Kamis, 03 Juli 2008

REVITALISASI PERDAGANGAN SYARI’AH

Oleh : Agustianto
Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan
Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Islam UIN Jakarta

Islam adalah agama yang paling banyak mendorong umatnya untuk menguasai perdagangan. Karena itu, Islam memberikan penghormatan yang tinggi kepada para pedagang. Dalam Sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw, menempatkan dan mensejajarkan para pedagang bersama para Nabi, Syuhada dan Sholihin (Hadits riwayat Tarmizi). Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, bidang ini memiliki kedudukan yang sangat vital dalam membangun peradaban Islam.
Namun, masalah perdagangan (bisnis) kurang mendapat tempat dalam gerakan peradaban Islam. Padahal sektor ini sangat penting untuk diaktualisasikan kaum muslimin menuju kejayaan Islam di masa depan. Tema perdagangan ini perlu diangkat ke permukaan mengingat kondisi obyektif kaum muslimin di berbagai belahan dunia sangat tertinggal di bidang perdagangan.
Dalam berbagai hadits Nabi Muhammad Saw sering menekankan pentingnya perdagangan. Di antaranya riwayat dari Mu’az bin Jabal, bahwa Nabi bersabda ”Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani). Hadits ini dengan tegas menyebutkan bahwa profesi terbaik menurut Nabi Muhammad adalah perdagangan.
Namun sangat disayangkan, kaum muslimin tidak merealisasikan hadits ini dalam realitas kehidupan dan membiarkan perdagangan dikuasai orang lain, akibatnya ekonomi ummat Islam terpinggirkan selama berabad-abad dan ekonomi bangsa-bangsa lain maju menguasai dunia. Gejala ke arah ini sebenarnya pernah terjadi di masa Umar bin Khattab, yaitu ketika para sahabat mendapat harta ghanimah yang melimpah melalui ekspansi wilayah Islam ke Persia, Palestina dan negara-negara tetangga, karena itu para pejabat dan panglima tentera Islam mulai meninggalkan perdagangan. Umar mengingatkan mereka, ”Saya lihat orang asing mulai banyak menguasai perdagangan, sementara kalian mulai meninggalkannya (karena telah menjadi pejabat di daerah dan mendapat harta ghanimah), Jangan kalian tinggalkan perdagangan, nanti laki-laki kamu tergantung dengan laki-laki mereka dan wanita kamu tergantung dengan wanita mereka”.
Yang patut digaris bawahi dari pernyataan Umar tersebut adalah, jika ekonomi perdagangan dikuasai umat lain (bangsa lain), maka sangat dikhawatirkan ummat Islam tergantung kepada bangsa tersebut. Apa yang dikhawatirkan Umar tersebut, kini telah terjadi di negara-negara Muslim, termasuk dan terutama di Indonesia, dimana Umat Islam tergantung dengan bangsa-bangsa lain, bahkan ketergantungan itu merasuk kepada kebijakan politik negara muslim, merasuk ke aspek budaya, ilmu pengetahuan, bahkan mengganggu aqidah dan akhlak ummat Islam.
Betapa urgennya ummat Islam menguasai perdagangan, sehingga Nabi Muhammad Saw mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad saw mengatakan, ”Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 % pintu rezeki (H.R.Ahmad).
Hadits ini diawali dengan kata ’Alaikum”, yang dalam ilmu gramitikal bahasa Arab bermakna fiil amar, artinya perintah yang wajib dilaksanakan. Kewajiban di sini tentunya difahami sebagai kewajiban kifayah. Artinya, jika sebagian ummat Islam telah menguasai perdagangan, maka sebagian ummat Islam lainnya terlepas dari dosa kolektif. Tetapi, jika ummat Islam tidak menguasai perdagangan, maka seluruh ummat Islam berdosa.
Nabi Muhammad tidak saja memerintahkan dengan kata-kata, tetapi secara langsung mempraktekkannya dalam kehidupan nyata, bahkan sejak usia beliau yang relatif muda, 12 tahun. Ketika Usia 17 tahun ia telah memimpin sebuah ekspedisi perdagangan ke luar negeri. Profesi inilah yang ditekuninya sampai beliau diangkat menjadi Rasul di usia yang ke 40. Afzalur Rahman dalam buku Muhammad A Trader menyebutkan bahwa reputasinya dalam dunia bisnis demikian bagus, sehingga beliau dikenal luas di Yaman, Syiria, Yordania, Iraq, Basrah dan kota-kota perdagangan lainnya di jazirah Arab. Dalam konteks profesinya sebagai pedagang inilah ia dijuluki gelaran mulia, Al-Amin Afzalur Rahman juga mencatat dalam ekspedisi perdagangannya, bahwa Muhammad Saw telah mengharungi 17 negara ketika itu, sebuah aktivitas perdagangan yang luar biasa.
Semangat inilah seharusnya yang dibangun dan dikembangkan oleh kaum muslimin saat ini agar peradaban kaum muslimin bisa bangkit kembali di jagad ini melalui kejayaan ekonomi dan perdagangan. Namun, pada masa kini sektor perdagangan jauh dari dominasi ummat Islam. Menurut buku Menuju Tata Baru Ekonomi Islam (2001, terbitan Malaysia), 93 % perdagangan dunia dikuasai oleh negara-negara bukan muslim. Dengan demikian negeri-negeri muslim hanya menguasai 7 % perdagangan dunia. Padahal ummat Islam hampir 20 % dari penduduk dunia atau sekitar 1,2 milyar orang. Idealnya paling tidak negara –negara Islam bisa menguasai 20 % perdagangan dunia, bahkan lebih dari itu, karena hampir 70 % sumber-sumber alam terdapat di negara-negara Islam.
Dunia Islam memiliki 70% cadangan minyak dunia dan menguasai 30% sumber gas asli dunia. Negara-negara Islam memasok dan mensuplay 42% permintaan petrolium (minyak) dunia. Data-data tersebut menunjukkan bahwa negeri-negeri muslim memiliki potrensi ekonomi yang cukup besar dan strategis.
Demikian pula peranan dan kiprah ummat Islam dalam perdagangan di Indonesia, masih sangat kecil. Menurut para pengamat ekonomi, ummat Islam yang berjumlah 85 %, paling hanya menguasai sektor perdagangan sekitar 20- 30 %.

