Selasa, 24 Juni 2008

Saat Tepat Pemisahan Bank Syariah

SALAH satu wacana yang menarik dalam RUU Perbankan Syariah adalah soal pemisahan (spin off) bank syariah. RUU mengusulkan agar perbankan syariah berdiri dengan badan hukum sendiri, sehingga bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah (UUS) harus melakukan spin off.

Ada tiga hal yang perlu kita cermati. Pertama, ketepatan waktu dan kesiapan bank syariah melaksanakan spin off. Ide tentang spin off muncul atas keinginan untuk mengembangkan bank syariah lebih cepat dan luas. Pertanyaannya kapan saat tepat untuk melakukan spin-off itu?

Spin off bisa dilakukan ketika bank syariah siap dengan konsekuensi yang muncul. Seperti pengembangan organisasi, sumber daya manusia (SDM), dan teknologi informasi (TI). Bank syariah membutuhkan tambahan tenaga untuk mengisi pos-pos yang sebelumnya di-back up bank induk, seperti fungsi treasury, fungsi legal, fungsi audit, fungsi human resources, dan fungsi manajemen risiko.

Tenaga yang telah ada pun perlu mendapat suntikan atmosfer baru. Dari atmosfer sebuah divisi menjadi sebuah bank. Karena itu, dibutuhkan pula satu perubahan manajemen. Di bidang TI juga membutuhkan sebuah unit yang berdiri sendiri sehingga memerlukan biaya investasi. Ini tantangan yang harus dijawab tuntas oleh bank syariah.

Kedua, aspek regulasi terkait rencana spin off. BI telah menerbitkan PBI No 7/35 tanggal 25 September 2005 yang menurunkan persyaratan modal disetor dari Rp3 triliun menjadi Rp1 triliun. Peraturan tersebut terkait dengan PBI No 7/13 tanggal 10 Juni 2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam PBI 7/13/2005 ini, bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari aktiva tertimbang menurut risiko.

Artinya, ketika bank syariah akan spin off diasumsikan bahwa jumlah aset telah mencapai Rp12,5 triliun (100/8 x Rp1 triliun).

Penerapan kebijakan yang didasarkan atas prinsip kehati-hatian oleh BI ini perlu dikaji lebih lanjut, sehingga spin off dapat terealisasi dengan baik.

Asumsi pelaksanaan spin off yang memerlukan jumlah aset Rp12,5 triliun patut dipertimbangkan apabila kita membandingkan pencapaian aset perbankan syariah per September 2005 sebesar Rp18,7 triliun yang memerlukan waktu 13 tahun. Perlu dikaji penerapan regulasi lebih fleksibel dan bertahap sehingga berbagai peraturan yang diterbitkan BI bisa mendorong perkembangan perbankan syariah dengan tetap memerhatikan aspek kehati-hatian.

Ketiga, pilihan strategi dalam mengimplementasikan spin off.

Pelaksanaan spin off membutuhkan pilihan strategi sehingga dapat diwujudkan dengan baik. Alternatif awal yang mengemuka ketika ide spin off ini berkembang adalah bank induk melakukan spin off terhadap unit usaha syariah ketika sudah mencapai suatu jumlah aset atau pangsa pasar tertentu.

Dua pilihan strategi lain yang bisa dikembangkan adalah melakukan konversi aset bank induk dan membeli bank kecil untuk dikonversi. Pilihan untuk melakukan konversi terhadap eksisting aset bank induk konvensional akan mempercepat proses spin off yang akan dilakukan.

Proses ini membutuhkan dorongan kuat dari bank induk sehingga proses konversi aset dapat dilaksanakan dengan baik. Alternatif ketiga dalam melaksanakan spin off adalah membeli suatu bank kecil untuk dikonversi menjadi bank syariah yang nanti akan digabungkan dengan unit usaha syariah bank induk. Spin off mempunyai tujuan baik untuk pengembangan perbankan syariah di Indonesia.

Namun, tujuan yang baik tersebut harus disikapi dan dilaksanakan secara cerdas dalam waktu tepat sehingga pilihan spin off tidak menjadi blunder bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.

Sumber : Media IndonesiaPenulis: Adiwarman A. Karim (Ketua IV MES)
http://www.ekonomisyariah.org

Tidak ada komentar:

Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis

  110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm,   ISBN 978-623-6121-22-1.  Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...