Senin, 02 Juni 2008

Penjelasan RUU Sukuk

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR .......... TAHUN ...........
TENTANG
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA

I. UMUM

Keberhasilan pelaksanaan program pembangunan nasional dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu disertai dengan, antara lain, upaya pengelolaan keuangan negara secara optimal. Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan efisiensi dalam pengelolaan aset-aset negara dan pengembangan sumber-sumber pembiayaan anggaran negara, guna meningkatkan daya dukung APBN dalam menggerakkan pembangunan sektor ekonomi secara berkesinambungan.

Pengembangan berbagai alternatif instrumen pembiayaan anggaran negara, khususnya instrumen pembiayaan yang berdasarkan prinsip syariah guna memobilisasi dana publik secara luas perlu segera dilaksanakan. Upaya pengembangan instrumen pembiayaan yang berdasarkan prinsip syariah tersebut, antara lain bertujuan untuk: (1) memperkuat dan meningkatkan peran sistem keuangan syariah di dalam negeri; (2) memperluas basis pembiayaan anggaran negara; (3) menciptakan benchmark instrumen keuangan syariah baik di pasar keuangan syariah domestik maupun internasional; (4) memperluas dan mendiversifikasi basis investor; (5) mengembangkan alternatif instrumen investasi baik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri yang mencari instrumen keuangan syariah (syariah-compliant instruments); dan (6) mendorong pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia.

Konsep keuangan Islam (Islamic finance) didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan. Oleh karena itu, sesuai dengan dasar operasionalnya yakni syariah Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadist serta Ijma, instrumen pembiayaan syariah harus selaras dan memenuhi prinsip-prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur larangan berikut: (1) Riba, yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang (money for money); (2) Maysir, yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan (3) Gharar, yaitu unsur ketidakpastian yang antara lain terkait dengan penyerahan, kualitas, kuantitas dan sebagainya. Karakteristik lain dari penerbitan instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan pada umumnya. Oleh karena itu, mengingat instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah sangat berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, untuk keperluan penerbitan instrumen pembiayaan syariah tersebut perlu adanya pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat yang diperlukan.

Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah, atau secara internasional dikenal dengan istilah sukuk. Instrumen keuangan ini berbeda dengan surat berharga konvensional. Perbedaan yang prinsip antara lain surat berharga berdasarkan prinsip syariah menggunakan konsep imbalan bukan bunga sebagaimana dikenal dalam instrumen keuangan konvensional dan diperlukannya sejumlah tertentu aset yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan transaksi dengan menggunakan Akad berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Metode atau struktur pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pada dasarnya mengikuti Akad yang digunakan dalam melakukan transaksi. Beberapa jenis Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan surat berharga syariah, antara lain meliputi Ijarah, Mudharabah, Musharakah, Istisna’ dan Akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah serta kombinasi dari dua atau lebih dari Akad tersebut.

Sejalan dengan semakin meluasnya penggunaan prinsip syariah di pasar keuangan dalam dan luar negeri, yang ditandai dengan semakin banyaknya negara yang menerbitkan instrumen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah (sovereign sukuk) dan semakin meningkatnya jumlah investor dalam instrumen keuangan syariah, Indonesia perlu memanfaatkan momentum melalui penerbitan SBSN baik di pasar domestik maupun di pasar internasional sebagai alternatif sumber pembiayaan. Hal tersebut sejalan dengan semakin terbatasnya daya dukung APBN untuk menggerakkan pembangunan sektor ekonomi secara berkesinambungan dan belum optimalnya pemanfaatan instrumen pembiayaan lainnya. Dengan bertambahnya instrumen Surat Berharga Negara yang terdiri dari Surat Utang Negara dan SBSN, diharapkan kemampuan Pemerintah dalam pengelolaan anggaran negara terutama dari sisi pembiayaan akan semakin meningkat. Selain itu, adanya SBSN akan dapat memenuhi kebutuhan portofolio investasi lembaga-lembaga keuangan syariah antara lain perbankan syariah, reksadana syariah dan asuransi syariah. Dengan bertambahnya jumlah instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah, diharapkan akan mendorong pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan syariah di dalam negeri. Sejalan dengan itu, dalam rangka memberikan dasar hukum penerbitan instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah dan untuk mendukung perkembangan pasar keuangan syariah khususnya di dalam negeri, perlu dilakukan penyusunan Undang-undang tentang SBSN, yang mengatur secara khusus mengenai penerbitan dan pengelolaan SBSN.

