Minggu, 29 Juni 2008

Perlukah Kartu Kredit Syariah?

Oleh: Ach. Bakhrul Muchtasib

Fasilitas penggunaan kartu kredit syariah merupakan bagian dari pengembangan produk yang dilakukan perbankan syariah untuk menjaring para nasabah, sekaligus memberikan pelayanan kepada nasabah dengan lebih maksimal. Penerbitan kartu kredit syariah, yang semakin menambah variasi produk perbankan syariah, diharapkan dapat memberikan kemudahan dan memberikan keamanan dalam transaksi. Ke depan diharapkan bank syariah akan lebih berkembang dan mampu bersaing dengan bank-bank konvensional sebagai kompetitornya.

Pada giliran berikutnya mampu menggantikan posisi kartu kredit yang berkembang pada bank konvensional, yang secara nyata melakukan proses transaksi dengan sistem ribawi (pengambilan keuntungan dengan mengenakan bunga).Sebagian kalangan pelaku bank syariah menyangsikan kartu kredit syariah tersebut. Karena, dimungkinkan akan mendorong masyarakat nasabah bank syariah terjebak pada budaya konsumerisme, seperti yang terjadi pada bank konvensional. Dikhawatirkan, nantinya, nasabah bank syariah terlena dengan kemudahan fasilitas yang diberikan dalam hal berbelanja tanpa berhitung pada kebutuhan yang sebenarnya. Seperti yang pernah terjadi, penerbitan kartu kredit syariah berpotensi menciptakan dan menyebabkan peningkatan pada rasio pembiayaan bermasalah (NPF).

Dimungkinkan menurunkan citra positif bank syariah yang selama ini memiliki pembiayaan bermasalah yang masih dibawah 5% (yang berkategori bagus).Melihat pengalaman yang pernah terjadi pada bank konvensional, dari seluruh kartu kredit yang tersebar, 70% di antaranya merupakan kartu kredit yang bermasalah. Tidak sedikit dari pemegang kartu kredit mengalami keterlambatan pembayaran atas tagihan. Akhirnya, mereka harus menanggung beban denda bunga kredit yang cukup tinggi. Semakin lama beban tagihan dan beban bunga akan semakin membengkak jika tidak segera dilunasi.

Penambahan beban bunga yang semakin besar dapat mengakibatkan ketidakmampuan nasabah pemegang kartu kredit untuk melunasi tagihannya.Untuk mengatasi permasalahan yang muncul akibat minimnya pencegahan dalam bertransaksi secara berlebih, bank syariah sebagai penerbit kartu kredit syariah, harus mampu melakukan pencegahan atau pun membatasi nafsu berbelanja nasabah dengan memberikan batasan maksimal dalam belanja, disesuaikan dengan besarnya gaji/pendapatan nasabah. Bank syariah pun harus selektif di dalam memberikan kartu kreditnya kepada nasabah, sebagai tindakan kehati-hatian.

Nasabah yang berhak mendapatkan kartu kredit syariah hanya mereka yang memiliki kemampuan secara finansial dan kejujuran. Menurut Ma’ruf Amin, Ketua DSN-MUI, untuk mencegah terjadinya budaya konsumerisme pada masyarakat pemegang kartu kredit syariah, dengan mewajibkan pemegang kartu untuk menitipkan sebagian dana mereka sebagai collateral cash di bank syariah penerbit kartu. Ditambah jumlah plafond pembiayaan pemegang kartu yang harus disesuaikan dengan besarnya jumlah pendapatan yang dimiliki (Republika, 1 Febuari 2007).Sesuai dengan usulan sebagian anggota DSN, besarnya collateral cash dapat ditentukan dengan kisaran nilai sebesar 20% dari plafond kartu kredit.

