Kamis, 03 Juli 2008

Meluruskan Persepsi Masyarakat Terhadap Bank Syariah

Oleh: Mohamad Fany Alfarisi

Dalam Republika edisi Jum’at 23 Nopember 2007 lalu, di kolom berita Ekonomi Syariah, Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi, berdasarkan hasil wawancara dengan Antara, mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan mengenai praktik bank syariah di daerahnya. Orang nomor satu di Sumatera Barat ini menyatakan, "Bank Syariah kan tidak boleh mematok bunga, tapi kenyataannya justru itu terjadi” dan "Ini kan tidak konsisten namanya”. Kemudian ia menambahkan, “Mestinya dalam sistem syariah, risiko dan keuntungan ditanggung bersama,".
Dua pernyataan di atas, menurut hemat penulis menggambarkan persepsi umum masyarakat terhadap bank syariah yang ternyata juga menghinggapi para pemimpin di daerah. Sebagai orang nomor satu di propinsi dengan slogan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS BSK), tentu, pernyataan tadi dapat berdampak pada keengganan masyarakat untuk menjadi nasabah dan mendapatkan pembiayaan dari perbankan syariah. Apalagi melihat kondisi masyarakat di Sumbar seperti yang dituturkan oleh Pimpinan Bank Indonesia Regional Padang, Uun S. Gunawan (Republika Ahad (27/11)), bahwa pertumbuhan perbankan syariah di Sumbar tergolong lambat. Kendati potensinya cukup besar karena mayoritas warga adalah muslim. Hal itu akibat masih sulitnya merubah pola fikir masyarakat untuk memilih bank syariah ini. Masyarakat, hingga kini masih terbiasa dengan bank konvensional, dibandingkan bank syariah.

Pernyataan yang diungkapkan oleh tokoh Penerima Bung Hatta Award 2004 di atas mengandung dua masalah penting dalam perbankan syariah dan dipersepsikan salah oleh masyarakat awam. Pertama, mengenai benchmark pembiayaan dan bagi hasil dengan tingkat suku bunga (interest rate) yang berlaku umum (di Indonesia misalnya BI rate atau LIBOR di level internasional). Masalah kedua adalah pembiayaan pada perbankan syariah yang dipersepsikan hanya menganut prinsip bagi hasil.

Benchmark
Benchmark adalah hal yang umum di praktikkan dalam dunia bisnis termasuk perbankan. Menurut ventureline.com, benchmark is a study to compare actual performance to a standard of typical competence; or, a standard for the basis of comparison as being above, below or comparable to. (Benchmark adalah studi untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar kompentensi atau suatu standar untuk basis perbandingan). Berdasarkan definisi di atas, untuk mengukur kinerja maka dibutuhkan suatu alat ukur yang valid dan diterima oleh banyak pihak. Dalam dunia perbankan, BI rate atau LIBOR digunakan sebagai basis tingkat bunga dalam pinjaman antar bank dalam pasar uang. Selanjutnya, basis ini dipakai mengukur tingkat suku bunga yang akan dikenakan dalam pinjaman dan diberikan oleh bank kepada peminjam dan deposan. Mengingat kedua tingkat suku bunga di atas sudah diterima secara umum di kalangan perbankan, maka pemakaiannya pun sudah dianggap biasa, termasuk untuk perbankan syariah. Namun yang membedakan pemakaian benchmark pada bank konvensional dan perbankan syariah adalah, pada bank konvensional benchmark digunakan sebagai basis untuk tingkat bunga kredit dan deposito, sedangkan pada perbankan syariah benchmark hanya digunakan sebagai panduan dan informasi bagi bank dan nasabah mengenai tingkat bagi hasil yang kompetitif .
Bank syariah adalah institusi bisnis yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Disini perlu dipahami bahwa bank syariah, seperti organisasi bisnis lainnya, memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan secara optimal, namun dengan memperhatikan kaedah dan etika bisnis menurut syariah Islam, misalnya larangan untuk mengambil atau membayarkan bunga (riba), memberikan pembiayaan untuk perusahaan yang memproduksi barang-barang haram dan berinvestasi pada surat berharga yang tidak memenuhi kriteria syariah (Sharia compliant). Jadi yang harus dipahami adalah, bank syariah bukanlah lembaga sosial yang bertugas membagi-bagikan sumbangan tanpa harus dikembalikan.
Dua ulama ternama seperti Maulana Taqi Usmani dari Pakistan dan Syeikh Nizam Yaqoobi dari Bahrain memberikan pendapat membolehkan perbankan syariah melakukan benchmark dengan tingkat suku bunga yang berlaku seperti BI rate dan LIBOR. Analogi yang mereka pakai yaitu, misalnya, ada dua orang yang membuka usaha menjual minuman. Orang pertama menjual minuman beralkohol dan mematok margin keuntungan 20 persen. Singkat cerita, orang pertama tadi berhasil dengan usahanya, kemudian orang kedua tertarik untuk membuka usaha penjualan minuman juga, namun karena ketaatannya pada agama, ia menjual minuman yang halal dan tidak mengandung alkohol dan mematok margin keuntungan 20 persen. Dari analogi tersebut, orang pertama menurut pandangan Islam berdosa karena berniaga dengan menjual produk yang diharamkan agama, sedangkan orang kedua malah dapat memperoleh pahala karena membuka usaha menjual produk yang dihalalkan agama, meskipun mematok tingkat margin keuntungan yang sama. Meskipun begitu, Syeikh Nizam menambahkan, bahwa jika memang di antara perbankan syariah dapat diterapkan suatu standar yang diterima secara umum meskipun hanya untuk suatu negara, maka itu akan lebih baik dibandingkan hanya bersandar kepada LIBOR.