SBSN ini merupakan surat berharga dalam mata uang rupiah maupun valuta asing berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia, baik dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, serta wajib dibayar atau dijamin pembayaran Imbalan dan Nilai Nominalnya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan perjanjian yang mengatur penerbitan SBSN tersebut.

Undang-undang tentang SBSN ini secara garis besar mengatur hal-hal sebagai berikut:
a. Transparansi pengelolaan SBSN dalam kerangka kebijakan fiskal dan kebijakan pengembangan pasar SBSN dengan mengatur lebih lanjut tujuan penerbitannya dan jenis-jenis Akad yang digunakan.
b. Kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan SBSN, baik dilakukan secara langsung oleh Pemerintah yang didelegasikan kepada Menteri, ataupun dilaksanakan melalui Perusahaan Penerbit SBSN yang dibentuk oleh Menteri.
c. Kewenangan Pemerintah untuk menggunakan Barang Milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN (underlying asset).
d. Kewenangan Pemerintah untuk mendirikan dan menetapkan tugas-tugas Badan Hukum yang akan melaksanakan fungsi sebagai Perusahaan Penerbit SBSN;
e. Kewenangan Wali Amanat untuk bertindak mewakili kepentingan Pemegang SBSN;
f. Kewenangan Pemerintah untuk membayar semua kewajiban yang timbul dari penerbitan SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN, secara penuh dan tepat waktu sampai berakhirnya kewajiban tersebut.
g. Landasan hukum bagi pengaturan lebih lanjut atas tata cara dan mekanisme penerbitan SBSN di pasar perdana maupun perdagangan SBSN di pasar sekunder agar pemodal memperoleh kepastian untuk memiliki dan memperdagangkan SBSN secara mudah dan aman.

Undang-undang ini tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian pinjaman (loan agreement) baik yang bersifat bilateral maupun multilateral yang dibuat oleh Pemerintah dengan pihak lain, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Berkenaan dengan hal-hal di atas, perlu diperhatikan pula peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Undang-Undang ini, antara lain, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4287), dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355).

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
SBSN dengan warkat adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang kepemilikannya berupa sertifikat baik atas nama maupun atas unjuk. Sertifikat atas nama adalah sertifikat yang nama pemiliknya tercantum, sedangkan sertifikat atas unjuk adalah sertifikat yang tidak mencantumkan nama pemilik sehingga setiap orang yang menguasainya adalah pemilik yang sah. SBSN tanpa warkat atau scripless adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang kepemilikan-nya dicatat secara elektronis (book-entry system). Dalam hal SBSN tanpa warkat, bukti kepemilikan yang otentik dan sah adalah pencatatan kepemilikan secara elektronis. Cara pencatatan secara elektronis dimaksudkan agar pengadministrasian data kepemilikan (registry) dan penyelesaian transaksi perdagangan SBSN di Pasar Sekunder dapat diselenggarakan secara efisien, cepat, aman, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ayat (2)
SBSN yang diperdagangkan adalah SBSN yang diperjualbelikan di Pasar Sekunder baik di dalam maupun di luar negeri. Perdagangan dapat dilakukan melalui bursa dan/atau di luar bursa yang biasa disebut over the counter (OTC). SBSN yang tidak diperdagangkan adalah (1) SBSN yang tidak dapat diperjualbelikan di Pasar Sekunder dan biasanya diterbitkan secara khusus untuk pemodal institusi tertentu, baik domestik maupun asing, yang berminat untuk memiliki SBSN sesuai dengan kebutuhan spesifik dari portofolio investasinya dan (2) SBSN yang karena sifat Akad penerbitannya tidak dapat diperdagangkan.

Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Kombinasi Akad SBSN antara lain dapat dilakukan antara Mudharabah dengan Ijarah, Musyarakah dengan Ijarah, dan Istisna’ dengan Ijarah.




Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)
Penerbitan SBSN baik oleh Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN dimaksud dilakukan untuk kepentingan Negara Republik Indonesia.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas



Pasal 7
Pemerintah mengadakan konsultasi dengan Bank Indonesia pada saat merencanakan penerbitan SBSN, sebagai bagian tidak terpisahkan dari rencana penerbitan Surat Berharga Negara untuk satu tahun anggaran. Konsultasi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi implikasi moneter dari penerbitan Surat Berharga Negara, agar keselarasan antara kebijakan fiskal, termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter dapat tercapai. Pendapat Bank Indonesia tersebut menjadi masukan di dalam pengambilan keputusan oleh Pemerintah agar penerbitan Surat Berharga Negara dimaksud dapat dilakukan tepat waktu dan dilakukan dengan persyaratan yang dapat diterima pasar serta menguntungkan Pemerintah.


Pasal 8
Ayat (1)
Persetujuan tersebut didahului dengan mengajukan rencana penerbitan dan pelunasan dan/atau pembelian kembali yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu antara lain adalah penerbitan SBSN dalam rangka menutup kekurangan pembiayaan anggaran, pembangunan proyek dan/atau pengelolaan portofolio Surat Berharga Negara menjelang akhir tahun anggaran karena pertimbangan kondisi dan perkembangan pasar keuangan yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya sehingga jumlah Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang telah disetujui terlampaui.

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Semua kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal yang timbul akibat penerbitan SBSN dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Perkiraan dana yang perlu dialokasikan untuk pembayaran kewajiban untuk satu tahun anggaran disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk diperhitungkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan.

Ayat (4)
Pada saat jatuh tempo, pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal dapat melebihi perkiraan anggaran disebabkan oleh antara lain perbedaan perkiraan kurs (nilai tukar) dan/atau tingkat bunga.


Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2) huruf a dan b
Tanah dan/atau bangunan yang dimaksud dalam ayat ini termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun.

Ayat (3)
Menteri selaku Pengelola Barang Milik Negara menetapkan secara rinci jenis, nilai dan spesifikasi Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN.

Pasal 11
Ayat (1)
Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.1 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: (i) penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (ii) tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; dan (iii) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan.
Penjualan dan penyewaan Hak Manfaat Barang Milik Negara dilakukan dalam struktur SBSN Ijarah.
Cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN antara lain, penggunaan Barang Milik Negara sebagai bagian penyertaan dalam rangka kerjasama usaha dalam struktur SBSN Musharakah (partnership).


Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi Pengguna Barang Milik Negara untuk tetap menggunakan Barang Milik Negara dimaksud, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan Barang Milik Negara ini tetap melekat pada instansi Pengguna Barang Milik Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Ayat (4)
Berdasarkan struktur SBSN Akad Ijarah tertentu, jangka waktu penyewaan Aset SBSN dari Pemerintah kepada Perusahaan Penerbit SBSN lebih panjang dari jangka waktu penyewaan Aset SBSN dari Perusahaan Penerbit SBSN kepada Pemerintah.


Pasal 12

Ayat (1)
Akad penerbitan SBSN lainnya adalah Akad selain SBSN yang menggunakan Akad Ijarah antara lain SBSN yang menggunakan Akad Musharakah, Mudharaba dan Istisna’.

Ayat (2)
Kewajiban pembayaran lain sesuai Akad penerbitan SBSN antara lain berupa sisa nilai Nominal SBSN yang pelunasannya dilakukan dengan cara amortisasi dan Imbalan yang belum dibayarkan.


Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Pertanggungjawaban dimaksud hanya terkait dengan operasional Perusahaan Penerbit SBSN dan pelaksanaan penerbitan SBSN.

Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Pihak lain yang dapat ditunjuk sebagai Wali Amanat antara lain adalah lembaga keuangan yang telah mendapat izin dari otoritas yang berwenang dan lembaga lain yang dapat melakukan fungsi sebagai waliamanat.
Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat pada dasarnya melaksanakan suatu kewajiban hukum yang timbul akibat adanya pengalihan kepemilikan Hak Manfaat atas suatu aset dari Pemerintah kepada pihak lain yang bertindak sebagai Wali Amanat untuk kepentingan Pemegang SBSN selaku penerima manfaat (beneficiaries).

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Pihak lain yang dapat ditunjuk untuk membantu pelaksanaan fungsi sebagai Wali Amanat antara lain adalah lembaga keuangan yang telah mendapat izin dari otoritas yang berwenang dan lembaga lain yang dapat melakukan fungsi sebagai waliamanat.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Apabila diatur di dalam Akad, Menteri dapat melakukan pembelian kembali SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN, sebelum jatuh tempo. Pembelian kembali atas sebagian dari nilai nominal SBSN tidak disertai dengan pelunasan SBSN dan/atau pembatalan Akad penerbitan SBSN.
Huruf f
Pelunasan sebagian atau seluruh nilai nominal SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN sebelum jatuh tempo, hanya dapat dilakukan apabila diatur di dalam Akad.
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 19
Ayat (1)
Menteri membuka rekening yang diperlukan baik untuk menampung hasil penjualan SBSN maupun untuk penyediaan dana bagi pembayaran imbalan dan Nilai Nominal SBSN;

Ayat (2)
Tata cara pembukaan dan pengelolaan rekening yang dimaksud dalam Ayat ini mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perbendaharaan negara, sedangkan tata cara pembukaan rekening di Bank Indonesia mengikuti ketentuan Bank Indonesia.

Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Penunjukan pihak lain oleh Bank Indonesia sebagai agen penatausaha untuk melaksanakan kegiatan penatausahaan, harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan Menteri dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dibidang pasar modal.

Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Laporan pertanggungjawaban kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Ayat ini disampaikan kepada Menteri.

Pasal 22
Cukup Jelas
Pasal 23
Lelang SBSN dilaksanakan oleh Bank Indonesia sampai pada saat Pemerintah dinilai telah siap serta mampu secara teknis untuk melaksanakan lelang secara sendiri atau bersama Bank Indonesia.
Pasal 24
Dalam ketentuan penerbitan dan penjualan SBSN, antara lain, diatur ketentuan mengenai jadwal pelaksanaan penerbitan dan penjualan, kriteria peserta lelang SBSN baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN.

Pasal 25
Pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan SBSN dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan pemodal dan para pelaku pasar. Kedua hal tersebut diperlukan agar kegiatan perdagangan SBSN dapat dilaksanakan secara efisien dan sehat. Pengaturan dilaksanakan melalui penerbitan berbagai ketentuan, antara lain, mengenai transparansi data dan informasi penerbitan serta mengenai tata cara perdagangan SBSN. Pengaturan dan pengawasan merupakan upaya untuk memperoleh keyakinan akan ketaatan para pelaku pasar terhadap ketentuan yang berlaku.

Pasal 26
Ayat (1)
Penatausahaan mencakup kegiatan administrasi dan pembukuan (akuntansi) semua transaksi yang berkaitan dengan pengelolaan SBSN.


Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Permintaan data dan informasi mengenai SBSN kepada BI disampaikan secara tertulis.


Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Yang dimaksud dengan SBSN tiruan atau SBSN palsu adalah surat berharga yang sengaja diterbitkan dengan bentuk yang mirip atau sama dengan SBSN yang sah, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Pemalsuan data dalam perdagangan SBSN tanpa warkat, termasuk tindakan pemalsuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas


Pasal 31
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …………………

Tidak ada komentar:

Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis

  110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm,   ISBN 978-623-6121-22-1.  Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...