Kamis, 24 Juli 2008
BMPP dan Manajemen Risiko Likuiditas
Jumat, 18 April 2008
Berbagai pihak tengah memikirkan beragam cara untuk meningkatkan kinerja dan kontribusi perbankan syariah di dalam industri perbankan nasional. Salah satu pemikiran yang mengemuka adalah melalui pelonggaran batas minimum pemberian pembiayaan (BMPP).
Hal ini diminta oleh Asosiasi Bank Islam Indonesia (Asbisindo) kepada Bank Indonesia
(BI) untuk mendorong penyaluran pembiayaan perbankan syariah. Namun, asosiasi ini juga meminta agar pelonggaran BMPP ini hendaknya diikuti dengan peningkatan pengawasan manajemen risiko pembiayaan bank syariah oleh otoritas
moneter (Republika, 9 Januari 2008).
Tulisan ini mencoba menjabarkan secara singkat manajemen risiko terkait dengan permintaan pelonggaran BMPP khususnya dari aspek risiko likuiditas. Secara teori, likuiditas dalam sistem perbankan mencakup dua hal;
(a) likuiditas instrumen keuangan di pasar keuangan dan
(b) likuiditas terkait dengan solvency atau kemampuan untuk memenuhi kewajiban keuangan kepada pihak ketiga (Fiedler, Robert 2000:442).
Untuk Indonesia, manajemen likuiditas terkait dengan solvency adalah yang paling relevan mengingat pasar keuangan syariah masih belum begitu berkembang.
Secara sederhana, manajemen likuiditas dapat diartikan sebagai upaya perbankan untuk menjaga keseimbangan antara sisi asset dan sisi liability. Prinsip bank syariah dan karakter industri perbankan syariah Indonesia Agar bisa memahami risiko likuiditas di atas, bank syariah wajib memahami prinsip perbankan syariah dan karakter industri perbankan syariah Indonesia yang berpotensi menimbulkan risiko likuiditas.
Pertama, praktek perbankan syariah berhubungan dengan kondisi riil perekonomian. Artinya, ketika perekonomian menghadapi gangguan (shock) maka proyek yang dibiayai bank syariah akan terganggu dan berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan (mismatch) antara asset dan liability.
Kedua,praktek perbankan syariah adalah asset based contract (Kahf, Monzer 2000:2). Sehingga risiko likuiditas pada pembiayaan syariah dapat terjadi ketika terdapat masalah pada harga asset, nilai penyusutan asset, kerusakan asset,
dll.
Ketiga, kerjasama pembiayaan bank syariah dan pengusaha pastinya mengandung risiko kegagalan usaha (business failure), low rate of return, dll yang tentunya juga mengganggu penerimaan di sisi asset.
Keempat, nasabah rasional yang sangat sensitif dengan return yang ditawarkan oleh conventional financial market berpotensi menimbulkan displaced commercial risk yaitu risiko beralihnya simpanan dari bank syariah kepada bank konvensional. Seperti di atas,tentunya hal ini dapat mengganggu sisi liability perbankan. Terakhir, semakin terintergasinya sistem perekonomian dunia
menyebabkan krisis ekonomi di luar negeri berpotensi memberikan dampak negatif kepada perekonomian domestik.
Ketika perekonomian nasional mendapat pengaruh negatif dari luar, maka seluruh prinsip dan karakter industri perbankan syariah di atas secara bersama-sama berpotensi menyebabkan risiko likuiditas bagi bank syariah. Alternatif
Solusi bagi Masalah Risiko Likuiditas Disamping praktek perbankan syariah yang rentan dengan risiko likuiditas, secara teori pula sharia memberikan solusi bagi masalah tersebut. Mekanisme pembiayaan syariah mengharuskan kerjasama aktif dan saling percaya antara nasabah, bank syariah dan pengusaha. Kerjasama ini ditunjang pula oleh regulator dan pihak terkait lainnya (Yaqoobi, Nizam 2007:3).
