Selasa, 01 Juli 2008

Quo Vadis Potensi Zakat

Keberadaan zakat sebagai sebuah instrumen sosial ekonomi, memiliki aspek historis tersendiri pada masa kejayaan Islam. Zakat sebagai sebuah elemen dalam dimensi perekonomian telah memainkan peranan penting dalam membentuk aspek fiskal dalam struktur perekonomian sebuah negara (Timur Quran:1996). Aspek inilah yang telah digambarkan dengan tinta sejarah peradaban Islam mulai dari khalifah yang agung Abu Bakar Siddik yang telah memberikan aturan pelaksanaan, regulasi dan sistem dalam pemungutan zakat, sampai pada khalifah “kelima” Umar bin Abdul Aziz yang telah melengkapi aspek pelaksanaan zakat, sehingga menghasilkan sistem yang aplikatif dalam menghasilkan tujuan sosial ekonomi syariah dari zakat sendiri.

Pengalaman sejarah 14 abad yang lalu seharusnya telah membentuk sebuah sistem dan kerangka sosial ekonomi syariah masyarakat yang kuat dan tangguh. Pada kenyataan terjadi sebaliknya, negara-negara Islam khususnya Indonesia justru mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap sistem dan pola yang ditawarkan sistem ekonomi konvensional. Sehingga kemudian terjadi proses pendiktean oleh negara dan lembaga donor dan ketidakmampuan untuk lepas dari jerat krisis. Padahal solusi penyelesaiannya sebenarnya tergantung kemauan kita untuk bisa lepas dari krisis dan membangun fundamental ekonoi yang lebih mandiri.

Dua ilustrasi di atas memberikan gambaran betapa potensi ekonomi umat yang terdapat dalam zakat tidak lagi hidup di tengah-tengah masyarakat. Zakat hanya diartikan sebagai sebuah kewajiban rutin yang harus dilaksanakan setiap tahun, tanpa melihat aspek sosial ekonomi, pemberdayan, pemanfaatan dan produktivitasnya (M.A. Mannan: 1994). Kesadaran inilah yang harus dihidupkan kembali di tengah umat. Pembahasan potensi zakat tidak lepas dari empat aspek yang terkait dengan zakat. Yakni, mustahiq zakat itu sendiri, ashnaf zakat (delapan ashnaf), amilin (individu atau institusi), dan manajemen zakat (pemungutan dan penyalurannya).

Keempat aspek tersebut harus bersinergi membentuk sebuah sistem yang transparan, akuntabilitas, dan efektif. Idealnya dalam sebuah negara Islam zakat haruslah dikelola oleh negara, tetapi di saat negara tidak menerapkan prinsip-prinsip dalam mengelola negara, maka kewajiban itu harus jatuh ke tangan masyarakat (individu atau institusi) yang memiliki kemampuan. Mulai tumbuhnya institusi ekonomi umat dari sisi moneter yang terdapat dalam bentuk lembaga keuangan seperti bank, asuransi, pasar modal, merupakan sarana penting untuk juga memacu dari sisi riil dan fiskalnya sehingga secara bersamaan ekonomi Islam akan tumbuh menjadi sebuah sistem yang kuat.

Potensi yang Tersembunyi

Dengan melakukan penghitungan matematis sederhana, bisa terlihat potensi zakat secara makro yang ada di Indonesia. Kita bisa menghitungnya dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 210 juta (BPS: 2000), dan kurang lebih 85 persen beragama Islam sehingga otomatis terkena kewajiban zakat. Diasumsikan seperempat dari penduduk muslim dikategorikan sudah memiliki nisab dalam membayar zakat pendapatan atau sekitar 44,6 juta jiwa. Mereka diasumsikan memiliki penghasilan Rp 1.500.000 perbulan (batas nisab penghasilan setelah dikurangi dengan yang menggugurkan kewajiban zakat). Dengan demikian potensi zakat yang terkandung senilai Rp 1.500.000 x 44,6 juta x 2,5% akan menghasilkan Rp 1,6 triliun sebulan atau Rp 20,1 triliun setahun.

Dari pendapatan tersebut dengan dasar ketetapan syariah, pengelolaan harta zakat bisa dilakukan dalam dua cara, pertama dibagikan secara langsung baik yang bersifar produktif (dalam bentuk modal kerja, pelatihan, pendidikan) maupun dalam bentuk konsumtif (makanan, pakaian dan kebutuhan konsumtif lainnya). Kedua dnvestasikan baik secara langsung di perusahaan-perusahaan yang sehat secara syariah maupun dalam bentuk kepemilikan saham dan surat berharga lainnya di pasar modal syariah. Hasil inilah yang kemudian dikembalikan untuk menopang perekonomian umat.

Pengelolaan potensi zakat yang sudah terlihat di masyarakat seperti Dompet Duafa Republika, terbukti mampu mengelola dana miliaran rupiah. Dana yang dikumpulkan DD adalah dana yang berbentuk ZIS yang sifatnya kesadaran tanpa ada sebuah aturan untuk memaksa. Akan berbeda hasilnya bila pemerintah yang memiliki wewenang, mengeluarkan undang-undang yang sedikit lebih memaksa kepada masyarakat untuk memenuhi kewajiban zakatnya. Untuk menuju ke arah sana memang diperlukan sikap proaktif dari masyarakat dalam menggalang potensi umat. Saat ini UU yang ada baru bersifat insentif untuk membayar zakat, dengan adanya kemungkinan zakat mengurangi pajak.

Kesadaran yang harus dibangun adalah kesadaran kolektif dari semua pihak, dari pihak ulama, sampai saat ini belum ada satu fatwa ulama (MUI) pun yang berkaitan dengan zakat secara nasional maupun politic will dari pemerintah untuk mengelola empat aspek yang tadi telah disebutkan. Sehingga persoalan zakat di Indonesia menjadi persoalan yang sangat kompleks baik dari segi manajemennya, sumber daya manusianya, sampai moral hazardnya. Akbatnya potensi yang seharusnya bisa menjawab krisis ekonomi umat menjad tidak menentu. Maka timbul pertanyaan, mau ke mana (quo vadis) potensi zakat di Indonesia?
http://ichwah.multiply.com/journal

Tidak ada komentar:

Tulisan Popular Wakaf, Ekonomi dan Bisnis

  110 halaman, Kertas Bookpaper, Ukuran 14,8 cm x 21 cm,   ISBN 978-623-6121-22-1.  Penerbit : Pustaka Learning Center, Malang, Februari 202...