Perdagangan dalam Al-quran
Pengungkapan perdagangan dalam Al-quran ditemui dalam tiga bentuk, yaitu tijarah (perdagangan), bay’ (menjual) dan Syira’ (membeli). Selain istilah tersebut masih banyak lagi term-term lain yang berkaitan dengan perdagangan, seperti dayn, amwal, rizq, syirkah, dharb, dan sejumlah perintah melakukan perdagangan global (Qs.Al-Jum;ah : 9)
Kata tijarah adalah mashdar dari kata kerja yang berarti menjual dan membeli. Kata tijarah ini disebut sebanyak 8 kali dalam Alquran yang tersebar dalam tujuh surat, yaitu surah Albaqarah :16 dan 282 , An-Nisak : 29, at-Taubah : 24, An-Nur:37, Fathir : 29 , Shaf : 10 dan Al-Jum’ah :11. Pada surah Al-Baqarah disebut dua kali, sedangkan pada surah lainnya hanya disebut masing-masing satu kali.
Sedangkan kata ba’a (menjual) disebut sebanyak 4 kali dalam Al-quran, yaitu 1). Surah Al-Baqarah :254, 2). Al-Baqarah : 275, 3). Surah Ibrahim 31 dan 4. Surah Al-Jum’ah :9
Selanjutnya term perdagangan lainnya yang juga dipergunakan Al-quran adalah As-Syira. Kata ini terdapat dalam 25 ayat. Dua ayat di antaranya berkonotasi perdagangan dalam konteks bisnis yang sebenarnya, yaitu yang kisah al-quran yang menjelaskan tentang Nabi Yusuf yang dijual oleh orang menemukannya yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 21 dan 22.
Demikian banyaknya ayat-ayat Al-quran tentang perdagangan, sehingga tidak mungkin dijabarkan dalam halaman yang amat terbatas ini. Karena itu tulisan ini hanya akan memaparkan salah satu konsep penting tentang perdagangan yang terdapat dalam Al-quran yaitu keharusan ummat Islam untuk menguasai perdagangan.
Dalam surat al-Jum'ah ayat 10 Allah berfirman, " Apabila shalat sudah ditunaikan maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah serta banyak-banyaklah mengingat Allah agar kalian menjadi orang yang beruntung..

Apabila ayat ini kita perhatikan secara seksama, ada dua hal penting yang harus kita cermati, yaitu (i) fantasyiruu fi al-ard (bertebaranlah di muka bumi) dan (ii) wabtaghu min fadl Allah (carilah anugrah/rezeki Allah).

Redaksi fantasyiruu adalah perintah Allah agar ummat Islam segera bertebaran di muka bumi untuk melakukan aktivitas bisnis setelah shalat fardlu selesai ditunaikan. Ke mana tujuan bertebaran itu? Ternyata Allah SWT tidak membatasinya hanya sekadar di kampung, kecamatan, kabupaten, provinsi, atau Indonesia saja. Allah memerintahkan kita untuk go global atau fi al-ard. Ini artinya kita harus menembus Timur Tengah, Eropa, Amerika, Australia, Jepang dan negar-negara Asia lainnya. Untuk apa kita bertebaran ke tempat-tempat tersebut? Allah menjawab bukan untuk tourism belaka, tetapi untuk berdagang dan mencari rezeki ”wabtaghu min fadl Allah” (M.Syafi’i Antonio,2003).

Ketika perintah bertebaran ke pasar global Eropa, Australia, Amerika, Asika, Afrika, bersatu dengan perintah berdagang, maka menjadi keharusan bagi kita membawa goods and services dan komoditas ekspor lainnya serta bersaing dengan pemain-pemain global lainnya (Cina, Taiwan, Korea, India, Thailand, dan lain-lain). Menurut kaidah marketing yang sangat sederhana tidak mungkin kita bisa bersaing sebelum memiliki daya saing di 4 P: Products, Price, Promotion, dan Placement atau delivery..
Dalam Surat al-Quraish Allah melukiskan satu contoh dari kaum Quraish (leluhur Rasulullah dan petinggi bangsa Arab) yang telah mampu menjadi pemain global dengan segala keterbatasan sumberdaya alam di negeri mereka. Allah berfirman, "Karena kebiasaan orang-orang Quraish. (Yaitu) kebiasaan melakukan perjalan dagang pada musim dingin dan musim panas."
Para ahli tafsir baik klasik, seperti al-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari, maupun kontemporer seperti, al-Maraghi, az-Zuhaily, dan Sayyid Qutb, sepakat bahwa perjalanan dagang musim dingin dilakukan ke utara seperti Syria, Turki, Bulgaria, Yunani, dan sebagian Eropa Timur, sementara perjalanan musim panas dilakukan ke selatan seputar Yaman, Oman, atau bekerja sama dengan para pedagang Cina dan India yang singgah di pelabuhan internasional Aden.
Contoh yang paling dekat dengan kemampuan dagang yang dilukiskan Alquran saat ini mungkin terdapat pada Singapura atau Hong Kong, negeri yang miskin sumberdaya alam tetapi mampu menggerakkan dan mengontrol alur ekspor di regional Asia Tenggara dan Pasifik. Bagaimana dengan Indonesia, yang luas salah satu provinsinya (Riau) 50 kali Singapura, dengan potensi ekspor dan sumberdaya alam yang ribuan kali lipat? Mungkin kita harus becermin pada Alquran yang selama ini kita tinggalkan untuk urusan bisnis dan ekonomi.
Meskipun Alquran cukup banyak membicarakan perdagangan bahkan dengan tegas memerintahkannya, dan meskipun negeri-negeri muslim memiliki kekayaan alam yang besar, namun ekonomi ummat Islam jauh tertinggal dibanding negara-negara non Muslim. Banyak faktor yang membuat ummat Islam tertinggal dari bangsa lain, antara lain, lemahnya kerjasama perdagangan sesama negeri muslim. Menurut catatan OKI sebagaimana yang terdapat dalam buku ”Menuju tata baru Ekonomi Islam, kegiatan perdagangan sesama negeri muslim hanya 12 % dari jumlah perdagangan negara-negara Islam”.
Fenomena lemahnya kerja sama perdagangan itu terlihat pada data-data berikut :
1. Lebanon dan Turki mengekspor mentega ke Belgia, United Kingdom dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Semenentara Iran, Malayisa, Pakistan dan Syiria mengimport mentega dari Eropa Barat.
2. Aljazair mengekspor gas asli ke Perancis, sedangkan Perancis mengekspornya ke Magribi
3. Mesir adalah pengekspor kain tela yang ke 10 terbesar di dunia, tetapi Aljazair, Indonesia, dan Iran mendapatkan kain itu (import) dari Eropa Barat.
4. Aljazair, Mesir dan Malaysia mengimpor tembakau dari Columbia, Greece, India, Philipine dan Amerika Serikat. Sementara Turki dan Indonesia adalah mengekspor utama tembakau ke Amerika dan Eropa.

Fakta juga menunjukkan bahwa produk Indonesia yang dibutuhkan negara muslim di Timur Tengah, harus melalui Singapura. Kounsekuensinya yang mendapat keuntungan besar adalah Singapura, karena ia membeli dengan harga murah dan menjual ke Timteng dengan harga mahal. Dan negara kita sering kali cukup puas dengan kemampuan ekspor sekalipun mendapatkan keuntungan margin yang sedikit. Sungguh kebodohan kita dalam perdagangann internasional. Hal ini tentu bisa mengecewakan Nabi Muhammad yang telah meneladankan sikap fathanah (cerdas) dan komunikatif (tabligh) dalam perdagangan

Tidak ada komentar:

Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis

  110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm,   ISBN 978-623-6121-22-1.  Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...