjadi terbiasa dengan sistem kapitalisme dan malah sistem, konsep dan teori-teori itu menjadi berkarat dalam pemikiran ummat Islam. Maka sebagai konsekuensinya, ketika ajaran ekonomi Islam kembali mau ditawarkan kepada ummat Islam, mereka melakukan penolakan, karena dalam pikirannya telah mengkristal pemikiran ekonomi ribawi, pemikiran ekonomi kapitalisme. Padahal ekonomi syari’ah adalah ajaran Islam yang harus diikuti dan diamalkan, sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam Al-QuranFirman Allah tersebut terdapat dalama surah Al-Jatsiyah ayat 18 :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ
”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syriah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”
Sikap ummat Islam (utamanya para ulama dan intelektual muslim) yang mengabaikan kajian-kajian muamalah sangat disesalkan oleh ulama (para ekonom muslim). Prof. Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi mengatakan dalam buku ”Muslim Economic Thinking”, sebagai berikut
“The ascendancy of the Islamic civilization and its dominance of the world scene for a thousand years could not have been unaccompanied by economic ideas as such. From Abu Yusuf in the second century to Tusi and Waliullah we get a contiunity of serious discussion on taxation, government expenditure, home economics, money and exchange, division of labour, monopoly, price control, etc, Unfortunelly no serious attention has been paid to this heritage by centres of academic research in economics. (Muslim Economic Thingking, Islamic Fondation United Kingdom, 1976, p 264)Artinya, “Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide (pemikiran) ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah kita memiliki kesinambungan dari serentetan pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja , monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh yang diberikan atas khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi”.Kaum Muslimin Sidang Jumat yang dirahmati Allah
Memasuki Islam Secara KaffahDari paparan di atas jelaslah bahwa Islam memiliki ajaran ekonomi Islam yang luar biasa banyaknya. Sebagai konsekuensinya, kita harus mengamalkan ajaran ekonomi Islam tersebut agar keIslaman kita menjadi kaffah, tidak sepotong-potong. Allah SWT secara tegas memerintahkan agar kita memasuki Islam secara kaffah ( menyeluruh ).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينُُ
“ Hai orang – orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam kaffah, dan jangan kamu ikuti langkah – langkah setan, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. ( QQ. 2 : 208 ).
Dalam ayat lain Allah berfirman ,
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ
“Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab dan kafir kepada sebagian yang lain”.( QS 2 :85 ). Kedua ayat di atas mewajibkan kaum muslimin supaya masuk ke dalam Islam secara utuh dan menyeluruh.Namun, sangat disesalkan, tidak sedikit kaum muslimin yang telah terperosok kepada Islam persial ( separoh – separoh ). Betul, dalam bidang ibadah, kematian dan akad perkawinan, umat Islam mengikuti ajaran Islam, tapi dalam bidang dan aktivitas ekonomi, banyak sekali umat Islam mengabaikan ajaran ekonomi syari’ah dan bergumul dengan sistem ekonomi ribawi. Dana umat Islam, seperti ONH atau tabungannya, uang mesjid, uang Perguruan Tinggi Islam, dana organisasi Islam, uang perusahaan yang dimiliki kaum muslimin, dan dana masyarakat Islam secara luas, te diputar dan dibisniskan secara ribawi melalui bank dan lembaga keuangan yang bukan sesuai dengan prinsip syari’ah Islam.