Nilai collateral cash ini diyakini cukup efektif untuk mengendalikan perilaku konsumtif. Atas usulan ini, Harisman, mantan Direktur Direktorat Perbankan Syariah-BI, menyambut baik. Menurut Harisman, saat ini meski tidak sebesar 20%, namun Bank Indonesia tetap menganjurkan ada deposit dari sisi pemakai kartu kredit. Kendati begitu, hal itu tidak sepenuhnya dapat diyakini mampu mencegah perilaku konsumtif masyarakat. Pada praktiknya nanti, beredarnya kartu kredit syariah tidak akan berbeda dengan kartu kredit konvensional. Proses transaksi yang dilakukan pemegang kartu dengan merchant pun tidak berbeda. Kecuali bank syariah, sebagai pihak penerbit, segera menutup transaksi yang melebihi batas maksimal dari besarnya plafond yang dimiliki pihak pemegang kartu. Di sisi lain, kondisi ini akan dihadapkan pada persoalan ketertarikan nasabah sebagai konsumen terhadap kartu kredit syariah.

Permasalahan timbul dengan persaingan yang akan dihadapi bank syariah pada bank konvensional yang memberikan kemudahan syarat-syarat dan kebebasan transaksi.Terlepas dari bagaimana penerapannya dan seperti apa ketentuan yang diterapkan, setelah beberapa bulan difatwakan, kartu kredit syariah belum juga beredar di pasaran. Respon dari bank syariahpun masih timbul tenggelam. Baru Danamon Syariah yang menyatakan siap meluncurkan kartu kredit syariah.

Tahap awal penertiban, menurut direktur usaha syariah, Hendarin Sukarmadji, mentargetkan 15-20 ribu kartu. Bahkan, Bank Muamalat Indonesia melalui direkturnya, U. Syaifuddin Noer, menyatakan tidak akan menerbitkan kartu kredit syariah, karena, dianggap akan menjadikan masyarakat lebih konsumtif. Penerbitan fatwa kartu kredit syariah seharusnya tidak hanya didasarkan atas halal atau tidaknya dari sisi syariah, tetapi, juga harus memperhatikan bagaimana manfaat dan kegunaannya serta efek sosialnya bagi masyarakat. Jadi, bagi masyarakat nasabah bank syariah, selain diarahkan untuk berperilaku ekonomi secara syariah, harus juga dididik menentukan skala prioritas yang menjadi kebutuhan mendasar bagi kelayakan kehiidupannya.

Jika dirasakan kartu kredit syariah bukan merupakan kebutuhan yang cukup mendesak dan penting, tentunya tidak harus diupayakan secara maksimal dalam pengembangannya.Penempatan masalah dari kartu kredit syariah ini dapat dipilah-pilah dan ditentukan sebagai produk bank syariah sesuai dengan tingkat kebutuhan bank syariah terhadap kartu tersebut dan kebutuhan masyarakat dalam menggunakan kartu kredit syariah di setiap transaksi mereka.

Jika kartu kredit syariah hanya merupakan kebutuhan pelengkap dan tidak urgent sebagai alat transaksi atau, bahkan, akan menimbulkan mudharat, lebih baik produk operasional bank syariah yang menggunakan kartu hanya pada kartu debit atau kartu lain yanng tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Wallahua’lam bi shawab.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Aku harus bersaksi tentang perbuatan baik dari Ibu Amanda Amanda Badan Kredit. Saya Husnah dan saya mengambil waktu saya keluar untuk bersaksi Ibu Amanda karena dia akhirnya menawarkan saya.
Saya dan suami saya masuk ke utang yang sangat besar dengan Bank dan kami mencari pinjaman dari perusahaan pinjaman yang berbeda tetapi semua datang ke sia-sia. sebaliknya mereka membawa kita ke dalam lebih banyak utang meninggalkan kami bangkrut sampai saya datang di kontak dengan Ibu Amanda, yang menawarkan pinjaman. Sekarang kita telah akhirnya menetap utang kami dan memulai bisnis baru dengan uang yang tersisa dari pinjaman. Anda dapat menghubungi dia hari ini untuk pinjaman apapun dan jumlah.
Hubungi Ibu Amanda melalui salah satu email berikut. amandaloans@qualityservice.com atau amandarichardson686@gmail.com atau Anda dapat menghubungi saya melalui email saya untuk arahan lebih lanjut ikmahusnah@gmail.com

Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis

  110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm,   ISBN 978-623-6121-22-1.  Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...