Bagi Hasil
Ketika pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat, perbankan syariah memiliki asosiasi yang kuat dengan sistim bagi hasil. Namun dalam praktiknya, perbankan syariah tidak hanya menawarkan produk pembiayaan dan tabungan dengan prinsip bagi hasil (Mudharabah dan Musyarakah), namun juga ada jual beli tangguh (Murabahah), Salam, Istisna dan Ijarah.
Produk dengan akad bagi hasil memang belum mendominasi porsi pembiayaan pada bank syariah, namun dengan berjalannya waktu, menurut Statistik Perbankan Syariah September 2007 yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, ada satu hal yang patut dicatat, bahwa untuk proporsi pembiayaan, khususnya untuk yang berbasis bagi hasil (misalnya Mudharabah dan Musyarakah), juga terjadi peningkatan sebesar 43,4% dalam periode tersebut. Berarti telah terjadi kenaikan yang cukup signifikan pada pola pembiayaan perbankan syariah, dimana proporsi pembiayan berbasis bagi hasil telah mencapai 35,85% dari total seluruh pembiayaan yang dikeluarkan oleh perbankan syariah pada periode September 2007.
Pola pembiayaan berbasis bagi hasil, meskipun merupakan jenis pembiayaan yang lebih adil, namun, memiliki risiko yang lebih besar daripada jenis pembiayaan lain seperti Murabahah. Risiko itu antara lain, risiko kegagalan proyek yang dibiayai, dimana bank ikut menanggung kerugian, kemudian risiko dari pelaksana (Mudharib) yang berpotensi melakukan kecurangan pelaporan sehingga menaikkan biaya dan berakibat pada rendahnya pendapatan atau keuntungan yang akan dibagi antara bank syariah dengan pelaksana. Dengan tingginya risiko pada pembiayaan bagi hasil, maka bank syariah harus berhati-hati dalam memberikan pembiayaan jenis tersebut. Sehingga tidak setiap pengusaha atau nasabah yang mengajukan pembiayaan kepada bank syariah akan mendapat pembiayaan bagi hasil.

Peran Serta Semua Pihak
Perbankan Syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan yang stabil walaupun tidak secepat di negara lain misalnya Malaysia dan Timur Tengah. Hal ini disebabkan oleh bertubi-tubinya kritikan yang tidak sehat kepada lembaga keuangan baru ini yang tidak dialami oleh Perbankan Konvensional. Jadi ada semacam ketidakadilan perlakuan terhadap Perbankan Syariah, dimana disatu sisi diharapkan dapat mencetak laba, disisi lain diharuskan untuk selalu melakukan akad bagi hasil.
Melihat fenomena itu, terutama untuk menjembatani perbedaaan persepsi antara masyarakat dengan perbankan syariah, maka perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus untuk mencapai titik temu sehingga tercapai pemahaman mengenai perbankan syariah yang benar. Oleh karena itu dituntut kerja sama Bank Indonesia, perbankan syariah, pemerintah pusat dan daerah, MUI dan dunia pendidikan untuk bersinergi memberikan pendidikan mengenai konsep perbankan syariah kepada masyarakat. Sehingga kita harapkan tidak lagi terdengar kritikan negatif terhadap bank syariah yang bersumber dari ketidaktahuan seperti yang dilakukan Gamawan Fauzi.

Ikhtisar
• Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi membuat pernyataan bahwa Bank Syariah di daerahnya tidak konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip syariah.
• Pernyataan merupakan persepsi umum masyarakat mengenai perbankan syariah khususnya mengenai benchmark dengan tingkat suku bunga dan bagi hasil
• Ulama Timur Tengah membolehkan benchmark, dengan argumentasi bahwa benchmark hanya sebagai patokan bagi Perbankan Syariah dan nasabah mengenai tingkat bagi hasil yang kompetitif.
• Perbankan Syariah menawarkan aneka macam produk pembiayaan dan pengumpulan dana dan tidak semuanya berbasis bagi hasil.
• Dituntut kerja sama Bank Indonesia, perbankan syariah, pemerintah pusat dan daerah, MUI dan dunia pendidikan untuk bersinergi memberikan pendidikan mengenai konsep perbankan syariah kepada masyarakat.

Tidak ada komentar:

Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis

  110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm,   ISBN 978-623-6121-22-1.  Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...