Hadirin Jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Kebangkitan Kembali Ekonomi IslamBaru tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga – lembaga keuangan syariah.Sekarang di dunia telah berkembang lebih dari 400an lembaga keuangan dan perbankan yang tersebar di 75 Negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan aset – aset bank mencatat jumlah fantastis 15 % setahun. Kinerja bank – bank Islam cukup tangguh dengan hasil keuntungannya di atas perbankan konvensional. Salah satu bank terbesar di AS, City Bank telah membuka unit syariah dan menurut laporan keuangan terakhir pendapatan terbesar City Bank berasal dari unit syariah. Demikian pula ABN Amro yang terpusat di Belanda dan merupakan bank terbesar di Eropa dan HSBC yanag berpusat di Hongkong serta ANZ Australia, lembaga-lembaga tsb telah membuka unit-unit syariah.Dalam bentuk kajian akademis, banyak Perguruan Tinggi di Barat dan di Timur Tengah yang mengembangkan kajian ekonomi Islam,di antaranya, Universitas Loughborough Universitas Wales, Universitas Lampeter di Inggris. yang semuanya juga di Inggris. Demikian pula Harvard School of Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong Australia, serta lembaga populer di Amerika Serikat, antara lain Islamic Society of north America (ISNA). Kini Harvard University sebagai universitas paling terkemuka di dunia, setiap tahun menyelenggrakan Harvard University Forum yang membahas tentang ekonomi Islam.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullahDi Indonesia, bank Islam baru hadir pada tahun 1992, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Sampai tahun 1998, Bank Mualamat masih menjadi pemain tunggal dalam belantika perbankan syari’ah di Indonesia, ditambah 78 BPR Syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank konvensional yang saat itu berjumlah 240 mengalami negative spread yang berakibat pada likuidas, kecuali babk Islam.Pada November 1997, 16 bank ditutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah bank masuk kategori BTO dalam pengawasan BPPN. Tetapi kondisi itu berbeda dengan perbankan syari`ah. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpa¬nan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.Sedangkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah (BLBI) 700an triliun rupiah yang sampai hari ini bermasalah. Kalau tidak ada BLBI dan rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi dari pemerintah, niscaya semua bank tewas dilikuidasi.Pada masa krisis moneter berlangsung, hampir seluruh bank melak¬ukan kebijakan uang ketat. Kucuran kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak kondusif, di mana suku bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya. Berbeda dengan bank konvensional yang mengetatkan kucuran kred¬it, bank syari`ah malah sebaliknya, yaitu dengan mengekstensifkan kucuran pembiyaannya, baik kepada pegusaha kecil maupun menengah. Hal ini terbukti, di masa krisis yang lalu di mana sampai akhir 1998, ketika krisis tengah melanda, bank Muamalat menyalurkan pembiayaan Rp 392 milyard. Dan sampai akhir 1999 ketika krisis masih juga berlang¬sung bank Muamalat meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 mil¬yard, dengan tingkat kemacetan 0% (non ferforming loan). Pada saat itu malah CAR Bank Muamalat sempat mencapai 16,5%, jauh di atas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%).Oleh karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam Undang-Undang ini diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-Undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk konversi kepada sistem syari`ah, baik dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun konversi secara total ke sistem syari`ah.Peluang itu ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional. Beberapa bank yang konversi dan akan membuka cabang syari`ah antara lain bank Syariah Mandiri, Bank IFI Syari’ah, Bank BNI Syariah, BRI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank BTN Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah, dll. Kini telah berkembang 19 Bank Syariah, 25 Asuransi Syari’ah, Pasar Modal syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 BMT (Koperasi Syariah), dan Ahad – Net Internasional yang bergerak di bidang sektor riel.Kalau pada masa lalu, sebelum hadirnya lembaga–lembaga keuangan syariah, umat Islam secara darurat berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tetapi pada masa kini, di mana lembaga keuangan syariah telah berkembang, maka alasan darurat tidak ada lagi. Ini artinya, dana umat Islam harus masuk ke lembaga – lembaga keuangan syariah yang bebas riba..
Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah
Manfaat Mengamalkan Ekonomi Syari’ahMengamalkan ekonomi syariah jelas mendatangkan manfaat yang besar bagi umat Islam itu sendiri, Pertama, mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya tidak lagi persial. Bila umat Islam masih bergelut dan mengamalkan ekonomi ribawi, berarti keIslamannya belum kaffah, sebab ajaran ekonomi syariah diabaikannya. Kedua, menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah melalui bank syariah, asuransi syari’ah, reksadana syari’ah, pegadaian syari’ah, atau BMT, mendapatkan keuntungan duniawi dan ukhrawi. Keuntungan duniawi berupa keuntungan bagi hasil, keuntungan ukhrawi adalah terbebasnya dari unsur riba yang diharamkan. Selain itu seorang muslim yang mengamalkan ekonomi syariah, mendapatkan pahala, karena telah mengamalkan ajaran Islam dan meninggalkan ribawi. Ketiga, praktek ekonominya berdasarkan syariah Islam bernilai ibadah, karena telah mengamalkan syari’ah Allah Swt.. Keempat, mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga bank syariah, Asuransi atau BMT, berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat Islam sendiri. Kelima, mengamalkan ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau menjadi nasabah Asuransi Syari’ah, berarti mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat Islam itu sendiri, sebab dana yang terkumpul di lembaga keuangan syariah itu dapat digunakan umat Islam itu sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha kaum muslimin. Keenam, mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab dana yang terkumpul tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk usaha-usaha atau proyek –proyek halal. Bank syariah tidak akan mau membiayai usaha-usaha haram, seperti pabrik minuman keras, usaha perjudian, usaha narkoba, hotel yang digunakan untuk kemaksiatan atau tempat hiburan yang bernuansa munkar, seperti diskotik, dan sebagainya.
PenutupDemikian khutbah ini saya sampaikan semoga menambah wawasan keislaman bagi kita, dan semoga Allah memberikan hidayahnya kepada kita untuk mengamalkan syari’ahnya secara kaffah. Kehadiran lembaga- lembaga keuangan syariah, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT), Reksadana Syari’ah, pasar modal syari’ah, pegadaian syari’ah, hendaknya kita sambut dengan positif. Mudah-mudahan kita terpanggil untuk mepelajari keunggulannya dan mengamalkannya dalam rangka menuju Islam yang kaffah.
Barakallah li Wa lakum, dsb.Catatan : Untuk khutbah jumat, kutipan teks bahasa Inggris dapat ditiadakan, (sesuaikan dengan kondisi jamaah). Jadi hanya terjemahannya saja.
MAMuballigh dan Sekjend DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)
Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna ( syumul ). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al- Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain, ( QS. 5:3, 6:38, 16:89).
Al-Maidah ayat 3 :الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Al-An’am ayat 38 :مَّافَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَىْءٍ
An-Nahl ayat 89 :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَKesempurnaan Islam itu tidak saja diakui oleh intelektual muslim, tetapi juga para orientalist barat, di antaranya H.A.R Gibb yang mengatakan, “ Islam is much more than a system of theology it’s a complete civilization.”Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Albaqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/malasah ekonomi).Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits ia juga menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan.
عليكم بالتجارة فان فيها تسعة اعشار الرزق( رواه احمد)
“ Hendaklah kamu kuasai bisnis, karena 90 % pintu rezeki ada dalam bisnis”. (H.R.Ahmad)
ان أطيب الكسب كسب التجار
”Sesungguhnya sebaik-baik usaha/profesi adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi) (Sumber Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 2, tp, tt, hlm 86.)
Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan kitab Islam membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’i salam,istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya. Selain dalam kitab-kitab fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi Islam yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah.
