Kamis, 03 Juli 2008

Hijrah dan Transformasi Ekonomi

Oleh: Irfan Syauqi Beik* dan Wahibur Rokhman**

Salah satu peristiwa penting dalam perkembangan sejarah Islam adalah peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW yang dilakukan pada tanggal 16 Juli 622 Masehi / 2 Rabiul Awal 1 H. Secara teologis, hijrah ini merupakan perintah langsung Allah kepada Nabi, dimana Allah berperan dalam menyiapkan, merencanakan dan memberikan perlindungan kepada Nabi (QS 8:30; QS 9:40).

Secara sosiologis, hijrah dilaksanakan sebagai upaya untuk keluar dari tekanan yang sangat kuat, yang dilancarkan oleh kaum kafir Quraisy. Pembentukan opini publik berupa fitnah, pengasingan, tekanan secara fisik dan mental, embargo ekonomi, dan penyiksaan-penyiksaan sangat gencar dilakukan. Sehingga dalam konteks demikian, hijrah menjadi momentum yang sangat tepat.

Perubahan Sosial
Kondisi masyarakat Madinah yang penuh dengan permusuhan dan kebencian antar suku, serta perasaan superioritas kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya, menjadi tantangan awal yang dihadapi Nabi setelah berhijrah. Untuk menghadapi kondisi tersebut, Rasulullah memiliki stategi yang sederhana namun cukup ampuh, yaitu mempersaudarakan satu orang dengan orang lain tanpa memperdulikan asal usul mereka. Abdurrahman bin Auf ra misalnya, dipersaudarakan dengan seorang Anshor bernama Sa’ad bin Rabi’ ra. Sa’ad kemudian menawarkan separuh hartanya kepada Abdurrahman sebagai perwujudan rasa cinta terhadap saudara barunya. Namun beliau menolak dan hanya minta ditunjukkan jalan menuju pasar untuk memulai bisnis.

Kemudian, Nabi SAW melakukan upaya perbaikan akhlak pengikutnya, yang pada saat itu masih mewarisi mental jahiliyah, sebagai upaya untuk melakukan proses transformasi sosial di tengah komunitas masyarakat Madinah. Beliau menekankan pada setiap sahabatnya untuk berlaku sopan terhadap siapa saja, saling menghormati, bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya dan bukan dengan meminta-minta, serta keharusan membantu tetangga yang membutuhkan tanpa memandang agama dan suku. Penguatan akhlak dan moralitas para sahabat ternyata menjadi sarana yang efektif di dalam mengakselerasi proses transformasi sosial pada tataran individual. Sehingga perlahan tapi pasti, peradaban Madinah pun mulai tumbuh dan berkembang.

Pada tataran masyarakat, perubahan dilakukan melalui proses islah (perbaikan) terhadap berbagai suku yang ada. Rasul SAW menekankan perlunya toleransi terhadap penganut agama lain, kebebasan untuk beribadah, perlindungan terhadap tempat-tempat ibadah dan perlakuan yang sama di depan hukum. Pada tingkatan ini, yang dilakukan oleh Rasul adalah bagaimana membangun sebuah sistem di Madinah, sebagai upaya pelembagaan masyarakat dalam sebuah institusi yang lebih formal, yaitu negara.

Membangun Ekonomi
Yang juga tidak kalah menarik adalah, untuk memperkuat basis perubahan sosial yang telah berjalan, Rasulullah SAW melakukan proses transformasi ekonomi dengan menjadikan mesjid dan pasar sebagai sentra pembangunan negara. Rasul menyadari bahwa kegiatan ekonomi merupakan bagian yang tidak boleh diabaikan. Setelah mendirikan mesjid, fokus perhatian Rasul pun ditujukan kepada pasar. Mengetahui bahwa pasar di Madinah dikuasai orang-orang Yahudi, dan mereka berusaha untuk menciptakan barrier terhadap masuknya para pedagang Muslim, maka Rasulullah pun merespon dengan segera membangun pasar baru. Maka terjadilah proses transisi penguasaan aset-aset ekonomi dari kaum Yahudi kepada kaum Muslimin. Meski demikian, pasar kaum Muslimin ini terbuka bagi siapa saja. Tidak bisa seseorang melakukan monopoli dan praktek-praktek yang merugikan lainnya. Keadilan, kebebasan dan akses pasar sangat dijamin oleh Rasulullah. Abdurrahman bin ‘Auf ra, yang pada saat itu menguasai pasar, juga memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk berdagang, dengan menyediakan tempat (pasar) sebagai media bertransaksi melalui sistem bagi hasil.