Apabila kerjasama ini terjalin harmonis maka mekanisme risk sharing akan berjalan optimal (tidak ada pihak yang merasa dirugikan); nasabah dan pengusaha memahami kedudukan dan fungsinya sehingga harapan peran bank syariah yang semakin dominan dalam perbankan nasional dapat segera diwujudkan. Namun demikian, perwujudan hal tersebut mengharuskan upaya sosialisasi yang kontinu, keterbukaan(transparency), intensive business cooperation dan saling kepercayaan dari semua pihak. Mekanisme asset liability balancing juga salah satu cara untuk menghindari risiko likuiditas. Di sisi liability, bank syariah diharapkan dapat menciptakan produk investasi yang prospective dan profitable, berjangka panjang, menarik dan aman. Kemudian,
nasabah diarahkan untuk menanamkan dana pada produk investasi tersebut dan bank syariah pun mempersiapkan prosedur penarikan dan timing penarikan dana oleh nasabah. Selain itu, sesuai dengan risk management guidance yang dikeluarkan oleh Islamic Financial Service Board (IFSB) tahun 2005 lalu, bank syariah wajib menjaga kecukupan
likuiditas sebagai standby reserve untuk mengantisipasi risiko likuiditas dimaksud. Bahkan lebih lanjut IFSB meminta setiap lembaga keuangan Islami mempunyai kerangka manajemen likuiditas termasuk sistem pelaporannya (IFSB’s Principle 5.1) dan setiap lembaga keuangan Islami harus memiliki kemampuan untuk mengatasi risiko
likuiditas dengan menyediakan likuiditas yang sesuai dengan sharia (sharia compliance) (IFSB’s Principle 5.2).
Di sisi asset, bank syariah diharapkan memiliki mekanisme dalam menghadapi kegagalan bisnis (proyek) yang dibiayai (kredit macet, dsb). Termasuk pula, mengatur keseimbangan periode pembiayaan yang diberikan dengan periode jatuh
tempo penarikan simpanan masyarakat (asset liability matching). Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menawarkan produk investasi spesifik untuk membiayai proyek tertentu dengan ketentuan penarikan dana dan profit loss sharing yang khusus. Joint financing yang dikemukakan Asbisindo dan BI juga merupakan cara lain untuk
mengoptimalkan kinerja bank syariah di sisi asset.
Secara umum, mekanisme manajemen risiko likuiditas bank syariah mengharuskan setiap bank syariah mempunyai proses pelaporan dan manajemen risiko yang komprehensif. Tidak dapat dipungkiri keterlibatan dewan direksi (pimpinan bank) hingga manajer level menengah dan bawah sangat penting dalam mengidentifikasi, mengukur, memonitor, melaporkan dan mengontrol potensi risiko yang mungkin terjadi (IFSB’s
Principle 1.0). Sudah siapkah bank syariah? Mencermati prinsip operasional bank syariah, karakteristik industri perbankan syariah Indonesia termasuk kondisinya dewasa ini dikaitkan dengan permintaan pelonggaran BMPP maka pemenuhan persyaratan manajemen risiko likuiditas di atas merupakan suatu kewajiban bagi bank syariah. Pelonggaran BMPP tanpa diiringi dengan kesiapan bank syariah dalam mengantisipasi risiko terutama risiko likuiditas akan berpotensi menambah besarnya pembiayaan bermasalah. Sementara itu, disisi lain, keinginan untuk meningkatkan peran bank
syariah melalui peningkatan pembiayaan yang diberikan juga merupakan suatu keniscayaan untuk mengembangkan industri ini lebih lanjut. Oleh karena itu, masing-masing pihak hendaknya dapat menilai dan mengukur realita yang ada sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Waallohu'alam bisawwab.
Rifki Ismal PhD student Islamic Finance Durham University (United Kingdom) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis
110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm, ISBN 978-623-6121-22-1. Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...
-
Oleh: Endang Setyowati, Kurniawan Fahmi, Rachmadewi Sjahesti (Mahasiswa IEF Trisakti, Angkatan 3) Bagian 1 PENDAHULUAN Krisis di sektor keua...
-
Assalam…pak , saya dapat nomor bapak dari internet, saya mahasiswa semester 6 jurusan ekonomi Islam di UNSIL Tasikmalaya, sebentar lagi akan...
-
Biodata Dilahirkan di Palopo, Sulawesi Selatan Pendidikan: SD – SMA di Palopo, Sulawesi Selatan, Institut Pertanian Bogor (IPB), 1 tahun , ...
1 komentar:
saya kurang mengerti dengan pelonggaran BMPP, soalnya yang saya tahu hanya pelanggaran dan pelampauan BMPP..terus apakah BMPP itu batas minimum pemberian pembiayaan atau batas maksimum pemberian pembiayaan...saya sekarang sedang mengerjakan skripsi dengan jurnal tersebut dan saya mengalami masalah dengan definisi pelonggaran BMPP tersebut...apabila ada yang mengetahui tentang BMPP mohon bantuannya...........R.Noristaman@gmail.com
Posting Komentar