Hadirin, Jamaah Jumat yang dirahmati AllahProf. Dr. Muhammad N. Ash-Shiddiqy, dalam buku “Muslim Economic Thinking” meneliti 700 judul buku yang membahas ekonomi Islam. (London, Islamic Fountaion, 1976)Dr. Javed Ahmad Khan dalam buku Islamic Economics & Finance : A Bibliografy, (London, Mansell Publisihing Ltd) , 1995 mengutip 1621 tulisan tentang Ekonomi Islam,Seluruh kitab fikih Islam membahas masalah muamalah, contoh : Al-Umm (Imam Syafi’i), Majmu’ Syarah Muhazzab (Imam Nawawi), Majmu Fatawa (Ibnu Taimiyah). Sekitar 1/3 isi kitab tersebut berisi tentang kajian muamalah. Oleh karena itulah maka Prof. Dr.Umer Ibrahim Vadillo (intelektual asal Scotlandia) pernah menyatakan dalam ceramahnya di Program Pascasarjana IAIN Medan, bahwa 1/3 ajaran Islam tentang muamalah.Materi kajian ekonomi Islam pada masa klasik Islam itu cukup maju dan berkembang. Prof. Dr. M.M. Shiddiqi dalam hal ini menuturkan :“Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan/Supply and demand, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, industri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya.”(Shiddiqy, Muhammad Nejatullah, Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature, dalam buku Studies in Islamic Economics, International Centre for Research in Islamic Economics King Abdul Aziz Jeddah and The Islamic Foundation, United Kingdom, 1976, hlm. 261.)Boulakia bahkan menyatakan bahwa Ibnu Khaldun jauh mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Robert Malthus.(Bahasa Inggris ini tidak dibacakan dalam khutbah, cukup arti atau maknanya saja).Ibnu Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered the virtue and the necessity of a division of labour before Smith and the principle of labour value before Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on the role of the state in the economy before Keyneys. But much more than that, Ibnu Khaldun used these concepts to build a coherent dinamics system in which the economic mechanism inexorably led economic activity to long term fluctuation…..[1]. (Sumber Boulakia, Jean David C., “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist” – Journal of Political Economiy 79 (5) September –October 1971: 1105-1118
(Artinya, “Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang…:”)
Demikian gambaran maju dan berkembangnya ekonomi Islam di masa lampau.Tetapi sangat disayangkan, dalam waktu yang relatif panjang yaitu sekitar 7 abad ( sejak abad 13 s/d pertengahan abad 20 ), ajaran –ajaran Islam tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan kaum muslimin. Akibatnya ekonomi Islam terbenam dalam limbo sejarah dan mengalami kebekuan ( stagnasi ). Dampak selanjutnya, ummat Islam tertinggal dan terpuruk dalam bidang ekonomi. Dalam kondisi yang demikian, masuklah kolonialisme barat mendesakkan dan mengajarkan doktrrin-doktrin ekonomi ribawi (kapitalisme), khususnya sejak abad 18 sd abad 20. Proses ini berlangsung lama, sehingga paradigma dan sibghah ummat Islam menjadi terbiasa dengan sistem kapitalisme dan malah sistem, konsep dan teori-teori itu menjadi berkarat dalam pemikiran ummat Islam. Maka sebagai konsekuensinya, ketika ajaran ekonomi Islam kembali mau ditawarkan kepada ummat Islam, mereka melakukan penolakan, karena dalam pikirannya telah mengkristal pemikiran ekonomi ribawi, pemikiran ekonomi kapitalisme. Padahal ekonomi syari’ah adalah ajaran Islam yang harus diikuti dan diamalkan, sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam Al-QuranFirman Allah tersebut terdapat dalama surah Al-Jatsiyah ayat 18 :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ
”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syriah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”
Sikap ummat Islam (utamanya para ulama dan intelektual muslim) yang mengabaikan kajian-kajian muamalah sangat disesalkan oleh ulama (para ekonom muslim). Prof. Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi mengatakan dalam buku ”Muslim Economic Thinking”, sebagai berikut
“The ascendancy of the Islamic civilization and its dominance of the world scene for a thousand years could not have been unaccompanied by economic ideas as such. From Abu Yusuf in the second century to Tusi and Waliullah we get a contiunity of serious discussion on taxation, government expenditure, home economics, money and exchange, division of labour, monopoly, price control, etc, Unfortunelly no serious attention has been paid to this heritage by centres of academic research in economics. (Muslim Economic Thingking, Islamic Fondation United Kingdom, 1976, p 264)Artinya, “Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide (pemikiran) ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah kita memiliki kesinambungan dari serentetan pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja , monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh yang diberikan atas khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi”.Kaum Muslimin Sidang Jumat yang dirahmati Allah
Memasuki Islam Secara KaffahDari paparan di atas jelaslah bahwa Islam memiliki ajaran ekonomi Islam yang luar biasa banyaknya. Sebagai konsekuensinya, kita harus mengamalkan ajaran ekonomi Islam tersebut agar keIslaman kita menjadi kaffah, tidak sepotong-potong. Allah SWT secara tegas memerintahkan agar kita memasuki Islam secara kaffah ( menyeluruh ).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينُُ
“ Hai orang – orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam kaffah, dan jangan kamu ikuti langkah – langkah setan, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. ( QQ. 2 : 208 ).