Kalau kita melihat sejarah, maka nilai perdagangan yang dilakukan masyarakat Arab pada saat itu cukup besar. Sebuah kafilah perdagangan saja misalnya, rata-rata menggunakan 2 ribu ekor unta sebagai alat transportasi untuk mengangkut barang senilai lebih dari 50 ribu dinar. Namun demikian, kesenjangan ekonomi di masa jahiliyah sangat lebar. Kekayaan hanya terkonsentrasi di kalangan elit saja. Para pembesar banyak yang mengeksploitasi rakyat miskin melalui rentenir dan perbudakan. Sehingga, Rasul pun kemudian menggunakan pendekatan persaudaraan dan ta’awwun (tolong menolong) di antara kaum Muhajirin dan Ansor sebagai langkah awal membangun kekuatan ekonomi Madinah. Selanjutnya di antara para sahabat muncullah sinergi dalam bentuk mudarabah dan musyarakah.

Sistem Ekonomi Syariah
Kalau kita melihat perjalanan Rasul di dalam membangun perekonomian Madinah, maka ada tiga hal mendasar yang harus mendapat perhatian, jika kita ingin menerapkannya dalam konteks Indonesia kontemporer. Ketiga hal tersebut adalah landasan filosofis, prinsip operasional, dan tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah sistem ekonomi.

Secara filosofis, sistem ekonomi syariah adalah sebuah sistem ekonomi yang dibangun di atas nilai-nilai Islam, dimana prinsip tauhid yang mengedepankan nilai-nilai Ilahiyyah menjadi ‘inti’ dari sistem ini. Ekonomi bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebuah bagian kecil dari bingkai ibadah kepada Allah SWT. Rasulullah telah berhasil menanamkan secara kuat di dalam benak para sahabat bahwa berekonomi pada hakekatnya adalah beribadah kepada Allah. Sehingga, sebagai sebuah ibadah, ada rambu-rambu yang harus ditaati agar dapat diterima di sisi Allah SWT. Dan yang namanya ibadah, harus pula dikerjakan secara maksimal dan tidak asal-asalan. Wajarlah jika kemudian para pedagang Muslim mampu menyebar ke seluruh penjuru dunia untuk berdagang sekaligus berdakwah. Pantas pula jika Adam Smith, yang dianggap sebagai bapaknya ekonomi kapitalis, menganggap bahwa contoh terbaik masyarakat berperadaban tinggi yang kuat secara ekonomi dan politik adalah masyarakat Arab (Madinah) di bawah pimpinan Muhammad. Oleh karena itu, mengadopsi nilai-nilai moralitas Islam dalam sistem ekonomi kita merupakan syarat mutlak untuk membangun sistem ekonomi Indonesia yang kuat dan berkah.

Kemudian selanjutnya, harus disadari bahwa salah satu prinsip utama berjalannya sistem ekonomi syariah pada tataran operasional adalah prinsip keadilan (al-’adl). Islam adalah adil dan adil itu adalah Islam. Diharamkannya bunga juga dalam bingkai keadilan. Kebijakan Rasul untuk membuka pasar baru juga dalam konteks keadilan. Jika mekanisme pasar berjalan dalam bingkai keadilan, maka intervensi pemerintah tidak diperlukan. Hal ini dapat dilihat ketika Rasulullah menolak permintaan para sahabat, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, untuk menurunkan harga pada saat harga bergerak naik. Intervensi malah justru menciptakan ketidakadilan. Tetapi sebaliknya, jika terjadi kolusi antara oknum penguasa dan kalangan dunia bisnis, maka akan terjadi ketidakseimbangan pasar yang akan menyebabkan kehancuran perekonomian. Untuk itu, intervensi negara menjadi sebuah kebutuhan. Jadi, tindakan pemerintah atau negara dalam mengintervensi perekonomian harus dilakukan dengan kacamata keadilan.

Sistem ekonomi syariah juga menjamin keselarasan antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan distribusi. Selama ini kita melihat seolah-olah ada trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Tingginya pertumbuhan tidak otomatis menjamin adilnya distribusi pendapatan. Bahkan sebaliknya, keduanya seringkali bertolak belakang. Disinilah indahnya ajaran Islam. Di satu sisi, ia mendorong pengikutnya untuk mencari rezeki dan karunia Allah hingga ke berbagai penjuru bumi. Tetapi di sisi lain, ia pun mengingatkan pengikutnya untuk memiliki kepedulian terhadap sesama manusia. Bentuk kepedulian tersebut antara lain melalui mekanisme zakat, infak dan shadaqah yang berfungsi sebagai penjamin keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan. Disinilah letak keseimbangan ajaran Islam.

Karena itulah, penulis memandang sekaranglah momentum yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk berhijrah dari sistem ekonomi konvensional menuju sistem ekonomi syariah secara gradual dan bertahap. Tahun 1429 H (2008 M) ini merupakan masa yang tepat untuk mengakselerasi pertumbuhan institusi ekonomi syariah, sekaligus meningkatkan kesadaran seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara untuk mau berekonomi secara syariah.

Selamat Tahun Baru Hijriyah. Wallahu’alam.

*Alumni IIU Pakistan dan Kandidat Doktor Ekonomi Islam IIU Malaysia
**Kandidat Doktor Manajemen Islam IIU Malaysia

Tidak ada komentar:

Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis

  110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm,   ISBN 978-623-6121-22-1.  Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...