Kontribusi dari Al-Barokah
Selasa, 08 Juni 2004
Obligasi ijarah masih salah kaprah. Sebagian besar praktik obligasi syariah yang dikeluarkan oleh beberapa perusahaan di Indonesia masih mengalami masalah. Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Iwan P Pontjowinoto mengatakan kesalahan itu kemungkinan karena ketidaktahuan pengusaha dan pihak yang terkait dengan penerbitan obligasi.
Obligasi ijarah masih salah kaprah. Sebagian besar praktik obligasi syariah yang dikeluarkan oleh beberapa perusahaandi Indonesia masih mengalami masalah. Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Iwan P Pontjowinoto mengatakan kesalahan itu kemungkinan karena ketidaktahuan pengusaha dan pihak yang terkait dengan penerbitan obligasi. ''Tapi ada juga penerbitan obligasi yang sesuai dengan prinsip Islam,'' kata Iwan kepada Republika akhir pekan silam.
Obligasi yang sesuai dengan prinsip Islam antara lain yang diterbitkan BSM dan Bukopin.
Iwan mengatakan kejanggalan di penerbitan obligasi ini berpangkal pada ketidakpahaman semata. ''Jika ada cara yang lebih benar mengapa menggunakan cara yang salah,'' ujarnya lagi. Penerbitan obligasi syariah memang tengah marak. Pengusaha melihat potensi overlikuiditas sebagai pasar untuk memasarkan obligasi. ''Pengusaha butuh dana besar.
Sementara di satu sisi ada overlikuiditas di bank syariah. Ini semacam simbiosis mutualisme,'' Hanya saja, menurut Iwan praktiknya disayangkan karena masih menggunakan pola yang kurang baik. Beberapa obligasi yang tampak janggal adalah obligasi mudharabah (bagi hasil) dan ijarah (sewa-menyewa) yang belakangan marak dipraktikkan. Obligasi mudharabah PT Indosat, obligasi ijarah PT Citra Sari Makmur dan obligasi ijarah PT Matahari Putra Pirima termasuk yang masih memiliki kejanggalan.
Dalam kasus obligasi mudharabah Indosat misalnya. Iwan menjelaskan obligasi mudharabah tergolong 100 persen pembiayaan (financing). Artinya projek yang dibiayai dengan obligasi harusnya hanya mendapatkan dana dari penerbitan obligasi mudharabah saja dan tidak lainnya. Sedangkan pada kasus Indosat, proyek yang dibiayai mengambil juga dana dari lainnya.
''Obligasi ijarah kita juga masih salah kaprah,'' kata Iwan. Praktik obligasi ijarah yang benar adalah pemilik gedung membutuhkan dana untuk membangun sebuah bangunan. Dana pembangunan gedung diperoleh dari obligasi.
Bangunan yang telah jadi kemudian disewakan kepada pihak lain. Hasil sewa itulah yang digunakan untuk memberikan return kepada pemegang obligasi. Dalam praktik konsep ini kerap dilanggar. PT Matahari Putri Prima misalnya. Pembangunan gedung dilakukan oleh
Matahari. Penyewanya pun Matahari. ''Ini bisa menimbulkan penyelewengan,'' tandas Iwan lagi. Sebab tidak mustahil terjadi penyimpangan biaya sewa. Misalnya nilai sewa yang lebih besar bila bangunan tersebut digunakan penyewa lain.
Selain itu, tidak seluruh nilai sewa dibayarkan sebagai return. Dalam kasus ijarah, return dibagikan kecil dulu kemudian pada akhirnya (mature) baru diberikan nilai yang besarnya.
Nilai sewa yang dibayarkan penyewa gedung akan dibagi dua yakni untuk return dan kemudian sinking fund (pooling dana) sebagai pembayaran kembali face value (nilai akhir) obligasi.
Obligasi ijarah yang diterbitkan CSM juga mengalami kekurangan karena hasil dari obligasi digunakan untuk menutup utang lama Rp 250 miliar dan sisanya untuk modal kerja. Iwan mengatakan seharusnya dalam kasus seperti ini CSM menerbitkan obligasi. Dana ini kemudian diserahkan kepada lembaga khusus (SPV) untuk membeli aset CSM.
Penjualan aset digunakan SPV untuk menebus aset. Kemudian aset tersebut disewakan kepada CSM yang akanmembayar biaya sewa untuk rate of return. Di antara beberapa obligasi yang diterbitkan, obligasi bank syariah Mandiri dan Bukopin, mejurut Iwan, merupakan yang
paling benar. Kendati rates of return yang diberikan bervariasi, secara akad dan perhitungan obligasi mudharabah bank syariah mandiri tidak mengalami masalah.
Sementara obligasi syariah Bank Muamalat Indonesia sedikit mengalami masalah karena obligasi tersebutdikategorikan sebagai obligasi subordinasi. Sedangkan dari sisi perhitungan rate of return BMI mengambilnya dari nisbah revenue sharing dan bukan net income after tax. Dengan nisbah 91:9 untuk pemilik dana, maka rate of return yang diberikan BMI (dari revenue sharing) menjadi terlalu besar. ''BMI tidak salah. Tapi kok besar sekali mereka memberikan return-nya.
Sumber: islamiy.net
Musholla Al-Barokah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis
110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm, ISBN 978-623-6121-22-1. Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...
-
Oleh: Endang Setyowati, Kurniawan Fahmi, Rachmadewi Sjahesti (Mahasiswa IEF Trisakti, Angkatan 3) Bagian 1 PENDAHULUAN Krisis di sektor keua...
-
Assalam…pak , saya dapat nomor bapak dari internet, saya mahasiswa semester 6 jurusan ekonomi Islam di UNSIL Tasikmalaya, sebentar lagi akan...
-
Biodata Dilahirkan di Palopo, Sulawesi Selatan Pendidikan: SD – SMA di Palopo, Sulawesi Selatan, Institut Pertanian Bogor (IPB), 1 tahun , ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar