Kamis, 03 Juli 2008

Alternatif Kebijakan Sektor Riil Syariah

Oleh: Irfan Syauqi Beik, Msc

Pertumbuhan sektor riil perekonomian nasional tampaknya tetap menjadi tantangan utama pemerintah memasuki tahun 2008 me skipun Presiden SBY optimistis terhadap prospek ekonomi nasional. Argumentasi SBY didasarkan pada angka pertumbuhan ekonomi nasional 2007 yang mencapai 6,3 persen serta Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang tumbuh 52 persen sehingga menjadikan bursa kita memiliki kinerja terbaik kedua di Asia tahun 2007.

Namun, membaiknya kondisi makro tidak diimbangi dengan pertumbuhan sektor riil. Akibatnya, sejumlah persoalan terutama pengangguran dan kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Dalam sebuah survei terungkap bahwa kepuasan rakyat terhadap kinerja tim ekonomi pemerintah terus menurun, bahkan mencapai 55 persen. Belum lagi dengan evaluasi sejumlah parpol yang memberi rapor merah pada kinerja menteri-menteri ekonomi. Terlepas dari pro dan kontra serta kepentingan politik, penulis melihat perlunya sejumlah terobosan kebijakan pemerintah terkait dengan upaya mengembangkan sektor riil.

APBN 2008
Salah satu indikator serius tidaknya pemeri ntah meningkatkan kinerja sektor riil antara lain dari alokasi anggaran pembangunan dalam APBN 2008. APBN tahun ini naik 13,2 persen dibandingkan dengan APBN 2007, atau naik dari Rp 755,3 triliun menjadi Rp 854,6 triliun. Alokasi untuk pemerintah pusat Rp 573,4 triliun, sedangkan untuk pemerintah daerah Rp 281,2 triliun.

Komposisi penggunaan anggaran pemerintah pusat Rp 128,3 triliun untuk belanja pegawai, belanja barang Rp 69,4 triliun, belanja modal Rp 95,4 triliun, bantuan sosial Rp 66 triliun, serta pembayaran utang, subsidi dan belanja lain-lain Rp 214,1 triliun. Dengan komposisi itu, pemerintah berusaha meningkatkan pengeluaran agregat yang diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan sektor riil.

Variabel pengeluaran pemerintah ini komponen yang sangat penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Yang tidak kalah penting adalah upaya meningkatkan investasi sebagai komponen utama pertumbuhan ekonomi. Di sinilah tantangannya, yang penulis sendiri ragu apakah pemerintah saat ini mampu memberikan perubahan yang berarti atau tidak, mengingat pola kerja pemerintah masih belum efektif.

Alternatif kebijakan
Kebijakan pertama adalah penguatan peran intermediasi perbankan nasional dalam pembiayaan dan investasi sektor riil. Tampaknya peran perbankan nasional terhadap investasi di sektor riil masih belum optimal. Karena itu, penulis mengusulkan untuk memperkuat posisi lembaga keuangan syariah dan instrumen pembiayaan syariah yang ada. Alasannya sederhana, karena semua jenis transaksi dan produk keuangan syariah memiliki korelasi yang sangat kuat dengan sektor riil.

Untuk merealisasikannya, diperlukan sejumlah terobosan untuk mengalirkan dana menganggur yang disimpan di SBI dan SWBI ke sektor riil. Ada sejumlah alternatif yang dapat dilakukan. Pertama, BI menetapkan batas maksimal pembelian SBI dan SWBI. Misalnya, BI mewajibkan dalam portofolio investasi bank konvensional dan syariah, investasi di SBI dan SW BI maksimal lima persen. Kedua, jika bank masih kelebihan likuiditas dan mereka bermaksud membeli obligasi, mereka dapat diwajibkan membeli sukuk, baik sukuk negara maupun sukuk korporasi, dengan persentase minimal tertentu.

Misalnya, persentase minimal pembelian sukuk negara 50 persen. Dengan sukuk, dipastikan dana tersebut akan mengalir ke sektor riil. Bagi bank, yang membedakannya dengan SBI/SWBI adalah pada return-nya karena return sukuk sangat bergantung pada pola transaksinya.

Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan ini. Pertama, belum adanya landasan hukum penerbitan sukuk negara akibat belum rampungnya pembahasan RUU SBSN oleh DPR. Mudah-mudahan pada masa persidangan awal tahun ini pembahasannya segera diselesaikan sehingga sukuk negara dapat segera diterbitkan. Kedua, kemampuan pemerintah menyiapkan sejumlah proyek investasi riil yang mampu menyerap dana dalam jumlah besar sekaligus memiliki prospek yang bai k. Ketiga, kesiapan BI dan kalangan industri perbankan sendiri, terutama bank konvensional.

Kemungkinan akan ada reaksi mengingat return yang akan mereka terima dari pembelian sukuk menjadi tidak pasti, sedangkan mereka memiliki kewajiban tetap membayar bunga kepada nasabah. Keempat, perlu kajian fikih secara komprehensif tentang boleh tidaknya sumber dana sukuk berasal dari bank konvensional.

Di sinilah letak pentingnya fatwa DSN MUI. Jika fatwa tersebut ternyata tidak membolehkan, perlu ada antisipasi lain, yaitu seluruh bank konvensional diwajibkan membuat dan memperbesar volume aset UUS. Contohnya, hingga mencapai 20 persen dari nilai aset bank induk dalam tiga tahun mendatang.

Jika fatwa tersebut membolehkan maka tidak ada masalah. Penulis melihat bahwa tanpa keinginan untuk mulai mentransformasi sistem keuangan konvensional menuju sistem syariah, rasanya Indonesia akan terjebak pada permasalahan yang itu-itu saja, yaitu stagnasi sektor riil meskipun kondisi moneter berada dalam keadaan yang baik. Ada semacam missing link.

Kebijakan lainnya adalah membuat linkage bank syariah (BUS/UUS) dengan BPRS, BMT, dan koperasi syariah. Banyak pola linkage dapat dibuat, bergantung pada situasi dan kebutuhan. Misalnya, antara BUS/UUS dengan BPRS dibuat pola kerja sama berbasis mudarabah muqayyadah dengan BUS/UUS bertindak sebagai shahibul maal dan BPRS sebagai mudarib-nya.

BPRS yang akan menyalurkan pembiayaan ke berbagai pelosok kecamatan dan desa. BPRS juga bisa membuat link dengan BMT/koperasi syariah dengan pola sama atau BUS/UUS langsung membuat link dengan BMT/koperasi syariah. Pemerintah dan BI harus mendorong proses sinergi itu.

Zakat, infak, dan wakaf
Pemerintah dapat pula memanfaatkan instrumen zakat, infak, dan wakaf. Ada sejumlah kebijakan yang dapat dilakukan. Pertama, mengoptimalkan potensi dana CSR BUMN. Menneg BU MN dapat mengeluarkan kebijakan pemanfaatan dana tersebut melalui sinergi dengan lembaga-lembaga lain, seperti BAZNAS.

Kedua, meningkatkan optimalisasi penghimpunan dan pendayagunaan zakat. Zakat memiliki dampak nyata terhadap perekonomian jika realisasi potensi zakat dapat berjalan optimal. Ketiga, memanfaatkan instrumen wakaf, termasuk wakaf tunai. Pemerintah juga harus memikirkan integrasi aset wakaf dengan bursa syariah. Potensinya sangat besar. Sebagai contoh, luas tanah wakaf di Indonesia 1.400 km2 dengan nilai lebih dari Rp 590 triliun.

Aset tersebut berpotensi untuk menarik investasi. Arab Saudi dan Singapura telah memberi contoh mengintegrasikan aset wakaf dengan bursa melalui instrumen sukuk. Demikian pula dengan wakaf tunai.

Badan Wakaf Indonesia (BWI) sudah saatnya didorong lebih proaktif mengembangkan wakaf tunai. Sebaiknya BWI bekerja sama dengan BI dan bank syariah dalam penghimpunan wakaf tunai dan bersinergi dengan BAZNAS dalam pen dayagunaannya.

Ikhtisar
- Membaiknya kondisi makro tidak diimbangi dengan pertumbuhan sektor riil.
- Peran perbankan nasional terhadap investasi di sektor riil belum optimal.
- Kerja sama BUMN dan BAZNAS harus lebih ditingkatkan.

Tidak ada komentar:

Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis

  110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm,   ISBN 978-623-6121-22-1.  Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...