Dalam ayat lain Allah berfirman ,
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ
“Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab dan kafir kepada sebagian yang lain”.( QS 2 :85 ). Kedua ayat di atas mewajibkan kaum muslimin supaya masuk ke dalam Islam secara utuh dan menyeluruh.Namun, sangat disesalkan, tidak sedikit kaum muslimin yang telah terperosok kepada Islam persial ( separoh – separoh ). Betul, dalam bidang ibadah, kematian dan akad perkawinan, umat Islam mengikuti ajaran Islam, tapi dalam bidang dan aktivitas ekonomi, banyak sekali umat Islam mengabaikan ajaran ekonomi syari’ah dan bergumul dengan sistem ekonomi ribawi. Dana umat Islam, seperti ONH atau tabungannya, uang mesjid, uang Perguruan Tinggi Islam, dana organisasi Islam, uang perusahaan yang dimiliki kaum muslimin, dan dana masyarakat Islam secara luas, te diputar dan dibisniskan secara ribawi melalui bank dan lembaga keuangan yang bukan sesuai dengan prinsip syari’ah Islam.
Hadirin Jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Kebangkitan Kembali Ekonomi IslamBaru tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga – lembaga keuangan syariah.Sekarang di dunia telah berkembang lebih dari 400an lembaga keuangan dan perbankan yang tersebar di 75 Negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan aset – aset bank mencatat jumlah fantastis 15 % setahun. Kinerja bank – bank Islam cukup tangguh dengan hasil keuntungannya di atas perbankan konvensional. Salah satu bank terbesar di AS, City Bank telah membuka unit syariah dan menurut laporan keuangan terakhir pendapatan terbesar City Bank berasal dari unit syariah. Demikian pula ABN Amro yang terpusat di Belanda dan merupakan bank terbesar di Eropa dan HSBC yanag berpusat di Hongkong serta ANZ Australia, lembaga-lembaga tsb telah membuka unit-unit syariah.Dalam bentuk kajian akademis, banyak Perguruan Tinggi di Barat dan di Timur Tengah yang mengembangkan kajian ekonomi Islam,di antaranya, Universitas Loughborough Universitas Wales, Universitas Lampeter di Inggris. yang semuanya juga di Inggris. Demikian pula Harvard School of Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong Australia, serta lembaga populer di Amerika Serikat, antara lain Islamic Society of north America (ISNA). Kini Harvard University sebagai universitas paling terkemuka di dunia, setiap tahun menyelenggrakan Harvard University Forum yang membahas tentang ekonomi Islam.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullahDi Indonesia, bank Islam baru hadir pada tahun 1992, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Sampai tahun 1998, Bank Mualamat masih menjadi pemain tunggal dalam belantika perbankan syari’ah di Indonesia, ditambah 78 BPR Syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank konvensional yang saat itu berjumlah 240 mengalami negative spread yang berakibat pada likuidas, kecuali babk Islam.Pada November 1997, 16 bank ditutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah bank masuk kategori BTO dalam pengawasan BPPN. Tetapi kondisi itu berbeda dengan perbankan syari`ah. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpa¬nan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.Sedangkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah (BLBI) 700an triliun rupiah yang sampai hari ini bermasalah. Kalau tidak ada BLBI dan rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi dari pemerintah, niscaya semua bank tewas dilikuidasi.Pada masa krisis moneter berlangsung, hampir seluruh bank melak¬ukan kebijakan uang ketat. Kucuran kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak kondusif, di mana suku bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya. Berbeda dengan bank konvensional yang mengetatkan kucuran kred¬it, bank syari`ah malah sebaliknya, yaitu dengan mengekstensifkan kucuran pembiyaannya, baik kepada pegusaha kecil maupun menengah. Hal ini terbukti, di masa krisis yang lalu di mana sampai akhir 1998, ketika krisis tengah melanda, bank Muamalat menyalurkan pembiayaan Rp 392 milyard. Dan sampai akhir 1999 ketika krisis masih juga berlang¬sung bank Muamalat meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 mil¬yard, dengan tingkat kemacetan 0% (non ferforming loan). Pada saat itu malah CAR Bank Muamalat sempat mencapai 16,5%, jauh di atas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%).Oleh karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam Undang-Undang ini diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-Undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk konversi kepada sistem syari`ah, baik dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun konversi secara total ke sistem syari`ah.Peluang itu ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional. Beberapa bank yang konversi dan akan membuka cabang syari`ah antara lain bank Syariah Mandiri, Bank IFI Syari’ah, Bank BNI Syariah, BRI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank BTN Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah, dll. Kini telah berkembang 19 Bank Syariah, 25 Asuransi Syari’ah, Pasar Modal syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 BMT (Koperasi Syariah), dan Ahad – Net Internasional yang bergerak di bidang sektor riel.Kalau pada masa lalu, sebelum hadirnya lembaga–lembaga keuangan syariah, umat Islam secara darurat berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tetapi pada masa kini, di mana lembaga keuangan syariah telah berkembang, maka alasan darurat tidak ada lagi. Ini artinya, dana umat Islam harus masuk ke lembaga – lembaga keuangan syariah yang bebas riba..
Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah
Manfaat Mengamalkan Ekonomi Syari’ahMengamalkan ekonomi syariah jelas mendatangkan manfaat yang besar bagi umat Islam itu sendiri, Pertama, mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya tidak lagi persial. Bila umat Islam masih bergelut dan mengamalkan ekonomi ribawi, berarti keIslamannya belum kaffah, sebab ajaran ekonomi syariah diabaikannya. Kedua, menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah melalui bank syariah, asuransi syari’ah, reksadana syari’ah, pegadaian syari’ah, atau BMT, mendapatkan keuntungan duniawi dan ukhrawi. Keuntungan duniawi berupa keuntungan bagi hasil, keuntungan ukhrawi adalah terbebasnya dari unsur riba yang diharamkan. Selain itu seorang muslim yang mengamalkan ekonomi syariah, mendapatkan pahala, karena telah mengamalkan ajaran Islam dan meninggalkan ribawi. Ketiga, praktek ekonominya berdasarkan syariah Islam bernilai ibadah, karena telah mengamalkan syari’ah Allah Swt.. Keempat, mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga bank syariah, Asuransi atau BMT, berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat Islam sendiri. Kelima, mengamalkan ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau menjadi nasabah Asuransi Syari’ah, berarti mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat Islam itu sendiri, sebab dana yang terkumpul di lembaga keuangan syariah itu dapat digunakan umat Islam itu sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha kaum muslimin. Keenam, mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab dana yang terkumpul tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk usaha-usaha atau proyek –proyek halal. Bank syariah tidak akan mau membiayai usaha-usaha haram, seperti pabrik minuman keras, usaha perjudian, usaha narkoba, hotel yang digunakan untuk kemaksiatan atau tempat hiburan yang bernuansa munkar, seperti diskotik, dan sebagainya.
PenutupDemikian khutbah ini saya sampaikan semoga menambah wawasan keislaman bagi kita, dan semoga Allah memberikan hidayahnya kepada kita untuk mengamalkan syari’ahnya secara kaffah. Kehadiran lembaga- lembaga keuangan syariah, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT), Reksadana Syari’ah, pasar modal syari’ah, pegadaian syari’ah, hendaknya kita sambut dengan positif. Mudah-mudahan kita terpanggil untuk mepelajari keunggulannya dan mengamalkannya dalam rangka menuju Islam yang kaffah.
Barakallah li Wa lakum, dsb.Catatan : Untuk khutbah jumat, kutipan teks bahasa Inggris dapat ditiadakan, (sesuaikan dengan kondisi jamaah). Jadi hanya terjemahannya saja.
Langganan:
Postingan (Atom)
Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis
110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm, ISBN 978-623-6121-22-1. Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...
-
Oleh: Endang Setyowati, Kurniawan Fahmi, Rachmadewi Sjahesti (Mahasiswa IEF Trisakti, Angkatan 3) Bagian 1 PENDAHULUAN Krisis di sektor keua...
-
Assalam…pak , saya dapat nomor bapak dari internet, saya mahasiswa semester 6 jurusan ekonomi Islam di UNSIL Tasikmalaya, sebentar lagi akan...
-
Biodata Dilahirkan di Palopo, Sulawesi Selatan Pendidikan: SD – SMA di Palopo, Sulawesi Selatan, Institut Pertanian Bogor (IPB), 1 tahun , ...